
Tandus, kata yang tepat untuk menggambarkan hamparan tanah lapang tanpa penghijauan, di mana debu yang berasal dari campuran semen dan pasir beterbangan ke angkasa. Setiap tamu niscaya sepakat kafe ini bagaikan gurun pasir tanpa penghijauan penyejuk mata. Matahari siang hari memantul memanaskan ubun-ubun kepala dan rasa-rasanya sanggup mendidihkan air.
Benedict Andes penat. Persidangan tadi berlangsung alot dalam artian saksinya dibantai habis-habisan oleh pengacara Tergugat. Dia butuh tempat yang tenang untuk menyelesaikan pekerjaan. Poin-poin telah dia susun dalam kepala untuk membalas perlakuan lawan, menunggu dituangkan dalam bentuk tulisan.
Kafe lain terlalu hiruk pikuk memecah konsentrasi dengan derai tawa tamu atau suara panggilan pramusaji. Satu jam lamanya dia berkendara mencari ketenangan hingga sampailah di sebuah kafe tandus sepi pengunjung. Terbukti dari keberadaan dua mobil, satu BMW silver miliknya dan satu lagi Mercedes hitam entah milik siapa.
Benedict menyembunyikan wajah di balik lengan demi mencegah butiran lembut pasir merangsek rongga pernapasannya. Pantas saja kafe ini sepi. Suasana tandusnya didukung eksterior kafe yang kaku. Fasadnya hanyalah sebuah kotak tanpa cat, abu-abu dan suram.
Sebuah keputusan yang diambil tergesa-gesa saat memilih Otak Kanan Kafe untuk melepas penat. Kesan pertama mengenalnya, tidaklah menggoda. Benedict hanya memerlukannya untuk bekerja. Suasana seperti ini justru menyuruhnya untuk cepat-cepat masuk dan berteduh di dalam.
Dengan memegangi tali tas selempang model postman, pengacara itu melompati undakan yang juga berwarna abu-abu hingga tiba di depan pintu kaca. Saat pintu digeser, udara sejuk yang berasal mesin segera membungkus tubuhnya, menyelimuti dengan rasa nyaman, menggantikan sensasi terpanggang hidup-hidup.
Otak Kanan Kafe adalah contoh yang baik bagi peribahasa 'Hidup segan, mati tak mau'. Bagian dalam kafe sama sunyi dengan luarnya, hanya saja tidak suram. Interiornya mengusung konsep kontemporer. Bangku dan meja kayu didesain ramping. Kesan lega segera dirasakan karena minimnya sekat. Dinding serta perabotnya mempertahankan warna alami.
Seorang karyawan mengepel lantai. Padahal Benedict yakin sejak buka, kafe ini tidak mungkin dikotori oleh siapa pun. Jadi, percuma saja dipel berkali-kali.
Rupanya Otak Kanan Kafe adalah sebuah kafe buku. Dalam hati, laki-laki itu sempat menertawakan namanya yang mengingatkan pada tempat les matematika atau praktik psikolog. Pantas saja calon pelanggan potensial malas menginjakkan kaki di sini karena salah paham. Sekarang dia mengerti kenapa pemilik kafe memilih nama yang unik, meskipun menurut pemikirannya, nama kafe harus diganti jika ingin lebih ramai.
Benedict segera tertarik dengan rak buku yang dipaku menyatu dengan dinding. Tidak terlalu tinggi sehingga mudah dijangkau orang dewasa, tetapi tidak pula berada di tanah sehingga buku-buku aman dari rendaman air. Kawasan sini rawan banjir. Namun ini Jakarta, di mana lahan yang sering dihampiri banjir pun tetap berharga mahal. Pajaknya tinggi. Sayang jika tanah dan bangunan tidak dimanfaatkan untuk menghasilkan uang.
'Bumi Manusia'. Benedict hampir menarik novel terkenal karya Pramoedya Ananta Toer jika tidak ada tangan lain yang juga menginginkannya. Jemari lentik yang dilingkari cincin sama-sama menyentuh novel itu. Benedict menoleh dan seseorang berdiri tepat di sampingnya. Senyum itu adalah perpaduan manis dan misterius. Pemiliknya bertubuh ramping, malah kelewat ramping di balik rok terusan putih sebetis. Sebuah jepit bertatah mutiara merangkum sejumput rambut hitamnya ke belakang, tepat di tengah. Sisanya dibiarkan tergerai, jatuh melewati bahu.
"Silakan, untuk Anda." Wanita itu berkata dengan suara teramat lembut.
Dorongan aneh merasuki Benedict, sebuah keinginan untuk melindungi wanita ini dari dunia yang kejam.
"Kalau Anda mau, ambil saja. Saya bisa baca yang lain."
Sehari-hari, Benedict bergelut dengan dokumen, kitab undang-undang, dan yurisprudensi. Dia tidak punya waktu untuk membaca buku fiksi. Tadi dia mengambilnya hanya untuk mengintip. Apa yang menyebabkan Pramoedya begitu melegenda? Sebagus apa karyanya?
"Nggak masalah. Saya punya di rumah, cuma bukan yang cover-nya ini. Sepertinya penerbitnya berbeda." Wanita tersebut menambahkan informasi tanpa diminta.
"Anda pengagum Pramoedya?"
"Siapa yang tidak?"
Senyum malu-malu lagi. Wanita itu sering menunduk. Benedict bertemu dengan berbagai macam wanita. Meniduri banyak di antaranya. Wanita-wanita sekarang berlomba menjadi sosok alpha female. Cerdas, mandiri, dan seolah tidak memerlukan laki-laki, tapi sangat mudah dibawa ke ranjang. Wanita di sebelahnya ini memberi kesan sebaliknya. Pemalu, rapuh, tetapi mengajaknya tidur memerlukan trik khusus.
Nenek moyang manusia mewariskan gen pemburu bagi kaum laki-laki. Gen yang lama terkubur karena perubahan sosial budaya tersebut meracuni Benedict, membuatnya penasaran dan tertarik menjadikan wanita ini mangsa. Terdengar kejam, tapi demikian adanya. Dia ingin mencoba mengajak sosok di sebelahnya ke ranjang.
Lalu bagaimana, apakah sebaiknya dia goda saja dan melihat apakah semudah itu mengajaknya tidur?
Benedict mengulas senyum tipis. Cukup maskulin untuk membuat wanita biasa berbalik mengejar. Dia meletakkan 'Bumi Manusia' di tempat semula, memberikan kesempatan pada wanita itu untuk mengambil. Dia kemudian mengangguk dan menjauh. Wanita seperti ini tidak dapat didekati secara agresif atau akan menghilang.
Boys will be boys. Seakan lupa akan penatnya dan antusias mendapatkan mainan baru, Benedict berjalan ringan menuju konter untuk memesan kopi dingin dan croissant keju sementara wanita itu masih ada di sana, memilih beberapa buku.
Kutu buku. Dua kata yang kerap dianggap sebagai hinaan. Di SMA, siswa kutu buku kerap di-bully, dicap orang aneh yang tidak punya teman. Akan tetapi wanita ini terlihat sebaliknya. Buku-buku di tangannya serasi dengan perawakan dan penampilannya, seakan Tuhan menciptakan mereka berpasangan.
Dengan menggenggam kopi dingin dalam gelas plastik, Benedict melangkah elegan ke sisi ruangan dekat jendela. Dia pantang memenangkan permainan secara tergesa-gesa. Penuh perhitungan dalam hal apa pun.
Tujuan utamanya datang ke kafe ini adalah untuk bekerja. Maka dia membuka tas selempang lalu mengeluarkan laptop. Pencahayaan alami dari sisi sini baik sekali. Sayangnya ketika Benedict membuka laptop, cahaya alami matahari memantul dan menyilaukan mata. Akibatnya, satu huruf pun tak terlihat. Dia harus pindah.
Benedict mematikan laptop tanpa menangkupkan layarnya. Dia berdiri sambil menyangga bagian bawah laptop dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegangi layar.
"Oh, maaf!"
Pengacara itu belum sadar sepenuhnya mengapa ada seruan panik dan permintaan maaf. Di hadapannya sudah berdiri wanita penggemar karya Pramoedya. Wajahnya pasi ketika meletakkan di meja buku-buku yang semula dia kempit di ketiak, lalu mencari tisu dari tas Hermes-nya.
Kopi panas si wanita tumpah. Cairannya mengalir di antara keyboard. Benedict baru sadar bahwa mereka bertabrakan. Dia tidak terlalu khawatir, sebab semua soft file telah disimpan dalam dua back up. Satu di flash disk dan satu di hard disk extension yang berada di kantor. Jadi sekalipun laptopnya terserang virus, semua pekerjaan aman.
"Maaf, saya sungguh minta maaf." Wanita itu mengelap setiap tuts-tuts dengan hati-hati.
"Tidak apa-apa," kata Benedict tanpa melepaskan tatapan dari jemari yang membelai keyboard. Sudah menikah. Cincin emas dengan satu mata berlian sedikit mengecewakannya. Namun siapa yang peduli? Barangkali wanita ini membutuhkan teman tidur selain suaminya yang membosankan.
Tu sei via, sei verità
Tu sei la nostra vita
Camminando insieme a te
Vivremo in te per sempre
Sebuah lagu yang tidak asing mengalun. Jemari wanita itu berhenti membersihkan keyboard, kini sibuk mencari ponselnya.
"Ya, Sayang, aku di rumah."
Kening Benedict berkerut. Kenapa wanita ini berbohong? Hanya ada satu alasan, orang yang menelepon membuatnya ketakutan. Wanita itu diam menunggu siapa pun yang menghubunginya selesai bicara.
"Oke."
Sayangnya meskipun telah mengakhiri percakapan dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, wanita itu tidak tampak santai. Dia mendongak, menatap Benedict dengan sorot mata penuh permintaan maaf.
"Saya harus pergi, tetapi jangan khawatir. Kalau ada kerusakan pada laptop Anda, saya pasti akan menggantinya."
Terlintas dalam pikiran Benedict untuk merusak laptop tersebut lalu memaksa wanita ini tidur dengannya sebagai ganti rugi. Akan tetapi pita suaranya tak dapat mengeluarkan satu patah kata pun bahasa. Dia justru hanya mengamati wanita tersebut kembali mencari sesuatu dari dalam tasnya.
"Silakan telepon saya kalau laptop Anda rusak." Wanita tersebut menyerahkan sebuah kartu nama sebelum berbalik badan dengan tergesa untuk keluar dari pintu kaca.
"Liliana Dermawan Lunggono, penulis," bisik Benedict. Tidak, dia tidak mengejar si wanita. Sebuah keyakinan menyusup dalam hatinya bahwa alam semesta akan mempertemukan mereka kembali. Maka, dia hanya tersenyum kecil menantikan kesempatan itu.
***
Halo, Widers & Sexy Readers
Kangen enggak sama cerita ini?
Kalian bisa kepoin kelanjutannya di akun Karyakarsa BelladonnaTossici
Paket dukungannya sangat murah dan ada sistem sewa 30 hari yang jauh lebih murah.
Jangan lupa buat vote dan komen ya. Biar kami tahu kalian mampir.
Salam,
Widi-Bella