2010
LONDON selalu mengingatkanku dengan Harry Potter. Tokoh fiksi ciptaan JK. Rowling itu seakan melecutkan semangatnya padaku untuk mengelilingi kota yang dijuluki the smoke ini.
Seperti mantra-mantra di dunia sihir tersebut. Accio, imperio, wingardium leviosa, expelliarmus, hingga avada kedavra!
Tak lupa horcrux sebagai simbol keabadian para penyihir yang selalu disimpan di tempat aman berbentuk apa saja, sehingga jiwa mereka tak hancur.
Seperti Lord Voldemort yang menyimpan bagian dari jiwanya agar abadi di buku harian Tom Riddle.
Horcrux milikku berupa buku harian bersampul bunga matahari konyol. Meski warna sampulnya sudah memudar, juga gambar bunga matahari yang kini lebih mirip bunga bangkai. Namun kenangan yang tertulis di dalamnya serupa jiwaku, yang tak akan bisa dihapus begitu saja—kecuali dengan memberikannya.
Lagi, kulirik buku harian di tanganku. Ada rasa tak rela berpisah dengannya. Namun aku tak punya pilihan lain. Mengembuskan napas kasar, kuseret langkah menuruni anak tangga, meninggalkan Galeri Nasional London di belakangku.
Monumen Nelson’s Column berupa patung Laksamana Horatio Nelson menyambutku begitu memasuki Trafalgar Square. Letaknya tepat di tengah alun-alun. Di depan Galeri Nasional London, empat patung singa dari perunggu mengelilingi sang Lord Nelson.
Dua air mancur di sisi kanan kiri monumen turut menghiasi keindahan Trafalgar Square yang mulai didatangi pengunjung.
Masih pukul sembilan pagi. Matahari bahkan belum sempurna menyembul ke langit. Sisa-sisa air hujan tadi malam tampak di setapak jalan alun-alun.
City of Westminster mengawali aktivitasnya di bulan Oktober bertepatan dengan kunjunganku yang kedua kali ke London.
Pertama kali aku ke London, dua tahun lalu, saat syuting iklan sabun mandi yang pernah mendapuk Nadia Hutagalung sebagai bintangnya. Aku sempat mengunjungi Leadenhall Market, tempat pengambilan gambar untuk Diagon Alley di film Harry Potter saat itu.
Lalu yang sekarang, untuk menghadiri perhelatan BFF (British Film Festival) Festival film tahunan yang diadakan di London itu akan menayangkan film pendek yang kubintangi—30 minutes.
Meski BFF tak se-prestigious Cannes atau Venice atau Toronto International film festival, bagiku, tetap menjadi kehormatan tersendiri. Mengingat Indonesia termasuk salah satu dari 50 negara yang berkesempatan untuk mempresentasikan film pendek tersebut.
Film 30 minutes sendiri mengisahkan seorang gadis yang menanti kedatangan kekasihnya paska kerusuhan Mei 1998. Tiga puluh menit merekam peristiwa kelam bangsa Indonesia tersebut bersamaan dengan penantian sang gadis.
Aku beperan sebagai Lara, si gadis yang dijanji akan dilamar, namun sang kekasih tak kunjung muncul saat hari lamaran tiba.
Sakit hati yang dirasakan Lara selanjutnya, hingga beberapa tahun kemudian, ia baru mengetahui bahwa sang kekasih telah tewas saat kerusuhan Mei 1998 silam.
Persamaan tokoh Lara denganku, seperti kehilangan sahabatku, Ovan. Cowok keturunan Tionghoa yang terakhir kali terlihat mengenakan seragam putih abu-abunya itu tak pernah diketahui keberadaannya setelah kerusuhan 1998 hingga sekarang.
Meskipun begitu, aku tak pernah ingin berhenti mencarinya. Dan seorang lagi. Lelaki dengan nama Jevera. Ia tidak hilang seperti Ovan, melainkan sengaja menghilang saat krisis moneter melanda tanah air tiga belas tahun silam.
Hingga hari ini, tepat saat aku kembali ke London, aku telah menemukan keberadaan Jevera. Di Neal’s yard. Di sebuah kafe bernama Jevera’s café. Kafe yang temasuk top 10 best café in London tersebut adalah milik Jevera.
Ya, lelaki yang membenci namanya itu tinggal di sini.
Di London.
***
“Nyeeeet… lo di mana?”
Aku berhenti di samping patung perunggu Jenderal Sir Charles James Napier saat ponselku berbunyi. Suara cempreng dari ujung sambungan langsung menyapa begitu kutempel ponsel ke telinga. Suara sahabat sekaligus asistenku, the one and only, Titik Puspa.
“Nyat nyet, nama gue Kirana Citrani,” protesku.
Titik terkekeh. “Itu kan panggilan sayang gue ke elo, Nyet. Kayak darling atau honey, gitu. Kan dari SMA gue panggil lo Nyet.”
“Terserah,” aku sambil mengamati patung Sir Charles yang memakai seragam militer dan jubah. Di tangan kanannya memegang sebuah gulungan, sementara tangan kirinya memegang pedang yang menempel di dada. “Kenapa lo nelpon pagi-pagi?”
“Lo di mana sekarang?” ulang Titik. Tanpa menggubris pertanyaanku barusan.
“Di Trafalgar square.”
“Di mana?”
“Trafalgar square, Titik tercintah.”
“Gue juga di Trafalgar kaliiiiii.”
Mataku sontak menyapu seluruh alun-alun. “Lo nggak ada tuh. Lo di mananya?”
“Gue di dinning room hotel St James Trafalgar.”
“Sialan. Gue pikir lo di alun-alunnya.” Kepalaku memutar ke arah hotel yang disebutkan Titik—tempat kami menginap. Letaknya di seberang Trafalgar Square ini.
“Cepetan balik ke hotel deh. Lo dicari Mbak Mira. Kita sama kru film mau briefing persiapan acara BFF entar malam.”
“Dicari siapa?”
“Mira Lesmana.”
Ah, produser 30 minutes itu. Omong-omong, it is like a dream come true, bisa bekerja sama dengan Mira Lesmana. Sementara film 30 minutes digarap oleh Riri Riza.
Aku langsung setuju saat project film ini ditawarkan padaku. Selain tokoh Lara yang memiliki banyak kesamaan denganku, ada dua nama besar di balik film pendek tersebut.
“Lo aja yang briefing. Entar teknisnya kasih tau ke gue, ok?”
“Lo balik ke sini atau kita nggak jadi ke BFF,” sabda Titik.
Aku mencebik. Benci saat Titik mulai so bossy. Sifat perfeksionis perempuan itu sering membuatku jengah. Dasar virgo!
“Gue ada urusan,” balasku masa bodo.
“Urusan apa? Lo mau ikutan demo di alun-alun atau mau ngasih makan burung di sana?”
“Gue mau ke Neal’s yard setelah ini,” kataku seraya melanjutkan langkah, meninggalkan Trafalgar square.
“Apa?!
Titik bukannya tak mendengar ucapanku. Responsnya lebih kepada terkejut saat aku menyebut nama salah satu gang di Covent Garden itu.
Hening sempat menggantung di udara. Hingga di depan London’s Hidden Café, Titik kembali bersuara, “Lo ngapain sih ketemu sama Jevera?”
Angin di sekitarku merembus lebih kencang. Kurapatkan kardigan panjang yang kukenakan. Musim gugur di London saat pagi hari lebih dingin, berbeda saat sore yang terasa hangat, dan malamnya kembali sejuk.
Tapi bukan itu yang membuatku menggigil kedinginan. Sepatu bot tinggi yang membungkus kakiku seperti ikut-ikutan membeku saat nama Jevera disebut.
Jevera sialan. Jevera kurang ajar. Jevera brengseeeeeek.
“Gue nggak ketemu Jevera, kok.”
“Trus ngapain ke Neal’s yard kalau nggak ketemu Jevera? Lo pikir gue bisa dibohongin. Lo ke sana bukan mau ngopi, kan? Lo sendiri aja benci kopi. Gue yakin sejak kita tahu Jevera punya kafe di sana. Lo sudah merencanakan ini semua.”
“Terserah deh. Gue tutup dulu telep—“
“Gue belum selesai, Nyet. Lo itu plinplan. Ini yang bakal bikin karir lo hancur.”
“Kok jadi nyangkut ke karir gue sih?” Nada bicaraku meninggi. Memang benar aku ke Neal’s yard untuk bertemu Jevera. Tapi apa hubungannya karir sama pertemuanku dengan lelaki itu, coba?
“Udahlah, Nyet. Lo masih suka kan sama Jevera?”
Aku tertawa hambar. “Sok tahu lo.”
“Gue tahu semua tentang lo. Tentang keluarga lo. Tentang cinta pertama lo. Jevera cinta pertama lo kan?”
Ingin rasanya kukeplak kepala Titik dengan buku harian di tanganku. Sayang, ia sedang tidak bersamaku. “Gue bakal balik ke hotel satu jam lagi. Lo nggak usah khawatir.”
“Gue lebih khawatir sama pemberitaan tentang lo. Gimana kalo ada wartawan gosip ngikutin lo selama di sini? Trus mereka salah sangka mengira kalo lo sama Jevera selingkuh?”
Titik berlebihan banget deh. Sumpah. “Memangnya gue sama Jevera pas ketemu mau ngapain, ciuman?”
“Lo itu sudah tunangan, Nyet. Plis lah sadar diri. Kasihan Andri, calon suami lo. Sayang banget kalo karir lo yang mulai dibentuk dari produce hancur gara-gara Jevera. Pekerjaan gue sebagai asisten lo juga bakal tamat.”
“Itu nggak akan terjadi. Dan jangan ingetin gue soal produce sialan itu lagi.”
Gegas kumatikan ponsel sebelum Titik sempat membuka mulut.
***
Produce serupa mimpi buruk. Seperti Dementor yang menghisap kebahagiaan lalu menyisakan kesedihan di hidupku.
Demi Tuhan, aku tak ingin mengingat kontes tolol SMA kami itu seumur hidup. Tidak akan pernah! Tapi Titik membuatku kembali mengenangnya.
“Titik sialan,” desisku. Mencoba mengatur napas. Dadaku tiba-tiba sesak. Aku sudah di depan Neal’s yard beberapa menit kemudian. Napasku megap-megap seperti ikan yang kehabisan air.
Kini keraguan ganti melilitku. Seperti tentara yang menyerah sebelum berperang. Rasanya ingin kembali ke hotel. Lantas melupakan tujuan awal bertemu Jevera.
Titik benar.
Aku plinplan. Meski begitu, aku sudah terlanjur berjalan sejauh ini. Ditambah horcrux milikku harus enyah dari hadapanku.
Ya, demi menghapus perasaanku pada Jevera, buku harian bersampul konyol ini harus segera kuberikan padanya.
Biarlah Jevera membacanya. Biarlah Jevera mengolok-olokku setelah itu. Atau mungkin memandangku jijik seperti saat ia pertama kali melihatku memakai lipstik. Asal aku bisa menikah dengan Andri.
Jevera membuatku sulit memberikan hatiku pada Andri. Setelah bertahun-tahun Jevera pergi. Bayangannya terus menggelayut di kepalaku seperti hantu. Entah ia punya mantra apa sehingga bisa menjeratku selama itu.
Namun di sisi lain aku membenci Jevera. Hubungan kami tak pernah baik saat SMA. Barangkali menampar atau meninju wajah lelaki itu bisa membuat patah hatiku sembuh?
Kutelusuri gang kecil di depanku. Bangunan di Neal’s yard yang rapat-rapat didominasi bata dan dicat warna warni sedikit mengurai kegelisahanku.
Kutarik sudut bibir saat melihat satu persatu kafe yang dihiasi pernak pernik bertema Halloween. Labu kuning hingga tengkorak. Tumbuhan liar merambat di beberapa dinding bangunan. Selain kafe, ada restoran, toko roti, toko herbal, juga ruang pertemuan.
Dari depan Neal’s yard yang sempit dan memanjang seperti gang. Letaknya pun tersembunyi, hingga di bagian tengah semakin luas seperti taman tersembunyi.
Lampu-lampu hias membentang di atas kepalaku, lalu di bawahnya beberapa kursi kayu yang melingkari pepohonan kecil.
Aku membaca satu persatu nama toko di sini, hingga menemukan Jevera’s café di seberang 26 Grains.
Jevera’s café dipenuhi pengunjung. Terlihat agak gelap dari luar, sebab kafe itu satu-satunya yang dindingnya dari kayu dan dicat serba hitam. Di luar kafe, empat meja kayu bahkan sudah terisi semua.
Apa aku titipkan saja buku harian ini? Bagaimana kalau Jevera tidak mengingatku sama sekali? Ya Tuhan, ini akan lebih memalukan. Kenapa baru terpikirkan soal ini sih?!
Aku menepuk jidat. Pikiran aneh mulai memenuhi kepalaku, merontokkan niatku, menghancurkan kepercayaan diriku. Aku bodoh, ceroboh, tolol, semua ini membuatku gila!
Setelah beberapa lama aku hanya mematung di depan Jevera’s café, kuputuskan untuk kembali ke hotel. Ya. Ini lebih baik.
Namun saat aku hendak meninggalkan Jevera’s café, mataku tidak sengaja menangkap sosok itu. Tak jauh dari tempatku berdiri. Lelaki yang selalu kutulis namanya di buku harianku.
Jevera.
***