Suaibah

Suaibah

Al-Fath Rayl Publisher

0

Sebuah kisah, seorang wanita dari tanah Melayu Riau. Suaibatul Aslamiah. Yatim diusia dini, Piatu diusia tujuh belas tahun. Yatim bukan berarti Suaibah tak berayah. Tapi, Suaibah ditinggal sang ayah sejak dini. Ayahnya entah di mana, orang-orang menganggap Suaibah gadis yatim.

Orang-orang mengira emaknya janda ditinggal mati. Padahal, Ayahnya pergi ke kota Duri. 

Tempaan nasib yang sungguh miris. Kala para sahabat menikmati masa remaja, Suaibah banting tulang menghidupi diri sendiri. 

Sahabat sejatinya, Arsyad, seorang lelaki abang kelas di bangku sekolah, yang acap meminta bantuan penglihatannya, meminta mereka menikah. 

Suaibah memiliki penglihatan yang tak biasa. Jika ia memejam, terlihat kondisi masa depan orang yang ia bayangkan. 

Keanehan itu tak pernah ia sadari, hingga suatu ketika ibunya menyuruh Suaibah mengambil sebuah baskom besar. 

"Suaibah, ambillah baskom putih, isi dengan air hujan yang emak tampung malam Jumat kemarin." Suaibah si penurut memenuhi perintah ibunya. 

"Untuk apa ini, Mak?"

"Duduklah, Nak. Emak kira ini telah sampai masanya."

"Masa apa?"

"Masa kau tau kelebihan yang ada pada diri kau," jawab ibunya mengajak Suaibah duduk di tepi baskom. Suaibah menurut. Duduk di samping ibunya. 

"Lihatlah ke dalam baskom itu!" perintah ibunya lagi. Suaibah melihat ke dalam baskom. Kedua kepala mereka beradu di atas baskom putih. Suaibah melihat wajahnya dari bayang air baskom. Tapi ia tidak melihat bayang kepala ibunya. 

"Kau melihat diri kau sendiri, Suaibah?" tanya perempuan yang disampingnya dengan suara serak hendak menangis. 

"Aku melihatnya, Mak. Ta-tapi kenapa tak ada pantulan emak di dalam?" tanya Suaibah ketakutan.

"Karena ini tiba masanya emak pergi, Sayang. Jaga diri kau, Suaibah. Kau tidak punya saudara di pulau kecil ini. Pulau ini akan datang para perantau dari berbagai suku dan ras. Pandai-pandailah membawa diri. Kau harus kuliah, jangan seperti anak keturunan kita yang tak suka pendidikan. Kau harus pandai. Pergilah ke kota Duri. Di sana masih banyak anak keturunan kita."

"Apa maksud, Emak? Emak mau kata emak meninggal dunia?" tanya Suaibah ikut menangis. Ibunya hanya diam sambil mengusap pundak Suaibah. 

Gadis itu memejam matanya. Lambat bayang putih emaknya melayang, tiba-tiba ia berteriak.

"Tidak! Mak jangan tinggalkan Suaibah!" Ia memeluk ibunya kuat. 

"Semua yang bernapas akan mati, Suaibah. Begitu juga kelak kau. Kau pun akan mati. Hanya tentang waktu saja yang berbeda."

"Apa yang harus Suaibah buat tanpa emak?"

"Berbuat baik pada semua orang, meski diri kau sendiri hancur, jadikan kelebihan kau punya manfaat untuk banyak orang. Jangan sombong! Karena Rasulullah kita tak suka orang sombong, kau tau ... Iblis itu makhluk paling disayang Allah, dia tak pernah melakukan dosa apapun, tapi kesombongan membuatnya hancur."

"Baik, Mak."

"Jika kau merasa sakit dan menderita, minumlah air tapak gajah di daratan Zuri."

"Zuri?"

"Ya, daratan kecil yang paling banyak pokok jengkol, sekarang nama daerah itu Duri, naik pompong ke sana lintasi tiga jam perjalanan, kau bisa menumpang mobil-mobil pengangkut balak. Mereka menuju daratan kecil itu. Pergilah! Jika kau tak tahan lagi dengan hidup ini, amalkan ayat yang emak berikan." Ibunya menyodorkan sebuah tulisan Arab. 

"Apa ini, Mak?"

"Doa meminta dipercepat kematian."

Keesokan harinya. Hidup Suaibah benar-benar berubah.

Ia menjadi gadis tak biasa yang diincar banyak orang, hanya untuk melihat masa depan maupun masa lalu.  

*

Gambaran sepasang pengantin saling menatap, ranjang cantik dihiasi bunga mawar, semua begitu indah bermesraan dalam pikiran.

Wangi dedaunan menambah ketenangan. Arsyad, lelaki itu memeluknya di tepi ranjang. 

Apa ini kode agar aku menerima pinangannya?

Gadis itu tersenyum menatap langit kamar. Ah, ya. Ia memang sudah lama menaruh hati pada Arsyad. Lelaki satu-satunya yang selalu ada untuknya.  Sedari kecil, hingga remaja membawa laki-laki itu merantau kemudian kembali ke pulau hanya karena ingin meminangnya.

"Aku akan membawa kau ke kota Duri, kota itu kini sangat ramai, tak seperti pulau kecil kita. Di sini kau hanya melihat hamparan pantai, nelayan, dan ikan-ikan kering yang tak laku sedang dijemur. Dingin yang membosankan, bau udang busuk pun tempoyak sudah tak lagi enak. Orang kota lebih pandai membuatnya. Kau bisa belajar banyak hal di sana."

"Apa pekerjaanmu di Duri hingga kau lupa jalan pulang menemuiku."

"Orang-orang asli daerah di pekerjakan jadi buruh minyak. Membantu perusahaan negara. Uangnya bisa membeli pulau kita ini. Untuk itulah aku pulang."

"Kau berlebihan."

"Aku serius, Suaibah. Jika bukan karena rindu yang membuncah, aku tidak akan datang menjemputmu ke sini. Menikahlah denganku!"

"Aku mau, kita menikah seminggu lagi," ucap Suaibah, seolah menantang, menghentikan bualan Arsyad tentang keindahan kota tempat mereka kelak merantau. 

Ia terdiam cukup lama, lalu seperti anak remaja jatuh cinta, melompat, mengangkat sang gadis tinggi, seperti pemenang lotre di kedai Wak Gabin. 

Wak Gabin seorang pedagang dari negeri China yang telah menempati pulau kecil mereka lima puluh tahun lamanya. Tertawa terbahak-bahak. Bahagia tak terkira terpancar dari wajah keduanya, sebab pujaan hati menerima pinangan.

Tak menunggu hari berganti tahun, status Suaibah berubah. Istri Arsyad. 

Sepeti janji seorang Arsyad padanya. Kini, mereka tinggal di sebuah Kecamatan dengan sebutan Mandau. Mandau bukan nama senjata suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Tapi, sebuah nama sungai kecil yang mengairi tengah kota.

Kota kecil yang sungguh berbeda. Berbagai macam suku dan ras ada di sini. Majemuk sekali. 

Suaibah memilih tinggal di rumah warisan sang ibu. Ujung Mandau. Berbatasan dengan kebun sawit menuju Petepahan, Tandun dan Pekanbaru. Sedikit berada di ujung kota.

Dulu, di sini tinggal beberapa kabilah Sakai. Ibu Suaibah salah satu anak keturunan. Suaibah tak pernah bertanya tentang ayahnya. Sejak usia dini, ia pikir dirinya terlahir yatim, sejatinya yatim yang berayah.

Suaibah merasa tak perlu tahu menahu soal siapa ayahnya. 

Mandau begitu mudah menerima mereka. Sebab satu suku dan orang-orang mengenali ciri khas wajah warisan wajah yang ada pada Suaibah. 

Hari demi hari mereka lalui. Hingga suatu ketika seorang kepala 'Bhatin' di daerah itu sakit keras. Enam anaknya mendatangkan tujuh dukun dari berbagai daerah. Namun tak mampu menyembuhkan ayah mereka. 

"Pergilah ke rumah Bhatin, Suaibah! Pejamkan matamu di dekat jasad Bhatin. Sebutkan apa yang harus anak-anaknya lakukan." Arsyad memberi perintah.

Suaibah menuruti kemauan Suaminya. 

"Ambil daun betik, peras hingga mengental. Minumkan pada Bhatin!" ucap Suaibah pada orang-orang yang ada di ruang tamu Bhatin. Beberapa tercengang, beberapanya mafhum, mereka tahu Suaibah turunan Sakai murni.  Sakai yang memiliki penglihatan berbagai macam.

"Kau bisa mengobati Bhatin kami?" tanya anak perempuan pertama bernama Habibah. Suaibah tak menjawab. Ia memejam mata sekali lagi. Gambaran lelaki yang dipanggil Bhatin, seumpama penghulu atau kepala daerah tersebut, lelaki itu meminum air berwarna hijau, berbau khas, memastikan pikiran alam sadar Suaibah itu adalah air betik. 

Melihat wajah pucat kepala Bhatin dan kedinginan bersangatan, dapat dipastikan ia mengidap sakit yang dibawa nyamuk penghisap darah di tengah malam. 

Anak pertama laki-lakinya berdiri, keluar rumah, masuk kembali membawa daun betik yang biasa disebut pepaya di kota-kota.  

"Setelah Bhatin sembuh, berikan ia mengalo satu piring penuh. Bhatin harus menghabiskan mengalo itu."

"Baiklah. Di dapur ada mengalo, aku akan membawakannya." Habibah berdiri menuju dapur. 

Bhatin sembuh dari penyakitnya. Makannya lahap. Wajahnya kembali kencang seperti sedia kala. 

Sejak saat itu. Suaibah menjadi buah bibir di daerah Duri. Orang-orang datang meminta bantuan penglihatannya. 

Semua percaya Suaibah. Besar, kecil, terhormat atau jelata. Semua menganggap Suaibah sosok sakral. 

Apakah seorang Suaibah bangga dengan kelebihannya? Atau justru kelebihan itu kelak bumerang baginya.

Di buku ini akan ada perpaduan adat dan agama. 

Bismillahirrahmanirrahim.

Note:

Mangalo: Ubi kayu yang diolah menjadi makanan pokok.

Betik : Pepaya

Bhatin : Kepala suku yang dihormati di daerah Riau

Bagaimana kisah lanjutan hidup Suaibah?

Jangan lupa beli kerang dulu ya teman-teman. 

FB : Inoeng Loebis Alfath Rayl

Ig : Inoeng Loebis86