Suara-Suara Rinjani

Suara-Suara Rinjani

sandarsaka

5

Kata dia, seorang yang sudah menikah itu berada di layer kehidupan berbeda dengan mereka yang masih betah sendiri.

Semesta mereka sudah tak sama lagi. Seolah-olah sekali janji suci diucapkan, saat itulah mereka sudah berpindah dunia, terpisah dengan para sahabat yang menemani masa muda mereka.

Obrolan tak akan sekacau sebelumnya. Candaan akan hambar gelaknya. Keluh kesah jadi dingin. Resah dan marah yang semula dikipasi bersama tak lagi terbakar dalam bara yang sama. Lambat laun, keakraban hanya menjadi resiko perpecahan komitmen dalam dunia baru itu.

Kepada Herjuna, dia tak mau menjadi seperti itu. Sialnya, kini Herjuna juga akan menghadapi kondisi semacam ini: menikah.

Apa jadinya jika mereka berdua sama-sama berada dalam dunia berbeda dan terpisah itu? Akankah jaringan yang mereka jalin lewat suara selama bertahun-tahun akan menjadi hilang maknanya?


***


Langkah lelaki berkulit gelap itu terhenti di muka pintu ruang kerjanya. Senyum yang meleleh perlahan di bibir itu sudah mengantarnya pada lupa akan waktu. Matanya termenung melihat cetak emas pada permukaan sampel undangan pernikahan di tangannya. Satpam kantor memberikan paket itu barusan, ketika ia baru kembali dari makan siang. Tapi Herjuna tak cukup sabar untuk duduk dulu di meja kerja dan memeriksa barang itu disana.

Herjuna & Rinjani

Siapa yang tahu bahwa dua nama yang bersanding dalam sampul undangan itu bisa memiliki efek setara kekuatan Doctor Strange, mampu mengendalikan laju waktu. Herjuna sudah sepenuhnya kalah pada debaran aneh yang melemparnya pada masa-masa yang sudah jauh berlalu. Pada momen-momen absurd yang mengantarnya ke hadapan selembar undangan sederhana itu.

"Astaga ...." Letupan tawa geli akan nostalgia akhirnya lolos dari mulutnya, "Haha ... Bisa-bisanya jadi begini ...."

Herjuna takjub sendiri. Melihat namanya berada disana bersama nama itu, cukup membuatnya geleng-geleng kepala. Apalagi ketika ponselnya berdering membubarkan kenang di benaknya.

Rinjani memanggil ....

Panjang umur, begitu batin Herjuna dengan senyum yang mekar kian lebar. Satu swipe, dan panggilan suara terjalin di antara keduanya.

"Halo?"


***


"Ini siapa?"

Herjuna, usia SMA, tak pernah kenal nomor yang masuk ke handphone-nya ini. Pada saat itu, remaja membosankan macam dirinya hanya membuka ponsel untuk main game, SMS teman-teman untuk pinjam PR, atau menonton video biru yang didapatnya lewat jaringan bluetooth maupun infrared teman-teman. Saat itu belum ada WhatsApp, LINE, atau aplikasi berkirim pesan dan telepon menggunakan jaringan internet. Bertelepon bisa menjadi aktivitas yang lumayan menguras pulsa. Herjuna muda yang miskin uang saku tak terbiasa dengan itu.

Apalagi, mendengar suara halus perempuan dari seberang.

"Halo? Herjuna?"

Nada malu-malunya empuk sekali. Terasa ringan dan mengambang di antara udara sekitar telinga Herjuna, namun cukup lincah di antara jeda antar katanya. Herjuna sampai menelan ludah saking kikuknya. Sedikit sesal muncul karena telah mengangkat telepon dengan nada ketus ngajak berantem.

"Iya, aku Herjuna ... Ini siapa?" remaja dengan rambut cokelat terbakar matahari itu menahan suaranya agak terdengar lebih santun.

"Hehehe ... Halo ... Herjuna sudah dapat paket dari aku?"

"Paket apa?"

"Sepatu bola."

Alis Herjuna berkerut. "Sepatu bola apa?"

"Yang warna biru, yang ada garis-garis kuning neonnya. Kemarin kukirim ke rumah kamu."

Herjuna menggeleng, meski tahu perempuan itu tak akan melihatnya. "Aku nggak pernah terima paket isi sepatu bola. Aku juga nggak ngerasa beli sepatu bola."

"Bukan beli. Itu kado buat kamu."

"Hah? Kado? Kado apaan?"

"Kado ulang tahun kamu. Kamu kan kemarin ulang tahun."

"Ulang tahunku masih lama. Ini siapa, sih?"

Suara gemeresak di seberang telepon membuat Herjuna berdiri di atas bangku tempatnya duduk. Jam istirahat membuat suasana kelasnya berisik hingga tak bisa mendengar jelas suara penelepon.

Ah ... Sebenarnya, dibandingkan tak mendengar dengan jelas suara gadis itu, Herjuna lebih tak menangkap maksud penelepon menghubunginya.

Remaja bertubuh tak terlalu tinggi itu menjejak permukaan meja untuk duduk di ambang jendela kelas. Gedung sekolah peninggalan Belanda itu memiliki jendela yang cukup besar dan cukup nyaman untuk diduduki. Tempat terbaik untuk mencari sinyal dan angin yang menenangkan rasa bingungnya.

"Ini ... Herjuna Galieh bukan?" suara itu berubah was-was. Nada berbisiknya membuat darah Herjuna diam-diam berdesir.

Astaga suaranya anggun sekali .... Begitu ratap Herjuna dalam hati.

Namun bersamaan dengan itu juga, kerut di dahi Herjuna luruh seketika. Jelaslah kini alasan mengapa ia sama sekali tak mengerti dengan yang gadis ini katakan.

"Kamu cari Herjuna anak IPS?"

"Aku nggak tahu dia anak kelas apaan. Aku kan nggak satu sekolah sama kalian. Aku cuma tahu Herjuna Galieh yang ganteng itu, lhooo. Yang anak futsaaal."

Herjuna tertawa geli berkat kesan tak sabar dari suara di balik sambungan telepon, berusaha setipis mungkin menyamarkan ejekan. Ia tahu benar Herjuna Galieh teman satu sekolahnya itu punya banyak penggemar wanita. Tampaknya perempuan ini salah satunya.

"Herjuna di sekolah kami ada dua. Herjuna Galieh anak futsal, sama Herjuna Yudha."

"Ini Herjuna yang mana?"

"Aku Herjuna Yudha. Kamu salah sambung."

'Yah' panjang menyuarakan kekecewaan gadis bersuara empuk itu kemudian. Herjuna tertawa geli mendengar rutukan tak jelas penelepon tentang kawannya yang salah cari nomor.

Sepertinya ini bukan pertama kali bagi dirinya menerima penelepon nyasar yang mencari Herjuna Galieh. Bintang lapangan itu memang punya banyak penggemar, jauh berbeda dengan dirinya meski punya nama yang sama. Di situ Herjuna Yudha mulai mempertanyakan makna peruntungan nama bagi seorang anak.

Oh, mungkin karena ulang tahunnya bukan kemarin, jadi ia tak begitu beruntung dalam kehidupan percintaan? Bisa jadi. Ia dan Herjuna yang satunya beda zodiak.

"Aku punya nomor Herjuna Galieh. Mau?"

"Eh? Beneran? Boleh, boleh! Yeeey!"

"Oke. Tutup dulu, ya, nanti kukirimi kontaknya."


***


Herjuna pikir, sama seperti penelepon nyasar lainnya, ia tak akan menerima panggilan yang sama untuk kedua kali. Tapi ternyata tidak. Ia masih mengenali empat digit angka di belakang nomor telepon asing itu. Enam-dua-enam-dua. Ini telepon dari gadis penggemar kapten futsal tempo hari.

"Hey, Herjuna!"

Sialnya Herjuna gagal menahan senyum. Suara riang itu entah kenapa membuatnya geli.

"Hey, kamu ... Salah sambung lagi?"

"Nggak, kok. Paketan telepon sesama operatorku masih banyak. Sayang kalau nggak dipakai. Kita kan pakai operator yang sama. Hehehe."

Alis Herjuna terangkat untuk alasan yang tidak benar-benar menjelaskan apa kepentingan telepon itu saat ini. Tapi tidak ada PR yang perlu dikerjakan. Acara televisi juga sedang membosankan. Herjuna melemparkan handuk basahnya asal ke sandaran kursi belajarnya, lalu menghempaskan tubuhnya ke pelukan kasur.

"Itu tetep nggak ngejelasin kenapa kamu telepon aku."

"Emang kenapa, sih? Nggak boleh?"

"Boleh aja, sih ... Cuma aneh aja ... Kenapa kamu nggak telepon Herjuna Galieh idola kamu itu?" Ujung kalimat Herjuna keburu bergetar geli karena gadis itu sudah merengek panjang begitu mendengar nama gebetan beda sekolahnya itu disebut-sebut.

"Huuuh! Dia pake Telkomsel! Teleponnya mahal! Lagian, dibandingkan beda operator, ada satu perbedaan kondisi yang lebih bikin kami nggak nyambung!"

"Apa?"

"Beda keyakinan!" sembur gadis itu, antara kesal tapi diiringi tawa. Seolah deritanya adalah hal yang patut ditertawakan. "Aku yakin dia mau sama aku. Dia nggak yakin doyan sama aku .... Heh! Kenapa kamu nggak bilang sih, kalau dia udah punya pacar?!"

Padahal ia sedang dimarahi. Tapi mendengar omelan beraroma rajukan itu justru membuat senyum geli tak lepas dari mulut Herjuna. Gadis ini aneh, terlalu aneh untuk Herjuna yang belum pernah berbincang dengan teman perempuan sekarib ini.

"Mana kutahu."

"Kamu kan satu sekolah sama dia!"

"Apa itu artinya aku harus tahu kabar siapa pacar siapa di sekolah ini? Semua siswa? Buat apa?"

"Benar juga ...," gumam suara halus tipis itu, menyadari kebodohannya. "Kamu nggak ikut futsal kayak Herjuna Galieh?"

"Nggak."

"Kamu nggak suka main bola?"

"Suka, cuma nggak ikut ekskulnya aja. Aku sudah ikut ekskul lainnya."

"Oh, ya? Ekskul apa?"

"Pencinta Alam. Aku suka camping. Hiking."

Sambil rebah menatap langit-langit kamar yang muram dengan penerangan lampu bohlam seadanya, kedua mata Herjuna berkilat-kilat menceritakan dengan semangat kegiatan ekskulnya. Bagaimana ia mempersiapkan acara kemah bersama untuk bulan depan. Keseruan mencari area hiking bersama teman-temannya, momen sepi ketika dingin di puncak gunung membuatnya nyaman, hingga jawaban untuk pertanyaan si gadis tentang, "Kalau kebelet eek di gunung, gimana buang hajatnya?"

Herjuna tak pernah tahu bahwa ia bisa sebegini mudahnya mengobrol dengan seseorang yang belum pernah ia temui. Penelepon aneh itu dengan supelnya memancing obrolan dan membuatnya santai. Ia suka menyimak, tapi juga suka menimpali cerita dengan candaan atau ejekan. Kadang ia akan balik bercerita, dan Herjuna menjadi telinga yang siaga. Laki-laki ini sampai lupa belum menanyakan namanya.

"Hey, aku belum tahu nama kamu siapa."

"Masa iya?"

"Iya. Padahal kamu sudah tahu namaku. Aku harus panggil kamu apa?"

"Rinjani aja."

Tawa pendek Herjuna lolos dari senyumnya.

Rinjani?

Ia baru saja cerita bahwa ia ingin sekali suatu saat bisa mendaki puncak Rinjani. Dan kini nama gadis itu benar-benar Rinjani? Kebetulan macam apa ini?

"Nama kamu Rinjani? Wah ... Kayak nama gunung yang pengen banget kudaki ..."

"Bukan. Namaku bukan Rinjani. Tapi aku mau kamu panggil aku Rinjani aja."

Alis Herjuna berkerut sekali lagi, "Kenapa?"

Tawa usil menyelip di antara kebingungan Herjuna, "Hehehe. Kamu bilang Gunung Rinjani itu seperti sosok yang belum kamu kenali, tapi terus menerus kamu rindukan dan cita-citakan. Aku juga mau punya kesan kaya begitu. Kayaknya keren aja gitu. Hihihihi ..."