“Hiyaaa!” Seruku tertahan sambil bergerak-gerak enggak jelas. Berasa pengin keluar dari tempat persembunyian ini sekarang juga. Nyamuk-nyamuk itu kayaknya perlu dibabat habis setelah misi ini selesai kukerjakan. Misi? Hah, aku pun enggak mengerti mengapa bersusah-susah menjalankan misi bodoh dan lebay ini. Bersembunyi di lorong yang sedikit gelap sebenarnya membuatku enggak nyaman. Digerayangi semut dan diusik nyamuk-nyamuk juga bukan pengalaman menarik, bukan? Belum lagi daun-daun yang menjulur menggelitik lubang hidung. Aiiih… geli. Ah, ya! Demi sahabatku nan manis, Kekei, tentu saja semua kuanggap baik-baik saja.
Baiklah, kita kembali ke target. Abaikan semua semut, nyamuk, juga juluran daun yang menggelitik. Aku bersyukur baru saja memotong sebahu rambutku. Seenggaknya, tenaga yang digunakan sekadar untuk merapikan helaian-helainnya bisa dialihkan untuk mengusir gangguan itu. Jadi, konsentrasiku bisa dipusatkan untuk mengamat-amati seseorang yang mendengar namanya pun bikin aku sebal.
Cowok yang berdiri di ujung lorong sekolah itu namanya Pong... Pong? Apakah dia sejenis tahu goreng garing yang tengahnya kopong? Jelas bukan. Nama lengkapnya Rivan Andreas. Dipanggil ‘Pong’ mungkin berasal dari panggilan ‘Ipang’ yang punya turunan ‘Pang’, lalu turun lagi jadi ‘Pong’. Nah, sampai di sini, siapa juga yang peduli?!
Demi apa, aku sama sekali enggak peduli dengan asal-usul namanya. Apalagi, tampangnya pun enggak keren-keren amat. Masih kalah pamor dengan Pandu, Sammy, atau Frans. Enggak keren-keren amat... umm... salah, keren sih..., lumayanlah... ah, keren deh. Seenggaknya, dia masih menjadi topik menarik buat diobrolin cewek-cewek SMA 911.
Pong adalah salah satu cowok beken di sekolah, meskipun bukan yang paling keren tampangnya. Aku anggap begitu karena aku lebih suka yang bertampang oriental, sedangkan Pong enggak sedikit pun punya ciri-ciri seperti itu. Ah, apa peduliku? Benar, bukan?
Tapi, meski bagiku kurang menarik, Pong punya kelebihan dibanding cowok-cowok beken itu. Di samping lumayan keren, setidaknya enggak tulalit. Sepanjang hidupnya di sekolah ini, dia enggak pernah absen jadi salah satu dari lima besar siswa berprestasi di sekolah. Nah, untuk ukuran otakku yang sederhana, prestasi itu bagaikan bintang di langit jauh yang sulit dijangkau.
Bayangkan, di kompleks sekolah kami _Sekolah 911_, sejak SD sampai SMA, Pong selalu hadir di deretan sepuluh besar dan dipajang di depan selama upacara bendera. Dia belum pernah jadi yang pertama, tapi enggak pernah keluar dari lima besar. Lebih dari lumayan kan? Belum lagi, senyumnya dan sikapnya yang sering bikin meleleh, terutama bagi cewek-cewek yang memang mengidolakannya. Oke, jujur saja, senyumnya memang manis dan mirip bara api_melelehkan. Banyak teman cewekku bilang kalau Pong itu tipe cowok yang tau apa yang cewek mau.
Benar begitu? Lalu, kenapa dia enggak tahu apa yang Kei mau? Ah, sudahlah. Kalau mengingat itu tinjuku rasanya mau melayang secara spontan ke arah jidatnya.
Baiklah, kita kembali kepada sosok Pong. Melihat dan menyaksikan prestasi-prestasinya itu, bagaimana enggak ingat dengan sosok Pong? Sejak SD aku dan Pong satu sekolah. Minimal, setiap satu tahun dua kali dia berdiri dipajang saat upacara karena prestasi-prestasinya. Tentu saja dengan piala atau piagam penghargaan di tangan.
Dari tempat aku duduk (dan bersembunyi) sekarang, Pong kelihatan dengan jelas. Posisinya itu bikin aku jadi punya kesempatan mengamati dan coba-coba menilai penampilannya lebih intensif. Kegiatan yang sebenarnya enggak berguna dan sangat enggak penting, tetapi aku kok merasa perlu. Lha iya, saudara bukan, gebetan bukan, kenapa harus diamati dan dinilai?
Kalau bukan karena Keisha alias Kekei, teman terbaik dan sahabatku, mana mau aku buang-buang waktu kayak begini. Mendingan buat mengerjakan hal-hal berguna dan mendatangkan manfaat buat diri sendiri. Cari perhatian di depan Sammy, anak kelas ujung itu, misalnya. Ah ya, maaf, kalau ternyata kamu menganggap kegiatan ini enggak lebih penting dari yang sebelumnya.
Gara-gara si Kekei ini, kegiatan mengamati dan menilai Pong mendadak jadi penting buat aku. Penting, penting, dan penting! Titik.
Saat ini Pong sedang menerima telepon. Dia berdiri sambil menghadap ke utara, bergeser dari posisi semula. Sekarang, posisi Pong dari tempat dudukku jadi sedikit menyerong. Aku punya kesempatan menilainya dari tampak samping. Mirip gambar rumah saja.
Sambil mengusir serangga-serangga kecil yang terbang mendekat, aku terus berusaha memetakan dari sisi mana sosok si Pong ini bisa jadi menarik perhatian dan membuatnya berhasil menggaet cewek-cewek berprestasi di sekolah. Kalau dihitung-hitung, dari enam cewek yang jadi langganan sepuluh besar di sekolah kami, sudah empat orang yang pernah ditaklukkannya, atau seenggaknya digosipkan, dekat dengan Pong.
Ugh! Sebenarnya penampilan dan otak Pong memang patut digilai. Tetapi, tetap saja aku selalu berpikir kenapa cewek-cewek pintar dan cantik-cantik itu mau saja terpesona sama Pong. Hmm… aku kasih tahu ya. Begini, diam-diam aku sama Keisha mengamati kelakuan Pong. Buat iseng saja sih, bukan karena tertarik sama dia. Itu pun kami amati secara enggak sengaja.
Nah, dari pengamatan aku dan Keisha selama ini, status kedekatan cewek-cewek pintar dan cantik itu dengan Pong ternyata ada hubungan sama kemerosotan prestasi mereka. Intensitas kedekatan mereka berbanding lurus dengan prestasinya. Entahlah, sahih atau enggak, tetapi kenyataannya memang seperti itu. Empat cewek cantik dan smart itu nilai pelajaran dan peringkatnya merosot setelah putus dengan Pong. Sedangkan, Pong sendiri secara bertahap peringkatnya meningkat. Aneh ya? Mencurigakan ya? Iya.
Aku sama Kei jadi bertanya-tanya, mungkinkah Pong telah secara sengaja mendekati cewek-cewek smart itu untuk mengganggu konsentrasi belajar dan mengambil keuntungan dari mereka?
Ah, mungkin aku sama Kei terlalu lebay sampai menyimpulkan seperti itu. Tetapi, buat referensi, enggak ada salahnya diperhatikan, terutama buat mereka yang dikaruniai paket top markotop dari Yang Maha Kuasa pada diri mereka, yaitu tampang aduhai dan otak yang cihuy. Kayaknya cewek SMA 911 alias 911-ers yang masuk kategori ini perlu waspada. Umm.... Tentu saja aku merasa sangat aman, karena, dengan jujur kuakui, aku enggak termasuk di dalamnya. Syukurlah, seenggaknya dengan bersikap jujur aku dapat pahala.... Ah, pintarnya aku menghibur diri!
“Hati-hati, Kei, suatu hari kamu dapat giliran termehek-mehek sama Pong!” kataku suatu saat mengingatkan Keisha.
Aku merasa harus mengingatkan sahabatku itu karena prestasi dan tampang Kei termasuk ke dalam zona berbahaya. Artinya, kemungkinan dia bakal didekati sama Pong sangat besar. Tinggal menunggu saatnya tiba.
Sejujurnya, aku khawatir Kei benar termehek-mehek sama Pong lalu mereka putus, lalu _seperti cewek-cewek Pong yang dulu_, prestasinya bakal merosot. Padahal, Kei dan prestasi-prestasi hebatnya sudah seperti satu paket enggak terpisahkan.
Waktu itu Kei terkekeh, lalu nyaris terbahak-bahak. Bibirnya yang tipis semakin terlihat seperti garis karena tawanya yang lebar. Kemudian, mata jernihnya membeliak indah.
“Termehek-mehek sama Pong? Enggak akan!” katanya yakin, sedikit takabur kali ya. “Kamu tahu sendiri cowok tipe aku kayak apa, Vin! Pong cuma memenuhi kurang dari sepuluh persen dari kriteriaku. Tahu kan?”
“Kata orang, kita enggak tahu kapan dan sama siapa bakal jatuh cinta. Percaya enggak, Kei?”
Kei mengedikkan pundak. “Enggak deh. Pong bukan tipeku, Vin.”
“Yaaaa... namanya cinta kan enggak bisa diramalkan, Kei. Hari ini cinta, besok hilang. Hari ini biasa-biasa aja, besok termehek-mehek kayak orang gila. Kamu harus siap-siap patah hati juga, lalu menyerahkan mahkota juara umum sama si Pong... Oh my God! Amit-amit deh, jangan!”
“Cewek-cewek itu kan memang sudah tergila-gila sama Pong dari awal. Nah, kalau aku?” kilah Kei.
Jujur sejujur-jujurnya, sekarang, aku jadi menyesal banget pernah omong begitu sama Kei. Apa yang aku katakan beberapa waktu yang lalu, pelan-pelan mulai mendekati kenyataan. Kei kayaknya mulai termehek-mehek sama... Pong.
Eit! Kita lihat Pong lagi, yuk! Dia sudah mengganti posisi berdirinya lagi tanpa menunggu aku selesai menilainya. Sebenarnya, kenapa juga dia harus menunggu, ya? Whatever lah.
Yang kelihatan dari sini sekarang hanya tampak belakang. Terus, apa yang harus kuamati dan kunilai kalau dari belakang kayak begini?! Tetapi, enggak ada kata menyerah dalam kamusku. Walaupun sebentar-sebentar ada nyamuk berdengung di dekat telinga, aku tetap berusaha menjalankan misi pengintaian ini.
Lima menit kemudian Pong beranjak dari tempatnya. Dia berjalan dengan senyum mengembang dari bibirnya menyambut Chika yang berjalan mendekat. Kemudian mereka bersama-sama menuju ke arah gerbang sekolah.
Aku menelan ludah melihat pasangan itu. Secara kasatmata, mereka cocok. Dua-duanya keren dan terkenal sebagai murid yang baik, sampai aku enggak tahu harus bersikap bagaimana dengan hubungan mereka yang baru satu minggu itu. Tapi, untuk dan demi Kei, aku sebal! Kuulangi, aku sebal!
Tanpa kusadari, aku menyeringai gemas ke arah mereka berdua, sebelum mengentakkan kaki dan meninggalkan tempat persembunyian dengan marah. Aku enggak percaya dengan penglihatan sendiri. Enggak percaya sahabatku, Kei yang pintar, cantik, dan terkenal di sekolah, akan mengalami kejadian seperti ini. Ini serupa dengan pelecehan harga diri!
“Hus! Nyamuk ini ya!” Tanganku mengibas kuat untuk mengusir nyamuk, sambil membayangkan wajah Pong terkena kibasannya juga. Pfft... berani sekali cowok itu mempermainkan perasaan Kei!
Aish! Tiba-tiba kepalaku pening. Aku meninggalkan halaman sekolah dengan perasaan aneh dan bingung, enggak tahu harus bagaimana mengabarkan kepada Kei hasil pengintaian ini.
“Hai, Vin!”
Aku mendongak mendengar seseorang memanggil, lalu terperangah melihat Pong sudah ada di depanku. Dia tersenyum manis dan membuatku langsung waspada sampai lupa membalas sapaannya. Aku hanya merasa bola mataku semakin membulat.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” kata Pong. Kemudian, aku terlongong setelah mendengar kalimat selanjutnya.
*