Tak sengaja menjadi kupu kupu

Tak sengaja menjadi kupu kupu

Rohmi Anisa

0

Hai, namaku Nesi. Semua berawal saat aku lulus sekolah menengah atas. Hari ituaku sangat senang karena akhirnya aku sudah menyelesaikan tugasku sebagai siswa. Yang sebenarnya akupun sedih, bagaimana mungkin kehidupanku yang sangat indah, dipenuhi kebahagiaan, harus berubah menjadi tragis saat usaha kedua orangtuaku bangkrut. Harusnya aku melanjutkan kuliah, aku ingin menjadi dokter hewan tadinya. Namun semua itu harus kurelakan. Ayah ibuku setuju untuk pindah ke luar pulau, aku sangat bingung dengan situasi ini. Dengan pikiran kalut, aku mengatakan untuk tinggal diluar kota, meskipun aku tidak punya tempat tinggal, aku akan berusaha bekerja dan hidup sendiri. 

Ibuku memberiku uang saku Rp.50.000,-. Dia pun tau sebenarnya itu sangat kurang, bahkan untuk membeli tiket bus saja tidaklah cukup. Tika, adalah temanku saat SMP, dia ikut bersamaku untuk keluar kota, tentu saja darinya lah aku mendapatkan tiket bus gratis. Sebelum keberangkatanku, aku berpamitan dengan pacarku, Galang. Aku tidak bisa memaksanya untuk ikut pindah denganku karena dia masih kelas 11. 

Saatnya tiba, aku dan Tika berada di terminal menunggu bus yang akan membawa kami ke Ibukota. Ketika bus datang, kami masuk bergantian dengan penumpang yang lain. Sialnya, aku dan temanku tidak mendapatkan kursi. Padahal jelas kami telah membeli tiket. Agen tiket meminta kepada supir bus untuk tetap membawa kami berdua, dan mereka setuju. Di dalam bus, aku duduk di kursi yang seharusnya menjadi kursi kernet/kondektur, Tika berada di kursi bersampingan dengan pak supir. Iya, kami berada di paling depan dekat dengan pintu bus. 

Aku merasa kasihan kepada kernet yang ku duduki kursinya, karena dia harus berdiri semalaman. Tapi mau bagaimana? Saat larut malam, aku merasa ada yang aneh. Aku tertidur tidak terlalu pulas karena tidak ada sandaran. Dan aku sangat yakin, ada seseorang yang meraba kaki ku. Aku bangun, mencoba memastikan. Kuliat kernet disampingku terpejam matanya sambil berdiri. Akupun semakin kasihan. 

Aku kembali tertidur, kurasakan lagi kali ini semakin naik hingga ke pahaku. Tapi aku mencoba menahannya, ku buka perlahan mataku sambil melihat arah kakiku. Ya benar, tangan kernet lah yang meraba ku sejak tadi. Aku semakin takut, namun tidak berani berbuat apapun. Malam itu menjadi perjalanan tertekan selama hidupku.

Sekitar pukul 02.00 pagi, bus yang kami tumpangi tiba di rest area. Aku dan temanku merasa tidak punya uang lebih jadi kami tidak turun dari bus. Namun pak sopir dan kernet mengajak kami berdua untuk makan gratis, padahal tiket bus kami tidak mendapatkan jatah makanan apapun. Masih dengan rasa takut dan cemas, aku dan Tika mengikuti ajakan untuk makan. Aku belum berani bercerita atau bertanya pada Tika tentang apa yang ku alami di dalam bus. 

Setelah selesai istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Lagi lagi, di dalam bus pak kernet beraksi lebih brutal lagi terhadapku. Dia semakin berani menyentuh pantat, memeluk pinggang dan mengelus elus tubuhku. Aku sangat ketakutan, sesekali aku menggerakkan badanku, kemudian dia melepaskan tangannya dari tubuhku. 

Pagi pun tiba, kami telah memasuki kawasan Ibukota. Namun belum sampai ke terminal tujuan. Saat itu, penumpang yg berada di belakangku menyuruhku dan tika untuk duduk di kursinya. Aku sangat lega, karena sudah tidak tahan dengan perlakuan kernet bejat disampingku. 

Sesampainya di terminal tujuan, semua penumpang turun dari bus. Kemudian penumpang yang memberikan kursi kepadaku dan Tika menghampiri kami, "dek lain kali kamu harus berani ngomong kalau ada orang yang melecehkanmu lagi, kenapa kamu menahannya?". Seketika, aku menangis, Tika pun menangis dan berkata bahwa dia mendapat perlakuan yang sama dari pak supir di sebelahnya

Iya, baru hari pertama setelah keputusanku untuk meninggalkan keluargaku, aku sudah mendapatkan hal yang menjijikan ini