SUSTI

SUSTI

Ayunda Nurul

4.5

Dinner kali ini terasa hambar. Tidak ada cokelat hangat ataupun kue selai kenari seperti malam-malam sebelumnya. Setelah dua minggu ayah dan ibu pergi ke luar kota dengan alasan urusan pekerjaan, aku mulai jenuh tinggal di Kota Yogyakarta. Padahal, kata orang-orang ini Kota Istimewa. Surganya seni maupun kehidupan yang masih sangat kental dengan budaya Jawa. Ibu dan ayah menitipkanku pada Eyang Suratman, pria Jawa tulen yang entah memiliki riwayat perkenalan dengan orang tuaku bagaimana. Padahal, kami sekeluarga termasuk keturunan Batak. Aku dan Eyang Ratman—begitu sapaan akrabnya—mendiami rumah Bangsal Kencono yang cukup jauh dari mobilitas kota. Rumah ini sangat sederhana dan kuno. Berbagai perabot di dalamnya masih terjaga dengan baik.

“Kalau mau nambah, habiskan saja Gudeg-nya, Le. Kebetulan Eyang juga sudah kenyang,” kata Eyang Ratman dengan logat khas Jawa.

Aku meminum sedikit air untuk menghilangkan rasa canggung. “Iya, Mbah. Terima kasih.”

Eyang Ratman hanya tersenyum simpul.“Omong-omong, gimana Eyang bisa kenal orang tua saya? Kami ini kan, keturunan Batak. Jauh di sana.”

Lagi-lagi Eyang Ratman tersenyum. Ah, memang banyak pesona orang-orang Jawa itu! Selalu tersenyum. Ramah—sangat ramah. “Eyang juga ndak tahu. Lha wong tiba-tiba sahabat Eyang bilang kalau Nak Luhut dan istrinya mau bertemu dengan saya. Dia itu pintar main internet. Dia tahu banyak dunia luar. Ndak seperti Eyang yang cuma tahu kesenian Jawa. Kalau kata anak-anak muda seusia kamu, namanya gaul.”

Aku menggeser posisi duduk. Obrolan ini semakin menarik. “Mungkin orang tua saya menghubungi Eyang Ratman lewat internet. Bisa juga kan, Mbah?”

“Hm...iya, iya Nak. Bisa juga sih.” Eyang Ratman mengangguk setuju. “Kebetulan sahabat Eyang itu suka banget foto-foto wayang golek buatan Eyang. Wong kalau lagi ndalang saja difoto-foto. Nah sejak itu banyak yang minta Eyang manggung atau bikin wayang golek untuk dikirim ke luar kota,” jelas Eyang Ratman panjang-lebar.

Aku hanya tersenyum. Sudah bisa kutebak. Sahabatnyalah yang selama ini membantu memasarkan keahlian Eyang Ratman dalam kesenian Jawa. “Oh iya, Nak Jogi ini anak tunggal ya?”

“Ehm, iya, Eyang.”

“Pasti sering kesepian, kan? Sama seperti Eyang. Begini kalau ndak ada jadwal ndalang.  Cuma sibuk bikin wayang golek. Kadang juga sahabat saya main ke rumah, nemenin Eyang bikin wayang semalaman.”

“Maaf, istri atau anak Eyang ke mana?” Aku memberanikan diri untuk sedikit lancang dalam menanyakan hal demikian. Padahal, dalam hatiku tersisip rasa takut jika beliau marah.

Bukannya lekas menjawab, Eyang Ratman justru tertawa kecil. “Gini lho Nak Jogi. Separuh hidup Eyang ini bukan untuk siapa-siapa. Cinta saya ini sudah jauh untuk seni Jawa. Lagi pula, Eyang ini kan sudah sepuh. Buat apa berpetualang mencari cinta? Eyang rahayu. Bahagia dengan kehidupan seperti ini.”

“Oh iya, Eyang. Hehehe... maaf Eyang, sedikit lancang.” Aku tersipu malu.

Ndak apa-apa, Nak,” sahut Eyang Ratman dengan santai. Syukurlah, beliau tak setempramental seperti yang kubayangkan sebelumnya.

Eyang Ratman tak punya aktivitas lain selain menghafalkan lagu-lagu Jawa ataupun membuat wayang golek. Dalam sekali pandang, beliau hanyalah seorang pria paruh baya seperti pada umumnya. Berperawakan agak tinggi, berbadan gemuk, kulitnya sawo matang dengan rambut beruban serta kumis tebal yang melengkung ke atas. Tapi kalau boleh jujur—ehm, aku harap kamu tak akan mengatakan ini kepada siapa pun—aku sangat risi tinggal bersama lelaki itu. Lebih tepatnya, aku illfeel. Atau bahkan nyaris membencinya. Aku yakin, kamu juga pasti muak membayangkan betapa munafiknya aku ketika berpura-pura supel di sela-sela makan malam bersamanya. Atau berpura-pura menawarkan bantuan ketika beliau sedang kesulitan memindahkan segudang wayang golek kreasinya. Aku harap, Tuhan tahu dan memaklumi sikapku.

Eyang Ratman tidak seperti sosok kejawen kebanyakan. Singkatnya begini. Malam kelima aku tinggal di sini, aku tak sengaja melihat beliau melakukan suatu hal aneh di tempat pengap itu. Kalau tidak salah, pukul 2 dini hari saat aku hendak ke kamar kecil. Selama aku tinggal di sini, aku baru melihat tempat itu satu kali. Sejauh ini hanya ruangan berubin kayu dengan beberapa bilik kecil yang aku lihat. Salah satu di antaranya digunakan sebagai gudang ratusan wayang golek buatannya.

Aku mendengar suara Eyang Ratman menyanyikan lagu Jawa yang entah apa artinya. Lagu itu sangat mengerikan untuk didengarkan. Apalagi menjelang tidur. Dari kejauhan, terlihat Eyang menunduk-nunduk, sembari memejamkan mata dengan menuturkan tembang-tembang Jawa. Seperti memohon sesuatu. Kupikir itu sangat aneh. Untuk apa bersenandung saat dini hari? Ini waktunya beristirahat, menjelajahi dunia khayal masing-masing lewat mimpi. Membiarkan makhluk-makhluk malam (tak kasat mata) menjelajahi dunianya, atau memandangi tubuh kita yang tengah tertidur pulas dari langit-langit kamar. Dadaku sangat sesak. Aroma dupa begitu menusuk paru-paru. Aku mengendap-endap menuju kamar. Takut Eyang Ratman mengetahui keberadaanku dan akan berakhir menjadi kemarahan yang besar. Namun, bukan berarti rasa takutku pupus begitu saja.

Sekarang, ambil posisi ternyamanmu. Sungguh, aku tak punya teman lain. Aku ingin berkeluh kesah denganmu, siapa pun kamu yang tengah membaca kisahku ini. Pernahkah kamu memasuki wahana Rumah Hantu? Aku yakin, pernah! Anggap saja begitu keadaanku saat ini. Di sisi kanan-kiri ranjang, ada banyak topeng ataupun wayang golek dengan berbagai karakter yang belum pernah kutemui sebelumnya. Bahkan dalam makhluk mitologi  Jawa sekalipun aku belum pernah melihatnya.

Bisa jadi, beberapa wayang golek yang tersusun rapi di dinding kamar ini adalah karakter khayalan dari Eyang Ratman. Entah berbentuk apa. Laki-laki atau perempuan, tua atau muda, manusia atau binatang. Aku tak bisa menjelaskannya secara pasti. Aku ingin kamu merasakan betapa risinya ketika tengah mengalami insomnia. Yah, aku diawasi oleh mata yang tak bernyawa. Mereka seolah-olah saling menatapku. Memerhatikanku di atas ranjang besi tua yang sedikit ribut ketika aku bergerak. Setiap malam, aku hanya bisa bergumul di dalam selimut untuk mengurangi sedikit kecemasan dan rasa takutku. Sesekali, aku membayangkan jika tiba-tiba di dalam selimut ada sesosok muka menyeramkan dari wayang-wayang tersebut yang mencabik-cabik wajahku dengan ganas. Layaknya cerita-cerita dalam laman Creepypasta. Menjijikan memang, untuk anak tunggal yang sok-sok dewasa di depan siapa pun sepertiku.

***

Dari luar sana, terdengar deru mesin yang beradu dengan senda gurau seseorang. Gemuruh itu memaksaku untuk terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Seberkas cahaya yang masuk dari ventilasi membuat mataku sulit terbeliak. Pagi ini aku begitu lega. Tidak ada hal-hal buruk yang mengganggu tidurku semalaman. Dari celah jendela terlihat mobil sedan warna biru yang sepertinya tak asing di mataku. Sepasang suami istri duduk di teras depan dengan menikmati secangkir minuman hangat. Tentunya, Eyang Ratman serta merta dalam tawa mereka. Aku mengucek kedua mataku untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah dalam pandanganku. Benar. Mereka adalah orang tuaku. Ah senang sekali! Tanpa basa-basi, aku bergegas mandi.

Aku menemui mereka dengan menyunggingkan senyuman termanis pagi ini. Memang, aku sedang berpura-pura. Seolah-olah kehidupanku di sini baik-baik saja. Semoga, senyumanku ini bisa menyembunyikan segalanya.

“Pagi, Ayah! Pagi, Ibu! Pagi juga, Eyang!”

“Jogi, gimana hari-harimu bareng Eyang Ratman? Senang, kan?” sahut ibu dengan sumringah. Ibu mengusap-usap rambutku. Sepertinya ibu rindu berat denganku.

Aku tersenyum, lalu menjawab, “Tentu saja, Ibu.” Aku berbohong kali ini.

“Eyang, terima ini sebagai tanda terima kasih kami. Maaf atas kenakalan Jogi selama tinggal di sini.” Ayah menyalami Eyang Ratman dengan menyodorkan amplop tebal berisi uang.

“Waduh, terima kasih banyak lho, Nak Luhut. Eyang juga senang ada Nak Jogi. Eyang ndak kesepian.”

Besamaan dengan itu, aku melihat ibu melakukan kontak mata dengan ayah. Seperti ada rencana lain yang sedang mereka sembunyikan. “Jogi, kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan berangkat sebentar lagi.”

“Baik, Bu.”

Aku tak diam begitu saja. Dari celah jendela, aku mengamati gerak-gerik ketiganya. Eyang mengernyitkan dahi. Raut wajahnya tampak meragukan sesuatu dari pembicaraan orang tuaku. Aku yakin tak ada yang salah dengan prasangka ini. Mereka tengah melakukan sesuatu. Lagi pula perkenalan ketiganya sepertinya kurang wajar. Tidak layaknya perkenalan jauh yang butuh waktu lama untuk memahami satu sama lain. Kupandangi seisi ruangan ini. Aku menatap karakter-karakter menyebalkan di dinding untuk terakhir kalinya. Tentu saja, mulai detik ini, aku tak sudi untuk kembali lagi ke sini. Rumah tradisional terpencil dengan sejuta aktivitas yang aneh. Aku mengangkut koper dengan tergesa-gesa. “Selamat tinggal, karakter-karakter aneh, menyebalkan, dan membosankan!”

Aku menghempaskan tubuh di dalam kursi mobil. Kubuka sedikit jendela yang menyuguhkan angin-angin segar. Aku menghirup udara dalam-dalam sampai paru-paruku tak mampu lagi menampungnya. Ada perasaan nyaman ketika aku menghela napas yang cukup panjang. Orang tuaku masih seperti biasanya. Pembicaraan kami bertiga masih harmonis. Tak ada yang membuatku  lebih skeptis. Ah, aku jadi merasa bersalah kepada mereka. Aku ini anak macam apa?

“Jogi, pekerjaan Ayah dan Ibu setelah ini lebih padat. Ayah dan Ibu bakal lebih sering di luar. Kami sedang ada proyek besar. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Setelah pulang sekolah, jangan main ke mana pun! Ingat, kamu anak tunggal Ayah dan Ibu. Jangan bandel!” pesan ibu di tengah perjalanan.

Aku menghela napas lagi. “Ibu, aku sudah SMA. Lagi pula sampai kapan aku terus-terusan cupu begini? Aku mau main ke cafe, ke bioskop ....”

“Nanti kamu juga bakal punya teman, kok. Tenang saja, Sayang.” Ibu memotong pembicaraan. Ia mengerlingkan pandangannya kepadaku. Bibirnya tersenyum lebar.

Aku hanya diam membuang pandangan. Tak akan ada habisnya berdebat dengan orang tua.

***

Bus sekolah telah mengantarkanku pulang sampai rumah. Tidak ada yang spesial—sama sekali tak ada—dari rumah mewah yang dimiliki orang tuaku itu. Hanya ada kesunyian yang tak berujung. Seperti biasa, aku membuka kulkas lebar-lebar.

“Hai.” Suara perempuan itu membuat jantungku sempat terhenti sejenak.

Aku mengerlingkan pandangan. “Siapa kamu? Pembantu baru? Oh. Kenapa orang tuaku memperkerjakan anak muda sepertimu?”

“Aku temanmu.” Gadis muda itu berkulit sangat putih. Bahkan nyaris pucat. Dia memakai baju kebaya lengan panjang dengan bawahan kain Jarik selutut. Rambutnya diikat rapi.

Aku ikut duduk di meja makan bersamanya. “Jogi.” Aku mengulurkan tangan. Ia cuma diam. Menatap tanganku dengan tatapan kosong. Dasar perempuan! Sedikit-sedikit canggung.

“Nggak usah canggung gitu, dong. Biasa aja kali.” Kutarik saja tangannya supaya ia mau membalas jabat tanganku. Rasa canggung membuat tangannya sedikit kaku dan dingin.

“Aku tahu perasaan cewek kalau diajak kenalan. Pasti canggung. Sampai dingin begini,” celetukku. “Ini, makan saja. Aku suka sekali Tiramisu. Kalau mau, kamu bisa ambil lagi.”

“Namaku Susti. Aku nggak suka makanan seperti itu.” Akhirnya dia menjawab juga.

“Ya sudah, aku nggak punya stok makanan lagi selain ini.”

“Hm,” jawabnya singkat.

Sejak itu, Susti selalu menemaniku setiap hari. Meski orang tuaku sering lembur, aku tak lagi kesepian. Aku mengucek-ucek mata, memastikan jika pandanganku mulai membaik.

“Susti?!” teriakku. “Kenapa kamu ada di depan ranjangku?! Ah, dasar! Bikin jantungan saja!”

Namun tak ada jawaban apa pun darinya. Ia hanya dia menatapku. “Ya sudahlah, aku mandi dulu. Hei, kamu cewek! Keluar dari kamarku!”

Setelah kami saling kenal, aku merasa kehidupan ini kian membaik. Setidaknya, aku sudah seperti anak-anak kebanyakan. Dikenal dan mempunyai teman. Hubunganku dengan keluarga juga semakin harmonis. Tapi hingga kini aku masih menyimpan satu pertanyaan yang entah sebaiknya aku lontarkan atau tidak.

Susti,  ia selalu datang sebelum aku bangun. Dan ia akan pulang setelah aku tertidur lelap. Entah ke mana.

Beberapa hari ini Susti tak datang ke rumah. Aku mulai frustrasi. Aku menganggap bahwa memang diriku tak pantas memiliki teman. Malam itu aku benar-benar terjaga. Padahal aku bangun lebih awal. Aku merasakan suasana yang sungguh tak nyaman di dalam kamar. Kuputuskan untuk keluar ruangan, mencari udara segar saat dini hari. Hening. Tidak ada angin malam sedikit pun. Tetapi aku merasa sedikit dingin pada leherku hingga bulu kudukku berdiri. Berkali-kali aku mengerlingkan pandangan. Takut ada yang memerhatikan atau bahkan mengikutiku diam-diam.

Namun, hal yang sangat tak kusangka terjadi. Aku melihat ayah dan ibu melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Eyang Ratman. Mereka menyanyikan lagu-lagu Jawa, seakan meminta sesuatu pada benda kayu itu. Aku menahan sebagian napas. Lalu perlahan, aku mendekat. Dari ambang pintu ruangan, aku berusaha mengamati wujud benda itu. Aku mengenali persis bentuk benda itu. Serupa dengan gadis muda berpakaian kebaya yang memiliki rambut diikat. Ia berada di tengah antara dua lilin besar. Sementara lampu di ruangan itu dimatikan. Di depannya terdapat sekumpulan bunga disertai dupa yang semerbak.

“Wayang golek raksasa?! Astaga apa yg mereka lakukan?!” pekikku lirih. “Wayang golek raksasa itu....? Susti...?!”

Samar-samar, aku mendengar apa yang mereka katakan.

“Kami mohon, beri kesempatan sekali lagi. Temani anak kami sekali lagi saja,” mohon ibu sambil terisak.

“Kami berjanji akan berikan yang lebih baik lagi untukmu,” tambah ayah.

Seketika jantung berdebar-debar. Aku sama sekali tak menyangka jika kedua orang tuaku melakukan hal bodoh itu. Apa-apaan ini? Ini bukan zaman kebodohan yang masih sangat memercayai kekuatan arwah untuk mendapatkan sesuatu! Sungguh, perasaanku tak keruan. Selama ini, dugaanku tak salah. Mereka memang menyembunyikan sesuatu dengan Eyang Ratman, orang aneh itu! Aroma itu begitu menusuk penciumanku. Aku berjalan ke kamar dengan terhuyung-huyung. Aroma itu telah mematikan sebagian indera penciumanku. Aku ingin segera memejamkan mata, ingin cepat-cepat melupakan seluruh hal bodoh di kehidupanku belakangan ini.

***

Aku absen sekolah tanpa alasan. Yang jelas, kepala ini terasa sakit. Sebisa mungkin, aku berjalan mencari sekotak P3K. Di sudut dapur, Susti sedang menyiapkan sesuatu.

“Sus...Susti, bisakah kamu buatkan teh hangat untukku? Kepalaku sakit sekali,” ucapku sambil membongkar kotak P3K. Hingga beberapa detik kemudian, tak ada jawaban yang terlontar dari Susti.  Yang ada hanya suara pisau, karena ia sedang mengiris sayuran. Mungkin. “Susti...?”

Aku berbalik arah. Menghampiri Susti meski rasanya tak kuasa untuk berjalan. Barangkali ia tak mendengar ucapanku. Aku menepuk pundak Susti. Entah, kali ini suasana benar-benar sepi. Aku jadi canggung. “Susti,”

Susti membalikkan badan. Membuat gerakan yang sangat mengejutkanku. “Aaargh!”

Yang kulihat, bukan Susti. Sosok itu bermuka pucat dan rusak. Lebih seram ketimbang karakter aneh di rumah Eyang Suratman. Namun, dia berpakaian persis dengan Susti. “Siapa kamu? Pergi!” teriakku. Dengan cepat ia mencekik dan memojokkanku. “Siapa kamu?! Kamu bukan Susti!”

“Susti? Hahaha! Ini aku! Susti yang sebenarnya! Aku hanyalah arwah yang diperdaya oleh Suratman dan orang tuamu! Mereka menyuruhku berpura-pura menjadi temanmu! Tetapi mereka tak bisa menuruti keinginanku! Aku tak bisa terus-terusan diperdaya oleh manusia bodoh sepertimu!  Aku juga tak mau menjadi arwah yang diperangkap dalam wayang golek raksasa itu! Aku hanya mau darah segar darimu! Ya! Sebagai jamuan terakhirku!”

Makhluk itu menjilati leherku. Ia juga berbau busuk yang membuatku semakin tak berdaya. Napasku tercekat keras. Perlahan-lahan, kuku runcingnya menusuk perutku. “Le-lepaskan a-aku!”

Sungguh. Ini sangat menyakitkan. Kuku-kuku itu telah menyayat sebagian perutku hingga  tercabik-cabik. Tusukan tajamnya menembus leherku. Darahku mengucur deras hingga keluar dari mulut. Aku lemas tak berdaya. Pandanganku memudar. Dan kini, Susti memasukkan arwahku ke dalam wayang golek raksasa buatan Eyang Suratman itu. Hingga sekarang, Susti telah menggantikan posisiku. Ia masih tetap berpura-pura menjadi Jogi yang baik di depan orang tuaku.  Jogi yang sekarang, bukanlah Jogi yang sebenarnya....

***