PROLOG
Pada akhirnya, ombak akan terus bergulung ke tepian. Angin terus berhembus. Dan perahu itu harus tetap berlayar, dengan atau tanpa adanya kamu.
***
Pada gundukan tanah bertabur kelopak mawar dan bougenville putih segar, pandangan nanar Zinnia terpaku. Entah sudah lewat berapa lama waktu bergulir, gadis itu masih belum bisa meredakan kakinya yang bergetar. Dia merasa tak sanggup berdiri lebih lama lagi. Pun, tak punya tenaga untuk melangkah pergi.
Sisa hujan semalam masih melekat pada dedaunan kamboja liar di sekeliling pemakaman luas tersebut. Ketika Zinnia mendongakkan kepala, tampak awan kelabu berlapis-lapis masih setia menjajah langit, tak memberi kesempatan pada matahari siang untuk eksis. Gadis itu tahu hujan sebentar lagi akan turun.
Di tempatnya, ia dapat merasakan angin berhembus, membawa hawa dingin ke pori-pori dan mengacak-acak rambut sebahunya. Kedua tangan gadis itu tanpa sadar meremas setangkai mawar merah hati di genggaman. Entah cerita apa yang dibisikkan angin, sehingga mata yang terbuka itu tiba-tiba menghangat, meluruhkan bulir bening serupa rinai hujan bulan Desember. Deras dan intens.
Karena hanya berdiri sendirian, Zinnia tak mau repot-repot mengusap air matanya, sebagaimana yang biasa dilakukannya di hadapan orang-orang. Sekali ini, ia akan membiarkannya begitu saja. Ia ingin menyimpan egonya barang sejenak. Tak apa, biarkan dia memaafkan air mata yang tumpah. Seperti kata Alvaro, menangislah saat merasa dunia terlalu kejam memperlakukan anak-anak yang tersesat.
Pada semak belukar dan perdu yang bergoyang. Pada angin yang membawa hawa dingin yang menyusupkan perasaan aneh dalam kalbu. Ia melepaskan setumpuk resah, berharap akan dibawa bermuara pada yang menjadi sumber resahnya.
"Kamu mungkin berjalan terlalu cepat, melihat semua hal satu langkah di depan orang-orang. Kenapa nggak coba mensejajarkan langkah? Mencoba melihat dari sudut pandang lain."
Seperti petir, suara itu menggema dalam kepalanya. Lewat begitu saja, membuat Zinnia menelan ludah dengan getir. Tiba-tiba, sesak melingkupi dadanya.
"Al," lirihnya dengan suara serak. "Kamu seharusnya juga melakukan hal yang sama."
Zinnia membawa langkah kecilnya mendekati gundukan tanah. Berjongkok, meletakkan bunga yang dibawanya pada batu nisan.
"Aku harap punya satu kesempatan. Sekali lagi, membuat senyum secerah matahari kembali terbit di wajahnya, seperti semula."
Saat hujan akhirnya luruh, ZInnia membalik badan, berjalan gontai menuju parkiran di gerbang makam. Sejenak, ia bingung akan memacu sepedanya ke arah mana. Maka, sekali lagi ia kembali menengadah, membiarkan rinai hujan jatuh, menyamarkan air mata di wajahnya.
***
Bab 1 - SECERAH MATAHARI PAGI
Katanya, hidup ini persis sebuah drama. Tapi skenarionya begitu kompleks, rumit, sekaligus ajaib. Masing-masing adalah pemeran utama. Antagonis atau protagonis adalah pilihan. Kau punya peran, pun begitu aku. Meskipun kita tidak berada di perahu yang sama, tapi kita berlayar di satu samudra, di bawah langit yang sama. Menuju arah yang sama. Menyongsong kebahagiaan yang barangkali ada di ufuk barat.
Kita - dengan deru napas dan detak jantung yang bertalu keras, duduk di haluan, menatap cakrawala dan air pasang yang bertemu di kejauhan. Menebak-nebak akhir kisah masing-masing.
***
Terlihat kertas origami bertebaran di lantai kamar bernuansa aquamarine itu. Di dekat pintu, Zinnia yang masih bergelung selimut tengkurap di atas lantai, dengan kaki sesekali menendang pelan pintu yang tertutup. Jam menunjukkan pukul enam pagi, gadis itu masih fokus pada pekerjaannya, menganyam bintang dari origami.
Tak berapa lama, suara ketukan di pintu terdengar. Zinnia sontak menegakkan tubuh, mengatakan bahwa ia telah terbangun, lalu lekas membereskan sisa pekerjaannya. Dari atas nakas, ia meraih stoples plastik bening, bekas permen yang isinya telah habis. Setumpuk bintang origami warna-warni yang berhasil ia buat kemudian dimasukkan ke dalam stoples, memenuhi hampir seperempat bagiannya.
Meskipun belum tahu akan dijadikan apa, tapi sudut bibir gadis berambut sebahu itu menukik ke atas. Ia menutup stoplesnya dan meletakkan kembali ke atas nakas.
***
SMA Negeri 13 Alibasyah
Matahari bersinar cerah di atas kepala, kontras dengan wajah siswa-siswi yang berhamburan sesaat setelah bel istirahat pertama berbunyi. Siswa-siswi dari kelas sebelas IPA 1 apalagi, setelah bergelung dengan kuis matematika menjelang ujian akhir semester genap, semua keluar dengan wajah tertekuk dan rambut berantakan.
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada jam istirahat bagi anak sekolahan. Dua puluh menit selalu kurang bagi mereka untuk merilekskan pikiran setelah melewati jam belajar yang membosankan. Tak heran, semuanya tampak buru-buru. Banyak siswa berlarian ke arah barat, menuju kantin. Sementara beberapa memilih berkumpul di taman sekolah atau bermain di lapangan, bergabung bersama gerombolan cowok berseragam olahraga yang asyik bermain voli.
Bola berbentuk bulan purnama berwarna biru tua dipadu kuning itu silih berganti bergerak bolak-balik melewati net, kadang-kadang melambung tinggi, lalu didekati, dipukul lagi, dan berakhir menghantam tanah. Riuh sorakan memenuhi udara begitu satu poin tercipta.
Sementara itu, dari arah berlawanan--keluar dari sebuah ruangan di pojok jejeran ruang kelas di lantai satu, Zinnia muncul dengan wajah ceria sambil tangannya memeluk beberapa buku tebal. Menjadi satu-satunya wajah ceria di siang itu, gadis itu berjalan santai melintasi lapangan utama.
Semerbak bau keringat menyesakkan hidung persis saat Zinnia berhasil sampai ke sisi seberang lapangan. Aneh, hari itu lapangan voli terlalu sesak, banyak sekali yang bergabung dalam kotak segi empat tersebut, melebihi jumlah pemain sepak bola. Atau sebenarnya tidak aneh, karena bermain serampangan merupakan kegemaran anak-anak cowok di sekolah. Syukurlah, di antara bau asam keringat campur wangi ketiak tersebut, hidung mungil Zinnia menyesap aroma lemon yang kental. Membuat gadis itu urung mengumpat dalam hati. Sebaliknya, ia sampai memelankan langkah, membiarkan hidungnya menyesap lebih banyak aroma segar tersebut.
Langkah kecil membawanya menuju bangku-bangku berjejer di tepi taman sekolah yang menjadi tempat nongkrong banyak siswa. Ada gerombolan anak kelasnya di seberang, sedang bergosip ria seperti biasa. Begitu Zinnia lewat, mereka saling senggol dan buru-buru merubah topik pembicaraan dari 'Jin pelit' menjadi 'Rianti si bau ayam'.
Keramaian tak usai. Di bangku tengah, Airin dan Selly, bergabung bersama siswa IPS 2 tampak asyik bersorak untuk anak-anak di lapangan.
"Ckk!" Airin, si cewek berkacamata segera memalingkan wajah begitu melihat Zinnia. Ia berbisik-bisik dengan Selly, dan keduanya tampak terkikik.
"Emang ada ya orang yang nggak punya temen?"
"Ada lah, kalau kamu egois, siapa yang mau temenan, coba?" ujar Selly dengan suara dikeraskan.
Zinnia melengos begitu melewati mereka, pura-pura tak mendengar apapun. Dua cewek itu adalah mantan temannya. Mereka sudah tak bicara sejak kenaikan kelas sebelas. Satu sekolah tahu alasannya. Menegakkan kepala, Zinnia berjalan cuek ke tujuannya, bangku paling ujung, tempat seorang cewek gendut sedang asyik bermain ponsel. Senyum makin mengembang di wajah Zinnia. Itu dia, Diana, satu-satunya sahabat yang tidak akan meninggalkan dia. Entah apa yang membuat anak itu masih bertahan, palsu pun tak masalah.
"Ceria banget, Bund!" ujar Diana begitu Zinnia mengenyakkan tubuh ke sebelahnya. Diana menyimpan ponselnya, menatap serius pada Nia. "Gosip hangat hari ini datang dari koridor sebelas IPA 1, rumornya Jin Pelit penyakit budeknya kembali kambuh selama kuis matematika."
"Bukan gosip, tapi fakta." Zinnia meluruskan, membuat Diana menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nih, satu buat kamu."
Diana menerima satu eksemplar buku yang disodorkan Nia dengan antusias. Bersyukur sahabatnya itu mengingat dirinya saat mencari buku untuk tugas yang mesti dikumpulkan seminggu lagi. "Boleh kali, sekalian pinjamin hasil resensimu buat contoh. Bantu teman itu nggak boleh tanggung-tanggung, tau."
Zinnia melirik tajam pada Diana, membuat gadis itu buru-buru mengibas-ngibaskan buku ke depan dada. "Iya, becanda. Tugasku tanggung jawabku, tugasmu tanggung jawabmu." Ia mengulangi tagline yang kerap diucapkan oleh Zinnia, si paling anti contekan.
Zinnia menjentikkan jari dan mengacungkan jempol. "Persis. Jangan berharap contekan dari aku."
Diana nyengir. "Iya, makasih ya, cantik, udah dibantuin cari bahan resensi."
"Sama-sama, cantik!" Zinnia kembali mengacungkan jempol. Ia kemudian menoleh sebentar pada gerombolan anak perempuan yang tadi dilewatinya. Mereka masih asyik terbahak dengan suara nyaring. "Gosip kamu tuh, pasti datangnya dari sana," kata Nia.
"Suara temen kelas kamu, sih, kaya toa sekolah."
"Pura-pura ganti topik ngomongin Rianti pas aku lewat. Mereka pikir aku budek? Dari pintu perpus aja udah kedengeran kali suaranya."
"Tapi, emang bener ya Rianti tuh bau ayam?" Diana yang rupanya masih menyimak percakapan anak kelas IPA 1 berbisik pelan pada Zinnia, yang malah mengedikkan bahu.
Selain terkenal sebagai siswa paling pintar nan pelit, di sekolah dia juga terkenal sebagai si paling tidak peduli. Pelit dan apatis; perpaduan yang sempurna untuk membuat anak-anak kelas menjauhinya. Bukan hanya menjadi siswa yang akan langsung mengumpulkan pekerjaan rumah begitu guru masuk tidak peduli anak lain sudah mengerjakan atau belum. Atau acuh pada keributan dan kehebohan apapun yang terjadi di kelas. Level apatis Zinnia sudah berada di tahap yang membuatnya sering dipertanyakan sebagai makhluk sosial.
Pernah, sewaktu kelas sepuluh, Jaya tidak sengaja menjatuhkan beberapa motor di parkiran karena lupa menurunkan standar motornya sendiri selepas parkir. Anak itu kesulitan menegakkan motor yang terjatuh. Kemudian Zinnia muncul, berjalan melewati parkiran seolah tak melihat apapun, padahal jelas matanya bersirobok dengan Jaya yang merupakan teman sekelasnya.
Jika hal-hal seperti itu saja tidak dipedulikannya, apalagi gosip soal Rianti. Dia hanya tahu Rianti suka menjadi bulan-bulanan anak kelas karena dia lemah dan selalu menjadi yang tertinggal. Selebihnya, Nia bahkan tak yakin masih ingat nama seluruh anak kelas.
Baginya, sekolah hanya untuk belajar. Misinya adalah untuk mendapatkan juara satu dan mempertahankannya hingga tamat, lalu lulus dengan nilai terbaik. Dia tak ingin menyia-nyiakan waktu dengan bermain, apalagi jatuh cinta. Tentu, mencoba berteman dengan Selly dan Airin adalah kesalahan. Seharusnya, Diana saja sudah cukup sejak dahulu.
"Oh, aku lupa kalau kamu emang seapatis itu." Diana menyipitkan mata. "Jangan bilang kamu bahkan nggak tau Rianti itu yang mana."
"Ya tau lah," sanggah Zinnia. "Sikap apatis aku ada sisi positifnya, kali. Seenggaknya, ada satu anak kelas yang nggak ikut-ikutan gangguin dia."
"Ckk, percuma dong, kamu juga nggak peduli sama dia."
Peduli? Zinnia baru akan mempertanyakan buat apa dia peduli pada sesuatu yang tidak berhubungan dengannya sewaktu teriakan heboh menggema di pinggir lapangan. Diana di sampingnya sampai berdiri untuk memahami situasi.
"Cepat berdiri! Liat itu kak Fay lagi ngelap keringat kak Dama pake tisu!"
Zinnia yang masih duduk di tempatnya, mengernyitkan dahi mendengar perkataan Diana. Demi apa, membersihkan keringat orang lain di tempat umum begitu? Apa nggak malu? Cinta monyet memang semeggelikan itu, ya?
Gadis itu tak mau repot-repot menuruti Diana yang masih heboh, ia memilih membuka satu buku yang dibawanya, menunduk serius pada halaman yang sudah ditandai.
"Ish, kebiasaan banget! Diajak liat yang seru-seru, malah milih melototin buku!" Diana yang melirik pada Nia menggeleng tak habis pikir. "Istirahat tuh waktunya penyegaran mata."
"Minggu depan ada ulangan kimia, aku belum belajar." Nia berkomentar singkat.
"Wah, Selly pasti sedih banget liat crush-nya jadian sama orang lain," ujar Diana, masih sambil berdiri dan menatap ke lapangan.
"Nggak heran, itu suara cemprengnya udah rusuh," tanggap Zinnia yang yakin mendengar teriakan histeris Selly di antara riuh sahutan cie-cie. "Gila tuh anak, suaranya ngalah-ngalahin nyaringnya pluit pak Bambang!"
"Hush, gitu-gitu dia temen kamu, tau!" Diana yang sudah selesai dengan kehebohannya menoyor pundak Zinnia.
"Mantan teman!" Zinnia mengoreksi. "Aku nggak temenan sama orang yang kepalanya kosong, egois, dan sok. Lagian bisa diam nggak, sih? Aku nggak fokus belajar, nih, Di."
"Tetap aja kasihan, orang udah naksir dari kelas sepuluh. Dulu aku lihat Aldo pedekate sama orang lain aja sampai nangis." Diana terus berceloteh, tak mengindahkan Nia yang tampak terganggu dengan suaranya. Lagian, salah siapa, sih, belajar tidak tahu tempat begitu?
Diana menopang dagunya dengan kedua tangan. "Sayang kisah ini nggak kayak di novel-novel teen fiction, ya."
"Mirip kok," sahut Nia. "Tapi pemeran utamanya orang lain. Kamu sih cuma pemeran 'salah satu pengagum most wanted di sekolah'."
Diana di samping sudah siap menimpuk Zinnia menggunakan buku tebal yang dipegangnya, membuat Zinnia menggeser duduknya untuk menghindar.
"Habisnya, masih kecil udah ngomongin cinta-cintaan. Belajar dulu yang bener biar pintar. Jatuh cinta kan nggak bikin tambah sehat." Nia dengan kepala yang masih tertunduk pada bukunya berusaha menenangkan suasana.
"Ckk, dasar si paling ngejar nilai! Kutungguin kamu sampai jatuh cinta, terus jilat ludah sendiri." Diana mengeluarkan decak sebal, sehingga Zinnia kembali tergelak disela hafalan rumus kimianya. Gelak tawa renyah yang pecah berbarengan dengan teriakan heboh di lapangan. Sebenarnya, gelak tawa itu terlalu heboh sehingga spontan menarik atensi dua remaja tersebut.
Rupanya salah satu siswa di sana sukses menjadi penyelamat klannya dengan mencetak skor kemenangan.
Seorang cowok dengan seragam olahraga berbeda berdiri sambil berjoget ria merayakan kemenangan, berputar-putar dan mengadukan pinggul dengan temannya. Senyumnya mengambang lebar, membiarkan gigi-gigi putih rapat di antara bibir tipisnya menebar pesona. Garis matanya menyipit karena tersenyum terlalu lebar, otot rahang tirusnya sedikit tertarik ke belakang, membuat kesan manis melekat pada wajahnya.
Sejurus kemudian dia melompat-lompat seperti yang biasa dilakukan Spongebob saat sedang senang. Nia berpikir barangkali dia sebenarnya adalah saudara kembar Spongebob yang terpisah saat terjadi tsunami di Bikini Bottom bertahun-tahun silam? Eh mana mungkin, ya?!
Tapi, pikiran gilanya tidak berjalan mulus, saat gadis berambut sebahu itu menyadari sesuatu berdentum hebat dalam dadanya, mencipta sesak dan debar tak beraturan. Angin yang berhembus di lapangan sekolah siang itu terasa lebih sejuk, membawa wangi lemon segar yang samar ke hidung gadis di pinggir lapangan itu. Tiba-tiba, di keramaian orang-orang, manik mata Nia terperangkap dalam pusaran magnet yang hanya ia dan lelaki dengan senyum secerah matahari pagi itu yang ada di dalamnya.
"Menang! Jago kan, gue?!" Anak lelaki itu bersuara dari lapangan.
ZInnia menyimpulkan bahwa suaranya tidak berat, justru mengarah ke kanak-kanakan, namun tidak cempreng dan dibuat-buat. Suara itu mungkin cocok untuk didengar saat bernyanyi diiringi gitar.
Tubuh cowok itu cukup tinggi dan tidak terlalu kurus, warna kulitnya mengarah ke kuning langsat. Rambut hitam lurus yang sudah melewati tengkuk berkilauan tertimpa matahari siang. Jari-jarinya yang panjang ditopang oleh lengan kekar, dilambai-lambaikannya saat dia masih melompat-lompat bahagia.
"Itu ... siapa?" Telunjuk Nia terarah ke lapangan, membuat Diana menoleh dengan antusias. Jarang terjadi, Zinnia yang apatis ingin tahu tentang seseorang.
Diana hafal betul. Cewek itu seolah terobsesi dengan buku pelajaran. Zinnia bisa uring-uringan jika ada sepuluh menit saja waktu kosong yang tidak dia habiskan dengan membuka buku pelajaran. Kepalanya bisa tertunduk pada buku selama tiga jam penuh. Jika ada hal yang mampu membuat kepala Zinnia terangkat cepat dari bukunya, pastilah hal itu sangat menarik. Seperti saat ini.
"Alvaro," sahut Diana, ketika pandangannya jatuh searah telunjuk Zinnia. "Anak baru di kelas Diana. Kenapa? Naksir kamu?"
Nia buru-buru menggeleng. Menelan ludah dengan susah payah, gadis itu mencoba menetralisir detak jantung yang entah mengapa masih saja bertalu kencang. Gila! Baru saja dia menasehati Diana soal jatuh cinta yang tidak bikin sehat. Tapi, demi mendengar 6 huruf itu, jantungnya seolah akan melompat ke perut. Cowok itu tak berhenti memamerkan senyum cerianya sepanjang waktu istirahat dan jantung Nia tak kunjung berdetak normal.
Aneh, dia yakin belum pernah bertemu dengan lelaki itu di manapun. Tapi, wangi lemon segar dan senyum cerah milik siswa baru itu terasa akrab dan menenangkan. Zinnia penasaran, siapa murid baru yang membuatnya sampai harus menjilat ludah sendiri ini?!