Surat, Rahasia dan Kamu

Surat, Rahasia dan Kamu

Intan Rizva

4.5

“Apa yang bikin lo suka sama dia?”

Lelaki itu tersenyum sebelum menjawab, memperlihatkan pipi kanannya yang berlubang. Manis sekali. Kalau saja ada perempuan yang melihat, lawan bicaranya itu yakin, kalau perempuan itu langsung meleleh di tempat. Seperti jeli, pikirnya berlebihan. Karena kasus seperti itu bukan hanya sekali-dua kali ia saksikan.

“Dia cantik,” jawab lelaki itu tanpa menghilangkan senyumannya itu. Terlihat binar pada kedua bola matanya yang berwana cokelat terang saat mengatakan hal itu.

Cih, lo nggak pernah denger ya, istilah kalau cantik itu relatif?” ujar lawan bicaranya itu dengan nada skeptis. Namun bukannya tersinggung, lelaki itu malah semakin menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

“Memang iya, cantik itu relatif,” ujarnya membenarkan perkataannya. “Tapi definisi cantik menurut gue itu, memiliki banyak arti.”

Satu alisnya terangkat. “Misalnya?” Merasa tertarik dengan apa yang lelaki itu katakan.

Lagi-lagi tersenyum. “Lo akan tahu, saat lo melihatnya nanti,” ujarnya dengan tatapan mata tak terbaca.

“Kapan itu?”

“Suatu saat,” ujarnya dengan nada penuh maksud yang kentara di telinganya. “Dan gue berharap, saat itu lo bisa tepatin janji gue buat dia.”

“Kenapa harus gue?” tanyanya dengan kening berkerut bingung.

“Karena cuma lo yang bisa,”

“Memangnya lo sendiri nggak bisa?”

“Seandainya gue bisa...” Gue juga pengin, gue yang tepatin janji gue buat dia. Lanjut lelaki itu dalam hati, yang membuatnya seketika mengingat mimpi yang selalu didapatinya dalam tidurnya beberapa kali ini. Mimpi yang jelas tidak bisa dirinya abaikan begitu saja. Membuat binar di wajahnya meredup seketika. “Tapi sayangnya, cuma lo yang bisa tepatin janji gue sama dia.”

“Kenapa gue?”

“Entahlah.” Lelaki itu mengedikkan bahunya tidak tahu sambil menatap mata lawan bicaranya itu. “Gue sendiri pun nggak tahu, kenapa harus elo?”

Pertanyaan yang sama yang sering digumamkannya setiap malam.

Kenapa harus dia? Kenapa nggak gue? Kenapa dia bisa? Gue nggak?

Karena dia bisa. Elo nggak.

Karena dia mampu. Elo nggak.

Waktu dia masih banyak. Sedangkan elo nggak.

Dan seketika itu juga ia langsung mendapatkan jawaban demi jawaban yang selalu bergema di pikirannya setiap kali pertanyaan-pertanyaan itu ia gumamkan setiap malam.

Hal sering sekali ia sesalkan.

Mengapa takdir harus sekejam ini kepadanya?

***

Apa yang akan kamu lakukan saat kamu menemukan “sesuatu” yang tidak pernah kamu temukan sebelumnya di dalam lokermu, tapi kali ini kamu malah menemukannya terletak di sana? Terlebih “sesuatu” yang kamu temukan itu adalah sebuah surat yang kamu tidak ketahui identitasnya.

Bingung? Sudah pasti.

Heran? Apalagi.

Itu yang dialami Distya.

Distya jelas merasa bingung saat mendapati sebuah surat beramplop warna biru muda itu terletak di dalam lokernya. Pasalnya, ini pertama kalinya ia menemukan sebuah “benda asing” yang bukan miliknya berada dalam lokernya. Terlebih, “benda asing” itu merupakan sebuah surat yang tertulis namanya di pojok kiri atas amplop itu.

Untuk Distya Maharani

Surat itu memang ditujukan untuknya. Namun tanpa diketahui jelas dari siapa surat itu berasal. Jelas saja membuat dirinya bertanya-tanya.

“Ini surat beneran buat gue?” gumam Distya sambil menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal. “Tapi dari siapa, sih? Nggak ada kerjaan banget ngasih surat tapi nggak dikasih nama. Pasti kerjaan orang iseng deh!”

Dengan masih menampakkan wajah bingung bercampur penasaran, Distya pun membuka amplop berwarna biru itu dan membaca suratnya. Yah, siapa tahu setelah ia membaca surat itu, ia bisa menemukan petunjuk dari siapa surat ini berasal.

***

Dear, Distya...

Hai, haloo! Mungkin lo bakalan merasa aneh menemukan surat ini ada di loker lo. Hal yang nggak pernah lo temui sebelumnya. Tapi lo harus tahu, kalo ini bukan hanya sekadar surat iseng dari orang yang emang nggak ada kerjaan. Apalagi salah alamat. Gue serius soal ini.

Lo mungkin nggak kenal gue, tapi gue kenal lo. Bahkan lebih dari sekadar kenal. Tapi lo nggak perlu tau tentang hal itu. Cukup gue aja yang tau. Karena gue yakin, sepenasaran-penasarannya lo tentang gue, lo nggak akan mau mengenal gue lebih baik kayak gue mengenal lo. Tolong, jangan katakan ini sebagai kalimat sampah yang orang lain sering bilang, “gombalan receh,” atau sejenis itu. Karena yang gue bilang ini fakta, kejujuran, dan itu harga mutlak buat gue.

Di samping hal itu, ada hal yang ingin gue katakan. Mulai hari ini, gue bakalan jadi secret admirer lo sekaligus kotak sampah lo—apa pun itu—yang setia. Lo mungkin merasa nggak nyaman sama apa yang gue lakukan. Lo boleh mengabaikan surat ini dan surat-surat lainnya kalau emang merasakan hal itu. Tapi kalau lo merasa sebaliknya, lo cukup balas surat gue dengan sepatah-dua patah kata sebagai balasan dan simpan di loker lo kembali. Dan gue akan membalasnya di surat gue selanjutnya.

Terima kasih sudah membaca surat pertama gue ini. Dan gue harap, lo mau baca surat-surat yang gue kirimkan kembali di minggu berikutnya. Sampai jumpa dan selamat hari Kamis, Distya!

Regard

[Your Secret Admirer]

***

Cih, ini bahkan bukan hari valentine apalagi ulang tahun gue,” ujar gadis itu sambil menutup pintu lokernya dengan sedikit agak keras. Merasa kesal sesaat telah membaca surat yang ditemukannya di lokernya itu. “Maksudnya apaan nih, ngasih gue surat beginian segala?! Ngaku-ngaku jadi secret admirer gue segala lagi, emangnya gue siapa? Cewek populer? Ha, gue bahkan bukan siapa-siapa di sini.”

Terlihat jelas sekali seberapa kesalnya gadis itu setelah membaca surat itu. Bukannya mendapatkan petunjuk dari siapa surat itu berasal, Distya malah mendapati kalimat-kalimat sampah yang orang itu—atau siapa pun itu—Distya tidak peduli—katakan. Orang itu seolah-olah sangat mengenal dirinya saja.

Distya menggerutu sambil membalikkan badannya meninggalkan ruangan penyimpanan barang pribadinya itu yang disediakan kampusnya. “Kotak sampah? Cih, apaan lagi itu... emangnya, gue sebodoh itu apa, mau ngomongin semua masalah yang gue punya sama orang yang nggak gue kenal sama sekali?! Dasar, bego.”

Seusai mengatakan hal itu, ia pun menghilang di balik koridor yang mengarah ke ruangan kelasnya yang berada beberapa puluh meter dari ruangan penyimpanan barang. Punggungnya tertelan oleh lautan manusia yang berjalan di koridor yang dilewatinya tadi. Tanpa menyadari sepasang mata menatapnya di kejauhan disertai senyum yang tercetak di bibirnya

***

Lelaki itu memerhatikannya. Bahkan semenjak Distya memasuki ruang penyimpanan barang dan membuka lokernya. Lelaki itu memerhatikannya dari tempat yang tidak gadis itu sadari.

Berbagai macam ekspresi yang Distya tunjukkan, lelaki itu melihatnya. Dari bingung, heran, penasaran sampai seberapa kesalnya gadis itu saat tak memperoleh apa yang diinginkannya, lelaki itu memerhatikannya dengan begitu detail. Hanya karena sebuah surat yang ia letakkan di dalam loker gadis itu, lelaki itu bisa melihat berbagai macam ekspresi yang Distya tunjukkan. Betapa bersyukurnya ia bisa melihatnya, yang membuat seulas senyum tipis terukir di bibirnya. 

“Suatu saat nanti, kamu akan mengerti mengapa aku melakukan ini, Distya.” Dia berujar lirih tanpa mengalihkan tatapannya dari punggung gadis itu yang semakin menjauh, lalu tertelan oleh lautan manusia. “Dan aku berharap, kamu tidak akan terlambat menyadarinya,” ujarnya kemudian sebelum berlalu meninggalkan tempat itu. Dengan satu harapan pasti, bahwa apa yang dilakukannya di masa kini, akan membawa suatu kebaikan di masa yang akan datang.

***

Distya menopangkan kepalanya dengan satu tangan di meja belajarnya sambil mengetukkan jemari tangannya yang lain hingga menimbulkan bunyi yang cukup kentara didengar. Ditatapnya sebuah surat beramplop biru yang diletakkannya di atas diktat kuliahnya itu sambil mengesah pelan saat mengingat kembali di mana surat itu ia temukan. Di dalam lokernya! Dan yang membuat Distya tak habis pikir, bisa-bisanya orang itu meletakkan di dalam lokernya tanpa dirinya sadari. Terlebih lagi yang membuat Distya kesal, tak ada satu orang pun yang tahu siapa yang meletakkan surat itu di dalam lokernya saat ia menanyakan kepada orang-orang yang berkeliaran di dalam ruang penyimpanan barang pribadi tersebut.

Distya mengacak-ngacak rambutnya frustrasi sambil mendengus kesal. “Ck... Ngapain juga gue pikirin tuh surat! Paling kerjaan orang iseng, yakin deh gue!” gerutunya berusaha abai. “Nggak mungkin juga kan, orang itu bakalan ngirimin gue surat lagi. Udah deh, cuekin aja!”

Dan dengan itu, Distya berusaha tidak peduli dan mengabaikannya.

Namun, di minggu berikutnya, ia menemukan surat kedua di dalam lokernya.

Begitu pun dengan  surat-surat lainnya di minggu-minggu berikutnya.

***