Pernahkah terbayangkan bagaimana caramu mati suatu saat nanti? Pernahkah alur memberimu sedikit celah untuk menembus waktu dan mengintai ke dalamnya?
Aku terbangun dengan tiba-tiba. Bergegas mengatur napas dan mengusap wajah yang masih terasa mengantuk. Kulirik ponsel yang tergeletak di nakas tempat tidur. Pukul dua dini hari. Aku menguap lebar. Bulu kudukku meremang saat bayangan mimpiku baru saja kembali menguar di memori. Mimpi absurd tentang orang-orang yang begitu asing bagiku. Namun, semakin aku menajamkan pikir akan ketidakjelasan itu, sensasi lain justru datang mendatangiku.
Kebelet pipis! Aku jadi menyesal minum air putih banyak-banyak sebelum tidur tadi. Membuatku akhirnya harus menjamah lantai marmer sedingin es di bawahku dan tersaruk-saruk menuju kamar mandi. Aku membuka pintu kamarku, yang berada di lorong barat rumah, sedang kamar mandi terletak di utara. Cukup jauh memang, dan sanggup membuatku berpikir puluhan kali untuk ke sana, mengingat jenis rumah yang kuhuni cukup tua dengan lorong-lorong yang gelap dan sunyi. Sempat kuremas gagang pintu kamar sebelum nekat melangkahkan kaki keluar. Tak mau menimbulkan bunyi, aku memilih bertelanjang kaki saja. Dan dalam balutan baju tidur sutra yang melambai di sekitar betis, aku berjalan perlahan melewati beberapa ruangan yang tertutup rapat.
Beberapa langkah lagi untukku tiba di depan kamar mandi, sejauh ini aku tak melihat atau mendengar apapun yang aneh. Maka, aku mengembuskan napas lega dan mulai mendekati pintu dengan langkah ringan. Selama bertahun-tahun tinggal di rumah ini, aku memang jarang merasakan keanehan-keanehan, namun bukan berarti tak pernah. Contohnya saja....
Rrrrrrrrr.. aku tercekat tepat ketika akan meraih gagang pintu kamar mandi. Buyar sudah semua bentuk imajinasiku. Suara air keran yang mengalir dari dalam betul-betul membuatku berdebar. Siapa yang menyalakannya malam-malam begini? Tanganku gemetaran hebat. Sempat terpikir untuk segera melesat kembali ke kamar dan meringkuk dalam selimut hangatku, tapi aku tidak mau kepergok mengompol esok harinya. Baiklah, apa pun yang ada di dalam, semoga saja mereka tidak kelihatan. Dan kalau pun kelihatan, mungkin aku akan berpura-pura tidak melihat apa pun, dan setelah tujuanku terlaksana, aku akan kembali ke kamar dan melupakan semuanya. Berbekal keyakinan yang justru diragukan oleh tubuhku yang bergetar hebat, aku pun membuka pintu itu keras, tepat saat ada yang menengok dan memandang ke arahku.
“Zio...” aku merosot di depan daun pintu yang telah terkuak lebar, dan menggumamkan sebuah nama dengan kelegaan yang luar biasa. Meski tatapan mata orang itu jauh lebih dingin dan sangar dari hantu jenis manapun, aku tetap saja merasa, lega.
Aku buru-buru menguasai diri dan berjalan menuju wastafel, tepat di samping orang itu. Ia yang bertelanjang dada dengan rambut yang masih basah, meneteskan titik-titik air dari ujung rambutnya yang mencuat kemana-mana. Pemuda itu, Ezio. Ini memang bukan pertama kali aku melihatnya dalam keadaan seperti ini, namun kemunculannya ataupun caraku menemukannya yang selalu mendadak, seringkali membuatku masih saja terkejut dan berdebar saat hal itu terjadi lagi.
“Ngapain tengah malem di sini?” tanyaku pelan, berusaha meredakan kekagetan yang sudah mencapai klimaksnya.
“Mandi,” jawab Zio tak kalah pelan, hingga hanya seperti gumaman saja yang terdengar. Ia lantas memandang ke dalam cermin di depan kami. Tepatnya ke wajahku yang masih mengguratkan sisa-sisa kantuk. Menyadarinya, aku menghadapi dan memandangnya lelah.
“Kebiasaan banget sih, mandi tengah malem. Nggak baik buat kesehatan..”
Zio menghela napas. Ia lantas meraih handuk yang tergantung dan mengalungkannya pada lehernya. Ia memandangku dengan sorot melamun, seolah menyibak keresahan yang tak dapat ia ungkapkan, dan berjalan melewatiku.
“Gerah..” katanya saat berhenti sejenak di sisiku untuk kemudian kembali melangkah meninggalkan kamar mandi. Sebetulnya aku masih ingin mendebat Zio, kalau saja hasratku untuk pipis tak menyeruak dan mengganggu konsentrasi, membuatku langsung saja berlari ke dalam toilet.
Setelah selesai mencuci tangan, aku tak ingin berlama-lama sendirian dengan resiko diteror perasaan takut sendiri, kakiku pun bergegas melangkah lebar ke luar kamar mandi. Tepat saat sosok Zio muncul di sisi lain pintu dan mengejutkanku.
“Lagi ngapain sih lo di situ?” aku meninju lengannya pelan, lega sekaligus sebal setengah mati. Aku sudah bersusah payah menahan rasa takut, dia malah dengan santainya menakut-nakuti begitu.
“Mau mastiin aja, lo selamet apa nggak.”
“Maksud lo?” namun ia tak menjawabku, justru melangkah dengan langkah-langkah lebar dan menghilang di balik lorong timur. Aku merutuk-rutuk sendiri, kalau tidak ingat sudah larut malam begini, sudah kukejar dan kuteriaki si Zio itu sampai dia minta ampun. Aku pun hanya mengelus dada, menutup pintu kamar mandi, dan setengah berlari kembali ke kamarku. Tak kuhiraukan lagi suara langkah kaki pelan yang terdengar samar di sekitarku.
Napasku tersengal. Berusaha aku redakan di balik pintu kamar yang telah kututup kembali. Aku lantas menjangkau tepi tempat tidur dan terhenyak. Zio memang sering melakukan hal-hal yang tak terduga. Tapi, bila ia belum tidur hingga tengah malam begini, dan lalu nekat mandi, ia pasti sedang memikirkan sesuatu. Sudah berapa lama sebetulnya ia termenung di depan wastafel sebelum aku datang? Aku memang cemas. Sangat cemas. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya. Karena dia, bagaimanapun, adalah orang yang paling mengerti aku. Karena dia dan aku memiliki persamaan nasib yang begitu mencolok.
‘Ada yang ganggu pikiran lo, Yo?’ aku menekan tombol kirim pada ponsel yang baru saja kuraih. Karena tak mungkin aku mendatangi kamarnya malam-malam begini. Dan tak lama, balasan dari Zio tiba.
‘Iya. Lo ganggu banget, gue mau tidur.’ Sebetulnya aku sudah menduga ia akan menjawab seperti ini, tapi aku toh tetap mencoba mencari celah darinya untuk membaca hatinya. Namun aku juga lega, selama Zio masih bisa ketus seperti itu, setidaknya untuk saat ini dia sedang baik-baik saja.
Tak mau membuatnya uring-uringan esok harinya, aku kembali meletakkan ponsel tanpa membalas apapun. Anganku kembali diajak menelusuri akan kemisteriusan rumah yang kuhuni ini. Memang tak ada jenis penampakan yang mengerikan atahu sebangsanya. Tapi, aku selalu merasa ada yang mengawasiku. Ditunjang dengan luas rumah yang membentang namun hanya ditinggali beberapa orang saja, membuat keadaan sunyi dan seram sering menguar. Mungkin karena hal-hal aneh di sini, maka penghuninya pun terlarut dalam kenehannya.
Drrrtt.. ddrrttt.. pikiranku kembali teralihkan, kali ini pada ponsel yang bergetar tak nyaman di nakas, membuatku menghela napas dan segera meraihnya. ‘Nggak usah kebanyakan ngelamun. Tidur. Udah malem.’ Pesan singkat dari Zio itu segera menyentakku, kok dia tahu aku sedang melamun? Aahh.. kenapa dia selalu bisa membaca pikiranku?