Aku adalah orang yang bisa dikatakan pendiam dan introvert. Aku tidak suka bergaul dengan orang lain. Mungkin karena hal itu aku sering di-bully oleh teman sekelasku. Hmn.. mungkin tidak layak jika aku menyebutnya teman. Mereka hanyalah orang yang kukenal dan terjebak denganku di dalam ruangan yang bernama kelas. Terlalu banyak hal yang aku benci di dunia ini. Aku bahkan membenci diriku sendiri. Aku membenci orang-orang di sekitarku yang dengan mudahnya menilai diriku dari luar. Selain membenci aku juga banyak sekali memikirkan hal tidak penting yang terjadi padaku. Salah satunya adalah mimpi ‘indah’ yang sejak kemarin menghantuiku. Menurutku, itu adalah mimpi terindah yang pernah aku alami sejak aku hidup.
Setelah aku pulang sekolah, aku menghabiskan waktuku di kamarku. Aku berbaring di atas tempat tidurku. Memejamkan mataku, dan masuk lagi ke dalam mimpi indahku yang lain.
Aku menghirup udara di sekitarku, bau busuk di mana-mana. Aku menajamkan indra perasaku, aku yakin tepat di kakiku ada air yang mengenang dan beberapa hewan kecil yang sedang asyik berkumpul di telapak kakiku. Aku membuka kedua mataku perlahan. Gelap. Sangat gelap. Yang bisa kulihat hanyalah sebuah titik cahaya yang berada sangat jauh dari tempat aku berdiri sekarang. Aku mengedarkan pandanganku dan apa yang ada di pikiranku memang benar, aku berada di sebuah terowongan yang berisi genangan air kotor yang sangat menjijikan.
“Inikah mimpi indahku yang lain? Ini sangat berbeda dengan mimpiku yang kemarin,” ucapku dalam hati. Mimpi indahku yang lain, aku selalu berada di sebuah gudang kosong lalu menghabisi semua orang yang ada di sana.
Dengan perlahan aku memberanikan diriku untuk melangkah mendekati cahaya yang tetap terlihat jauh sedari tadi. Semakin jauh aku melangkah, angin semakin terasa melewati tubuhku yang kurus. Anehnya aku tidak merasakan angin sedikit pun di wajahku, angin itu hanya lewat di kiri dan kananku.
GRAB!
Aku tersentak kaget dan langsung berhenti melangkah. Ada sesuatu yang mencengkeram kakiku. Aku yakin itu adalah sebuah tangan yang terasa sangat dingin, dengan kuku-kuku panjang yang terasa ingin merobek-robek kulitku. Aku langsung menundukkan kepalaku sekadar untuk melihat ada apa di bawah sana. Dan benar saja, sebuah tangan kurus dengan kuku panjang berwarna hitam – dengan kulit tangan yang mulai mengelupas – menampilkan tulang-tulang berbentuk tangan berbalut daging yang mulai membusuk, juga dengan beberapa serangga melata yang terlihat nyaman berada di sana.
Dengan cepat, sebuah cahaya remang-remang mulai masuk ke sekitarku, aku mengedarkan pandanganku dan mendapati beberapa onggok mayat yang sudah tidak berbentuk berada di sekitarku. Bau busuk mayat langsung masuk ke penciumanku dan itu sangat tidak mengenakkan. Pandanganku tertuju pada mayat-mayat yang sudah tidak berbentuk manusia lagi. Kulit mereka mengelupas dengan tubuh mereka yang tampak tidak utuh. Aku mengarahkan pandanganku ke atas, ke langit-langit terowongan. Banyak bola mata yang tertempel di sana. Bola-bola mata itu tertuju ke arahku dengan tatapan mata yang sangat tajam.
“Sembilan….delapan…..tujuh….”
Pandanganku langsung teralihkan ke depan ketika aku mendengar sebuah suara dengan nada merintih dan penuh rasa sakit. Suara itu terdengar sangat dekat denganku. Bulu kudukku langsung merinding ketika sebuah helaan napas terasa di tengkukku. Aku langsung menggerakkan tanganku ke arah tengkukku. Tidak bergerak. Aku tidak bisa menggerakkan kedua tanganku. Aku mencoba menggerakkan leherku dan sia-sia. Aku hanya bisa menggerakkan mataku, tapi tentu saja aku tidak bisa menggerakkan mataku untuk melihat apa yang ada di belakangku saat ini.
“Enam….lima…..empat….”
Suara itu kembali datang dari arah belakangku. Suara itu terdengar semakin lirih dan sedikit serak. Suara itu terdengar tepat di telingaku. Dengan kalut aku menggerakkan mataku untuk memerhatikan sekitarku dan tetap tidak ada apa pun di sekitarku, hanyalah sebuah terowongan kosong dengan mayat-mayat yang menghiasi dinding-dindingnya.
“Tiga…..dua……satu….”
Keringatku mulai menetes dan melewati pelipisku, suara itu terdengar tepat di hadapanku dan sangat dekat. Sebuah bayangan hitam berhenti tepat di depanku. Bayangan hitam itu mulai menghilang dan menampakkan sebuah tubuh yang penuh dengan luka, ditambah hewan melata di dalamnya. Luka itu terlihat sangat membusuk dan hampir bolong.
Tubuh itu semakin mendekat, dengan tertatih-tatih ia berjalan ke tempat di mana aku hanya bisa berdiri diam seperti patung. Tubuh itu berhenti tepat di hadapanku. Tanpa kukegerakkan, mataku langsung tertuju pada kepala tanpa kulit yang terlihat hanya menempel di leher nya itu. Kepala itu semakin mendekat dan mendekat, membuat pandanganku semakin tertuju pada mulutnya yang menganga lebar. Perlahan beberapa hewan kecil mulai bergerak keluar dari dalam mulut itu. Aku mengalihkan pandanganku ke arah sepasang bola mata yang menatapku tajam. Sepasang mata berwarna gelap itu tampak seakan-akan mencuat keluar dan jatuh ke air.
“Apakah dirimu sudah melupakanku?”
Suaranya yang merintih dengan cepat masuk ke pendengaranku. Kedua tangan dengan perlahan menyentuh pipiku. Tangan itu terasa sangat kasar dengan kulit yang juga mulai mengelupas. Kuku-kukunya yang panjang menyentuh pipiku dan membuatku merinding merasakan tajamnya kuku berwarna hitam itu.
“Sudah saatnya dirimu bangun dari mimpi ini.”
JLEB
“Argh!”
Kuku-kuku itu langsung menusuk perutku dengan cepat, beberapa tetes darah mulai mengalir di kulitku. Aku menutup kedua mataku perlahan, menahan rasa sakit yang mulai menerjangku.
“Mimpi indah anakku…”
“ARGH!”
Aku membuka kedua mataku. Langit-langit kamar yang tinggi langsung menyapa penglihatanku, aku mengedarkan pandanganku dan aku berada di kamarku. Tidur di atas tempat tidurku yang sangat nyaman dengan selimut tebal yang menyelimuti tubuhku.
“Apa dirimu mimpi indah lagi?”
Sebuah tangan dengan lembut membelai kepalaku. Mataku langsung menangkap pemilik tangan ini. Ibuku. Seorang wanita sempurna yang telah melahirkanku.
“Iya Bu… aku sedikit takut… Mimpi ini berbeda dari biasanya.”
Kuku-kukunya yang panjang dan hitam itu membelai pipiku dengan lembut, aku merasakan dengan pasti, tajamnya kuku-kuku itu yang menyentuh kulitku. Aku mengenggam tangan itu. Tangan kurus kering yang selalu membelaiku di setiap malam.
“Tenang ada ibu di sini…”
Aku menatap ibu dengan perasaan senang. Dengan tubuhnya yang sudah kuambil kulitnya dia masih tetap terlihat cantik. Dengan mulutnya yang sedang tersenyum dan serangga-serangga kecil yang tampak mengintip di antara bibirnya yang tipis. Dengan tubuhnya yang seharusnya sedang berada di dalam terowongan, ia tetap menemaniku di sini sekarang. Di terowongan di mana aku membunuh ibu dan orang-orang di sekitarku yang menyebalkan. Di langit-langit terowongan di mana aku menempelkan bola-bola mata yang selalu menatapku jijik. Tapi mereka tetap indah di mataku. Dan sekarang aku sadar semua mayat itu adalah orang yang kubunuh di dalam mimpi indahku yang lain. Kuharap mimpi indahku yang lain akan segera datang.
***