Seorang remaja berpakaian putih biru muda sedang duduk di teras, memakai sepatu hitam miliknya. Tas yang tergeletak di kursi dekat teras diambilnya, kemudian dia berdiri sembari membenarkan kacamata.
"Nek, aku pamit ya!" katanya sedikit meninggikan volume suara.
"Iya, Denis. Hati-hati di jalan, ya!" balas seseorang dari dalam rumah.
Ramaja berumur 17 tahun itu mengiyakan dan segera memakai helm hitam. Kemudian dia menaiki sepeda motor matic berwarna merahnya. Berangkat cukup pagi demi bisa membuka buku pelajarannya sebelum masuk.
Denis anak yang pintar di sekolahnya, dia kerap memenangkan beberapa lomba akademis. Setelah libur panjang dia telah menginjak kelas tiga SMA smester genap . Dimana dia harus fokus untuk belajar demi mendapatkan nilai terbaik. Selalu rangking satu di sekolah tidak membuatnya lengah sedikit pun.
Sesampainya di sekolah, hampir tak ada seorang pun yang datang di kelas maupun kantin sekolah. Kecuali, saat dia sampai di kelasnya sendiri, dimana sudah ada beberapa anak yang duduk dengan bukunya. Tatapan sekilas mengarah kepadanya, teman-teman di kelas menganggapnya ancaman. Meskipun begitu dia tetap memasuki kelas 3-A, dengan suasana hati yang kurang nyaman.
Sesekali Denis membenarkan kacamata miliknya, kemeja putih lengan panjang yang ia kenakan sedikit dilipat. Dia mulai mengambil beberapa buku pelajaran ke atas meja. Matanya menyipit tiap kali Denis menemukan persoalan sulit, tapi berhasil dipatahkan dengan penanya.
tanyan seseorang menapak telapak tangan kanan di atas buku yang dibaca, "Denis, apa kabar! Lo kangen gak sama abang Kevin yang ganteng ini?"
Dia Kevin, teman baik Denis yang bahkan bukan dari kelas sama sepertinya. Meskipun terkesan menyebalkan baginya, Kevin sangat baik padanya. Kevin berasal dari keluarga berada, dia tidak terlalu pintar tapi sangat perhatian. Seperti ketika, Denis yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli buku pelajaran, Kevin bersedia membantunya.
"Tumben pagi lo dateng, Vin," heran Denis.
"Ehh, tumban tumben apaan lo. Gue kan mau ketemu ayang Vera," katanya dengan mata berbinar.
Denis menautkan alisnya hingga dahinya berkerut, "Bukannya kemaren sama Siska?"
Dengan tangan kanan yang mengepal Kevin berkata, "Ada pepatah bilang, kalo masa lalu biarlah masa lalu," kemudian tangan kirinya mengepal dan mengatakan, "Dan masa kini ya masa kini."
Denis menyandarkan tubuhnya ke belakang dan menatap Kevin sambil menggeleng, "Berapa nilai, lo kemarin?"
Seketika senyum Kevin yang secerah matahari, berubah gelap layaknya kedalaman palung Mariana. Denis yang melihat perubahan ekspresi itu mengangguk paham, "Kayaknya cukup bagus buat dipajang di museum. Biar anak cucu lo di masa depan bisa lihat sejarah leluhurnya," ledek Denis sambil tersenyum puas.
"Eh, kalo lo emang guru privat gue. Harusnya lo tetep support, dong!" kata Kevin mulai kesal.
Denis memajukan tubuhnya, kedua tangan melipat ditaruh di atas meja, "Eh, kalo lo anak murid gue. Minimal dengerin guru ngomong, jangan cewek mulu yang lo dengerin kemauannya," balas Denis.
Keduanya saling menatap sinis, "Awas aja kalo lo suka sama cewek dan gak fokus ngajar," peringat Kevin yang langsung beranjak pergi.
Sementara Denis menghela nafas panjang melihat kelakuan temannya itu. Meskipun Denis memang dibayar oleh orang tua Kevin untuk mengajarinya, tetapi Denis tidak ada niatan memanjakannya sedikit pun. Bayaran yang diberikan cukup untuk menutupi biaya uang jajan dan sekolah. Meskipun begitu, dia selalu dicap sebagai peminta atau orang yang suka memanfaatkan Kevin.
Semua hal itu salah, Kevin adalah teman baiknya. Bahkan orang tua Kevin juga sangat baik padanya. Pemikiran negatif orang yang entah berawal darimana, tetapi Denis mulai terbiasa dan menghiraukannya.
"Upacara segera dimulai, para siswa dimohon berkumpul di lapangan. Sekali lagi...." perintah seseorang yang berbicara melalui pengeras suara.
Waktu berjalan dengan cepat, sudah hampir pukul 7 untuk melaksanakan upacara di hari senin. Semuanya mulai pergi keluar, sementara Denis keluar terakhir.
Teman-teman kelasnya sudah meninggalkan tempat, tidak ada yang menyuruh atau berteriak untuk segera ke lapangan. Hanya siswa-siswi dari kelas lain yang dititahkan untuk segera keluar dengan segala dramanya. Namun, Denis bukanlah siswa yang menaati peraturan. Dia selalu berbelok ke arah perpustakaan, alih-alih pergi ke lapangan seperti yang lain.
Sementara itu, di sisi lain seorang siswi bersembunyi di balik pintu perpustakaan. Nafas berat, serta keringat yang membasahi bawah mata dan pelipisnya. Gadis berambut pendek sebahu yang tergerai, terlihat sedikit berantakan. Dasi biru yang dikenakannya tidak vertikal lagi.
Suara langkah kaki menggetarkan degup jantungnya, kedua tangan mencoba menahan gagang pintu. Saat suaranya makin dekat, gadis itu menahan nafasnya. Seolah mencoba menghilangkan keberadaannya meskipun itu mustahil. Hingga seseorang dari balik pintu mencoba menggerakkan gagang pintu. Semakin keras saat orang di luar menyadari ada yang menahannya.
"Mampus, gue," gerutunya.
"Ada orang di dalem? Kalo ada orang di dalem bukain pintunya. Gue mau masuk," katanya.
"E-Enggak, gak akan gue buka!" jawab gadis itu.
"Yang bener aja, gue udah sering di sini. Buka pintunya!" ucap Denis sambil berusaha membuka.
"Lo bukan OSIS kan?" selidik gadis di balik pintu.
Denis berdecak, "Bukan."
Hening sebentar, gadis itu seperti sedang berpikir keras, "Kalo lo bukan OSIS, kenapa lo ke sini?" tanyanya tak mau percaya.
Denis mengusap wajahnya kasar, "Gue bukan anak OSIS, lagian kenapa lo di sini, sih?"
Gadis itu mulai membuka sedikit pintunya, melihat dari celah. Seorang laki-laki berpakaian sama sepertinya berdiri di sana, di balik kacamatanya dia menatap gadis itu tajam. Secara perlahan gadis pemilik mata hitam legam menutup pintunya lagi.
"Tawaran ditolak," katanya.
Denis membelalakkan matanya tidak percaya, "Eh, apa-apaan? Gue ga buat tawaran, ya," balas Denis mulai naik pitam.
"Gue dobrak ya! ," peringat Denis.
Tak ada jawaban dari dalam sana, Denis makin geram dengan seseorang di balik pintu. Dengan kesal, Denis menaikan sedikit baju lengannya. Kakinya mundur beberapa langkah, mulai siap mengambil ancang-ancang. Kaki kanan berpijak di belakang, bersiap mendobrak pintu.
Denis mulai mendorong tubuhnya berlari ke arah pintu yang tak jauh jarak dari tempatnya bersiaga. Pintu yang tertutup rapat mendadak terbuka lebar sebelum didobrak. Denis yang terkejut tak mampu menyeimbangkan tubuh saat hendak berhenti, hingga akhirnya dia jatuh tersungkur ke depan.
Gadis itu terkejut melihat Denis jatuh tepat di depan matanya, "Ya ampun, sorry," katanya dengan suara lirih.
Denis segera bangkit meskipun dia merasa kesakitan di beberapa bagian, dia berusaha tampil baik-baik saja dengan membersihkan debu di lututnya. Gadis itu tidak mengatakan apa pun selain permintaan maaf.
"Maaf, gue gak tau lo beneran dobrak ni pintu," katanya menyesal.
Denis kini menghadap gadis yang lebih pendek darinya beberapa senti, "Lagian, kenapa sih lo disini?"
Gadis itu terdiam sejenak, menepuk keningnya pelan, "Oh iya! Tutup buruan sebelum ada-"
"Kalian berdua ngapain di sini?" seseorang berkepala botak tiba-tiba berada di dekat pintu.
Denis membelalakkan matanya, "P-Pak Ferdi?"
"Pak, kita bisa jelasin. Kita mau pergi ikut upacara, kok. Tapi ada, mm, itu pak," gadis itu berusaha berpikir keras namun....
"Kalian berdua ikut saya!"