Agni
“Dalam hidup, aku selalu mendamba datangnya cinta. Tapi cinta tak pernah sekalipun menghampiriku. Tuhan, tolong kirim seseorang itu. Seseorang yang bisa membuatku merasakan apa yang orang lain rasakan, cinta yang sebenarnya.”
Keningku mengerut usai membaca selarik tulisan tangan di atas secarik kertas kusut dalam pangkuan Mbakku. Ia tertidur di atas kursi rodanya dengan wajah tertutupi separuh rambut panjangnya. Mendadak statis. Tubuh dan mulutku kaku usai tahu satu rahasia itu. Satu rahasia tentang rasa, tentang asmara dari seorang wanita yang kupanggil Mbak. Rupanya, selama ini, Mbakku, satu-satunya keluarga yang kupunyai, satu-satunya orang yang kusayang, belum pernah merasakan apa yang berulang kali kurasakan. Cinta.
Ya Tuhan, betapa tak tahunya diriku ini. Atau memang aku yang terlalu sibuk dengan duniaku hingga berbincang mengenai asmara pun tak pernah kami lakukan? Ah, sepertinya aku lupa. Sejauh ini, akulah yang selalu mengumbar cerita dan lelakiku kepada Mbakku. Sementara dia, dia hanya menjadi pendengar jarak jauh tanpa pernah kuberikan kesempatan untuk membagikan kisahnya sendiri. Egoisnya aku ini.
Pelan, kualihkan pandang menuju balkon untuk sedikit meluruhkan sendu yang sekejap mengganggu. Tampak hujan sedang mengguyur muka bumi. Dingin. Kupandangi gerak semaraknya seraya menikmati suara deru air yang jatuh menimpa tanah dan pepohonan. Menentramkan. Aku selalu suka menikmati semua efek yang diakibatkan air hujan. Titik derasnya ketika mendecap tanah, gerak rintiknya ketika menerpa permukaan payung, denting suaranya di atas genting, juga kilaunya ketika jatuh melumuri permukaan dedaunan. Berkerlipan, menarik penglihatan. Mereka seolah hidup dan beraktifitas seperti manusia.
Kusudahi pandangan mengenai hujan, lalu kuturunkan badan dan duduk di atas lantai di sebelah Mbakku. Aku mengelus tangan kuning langsat yang tertelungkup lelah di atas kursi roda. Sepasang tangan hebat yang mampu membuatku hingga seperti ini. Hingga aku lulus kuliah, hingga akhirnya mendapatkan pekerjaan yang layak. Semua karena kerja kerasnya. Semenjak sekolah dasar, dialah pengganti mendiang Bapak dan Ibu. Tanpanya, siapa aku? Tanpanya, mungkin aku jadi gembel jalanan atau gadis lugu yang dengan mudahnya diperdaya mucikari demi memuaskan nafsu birahi para bule di sepanjang Sanur dan Kuta.
Atau, bisa saja aku memotong nadi karena tak kuasa hidup sendiri. Akan tetapi, semua itu tak pernah terjadi. Bahkan merasa kelaparan pun aku tak pernah. Aku hidup dan sama seperti gadis belia pada umumnya hingga usia dua empat. Dengan keahliannya dalam seni tari, Mbak Day mengajar di sebuah sanggar di Bali. Sering kali Mbak juga dipanggil untuk tampil di acara pagelaran serupa. Bahkan Pak Presiden pun pernah mengundang Mbak dan teman-temannya untuk menghibur para tamu negara di Jakarta. Dari situlah kami hidup layak seperti yang lain. Tanpa kekurangan suatu apapun. Namun sekarang, semuanya hanya angin lalu dan berubah pilu. Mbak hebatku ini sudah tak dapat menari dan mengajar gerak keindahan seperti dulu lagi. Kedua kakinya lumpuh dan harus duduk di kursi roda lantaran sebuah kecelakaan fatal. Aku yang menjadi penyebabnya.
Sore itu, aku yang baru tiba dari Jakarta memaksa Mbakku untuk membawaku keliling Pulau Dewata dengan menggunakan motor. Aku sadar kalau dia tampak kelelahan usai mengajar, tapi jahatnya aku terus memaksanya bahkan merengek seperti anak kecil. Acara jalan-jalan yang awalnya menyenangkan mendadak berubah menjadi malapetaka ketika dengan tiba-tiba sebuah motor menyalip dari arah belakang dan menggoyahkan gerak laju kami hingga kami jatuh di atas aspal. Aku kesakitan karena tumitku terluka. Lalu sebuah mobil bergerak kencang dari belakang kami, Mbak Day mendorong tubuhku ke sisi jalan, dia sendiri tak sempat menyelamatkan diri, tersambar mobil hingga puluhan meter.
Berhari-hari lamanya malaikat penjagaku itu tak sadarkan diri dan hidup dari balik alat pendeteksi kehidupan. Dia siuman hanya untuk mendengar kabar buruk bahwa kakinya lumpuh dan kemungkinan besar permanen. Hatiku hancur saatitu, dan yang lebih membuat hatiku kian remuk tak keruan adalah ketika dia menolak ajakanku untuk tinggal bersama di Jakarta beberapa minggu lalu. Dia bilang, katanya takut merepotkan aku. Begitu mulianya dia. Dan betapa jahatnya aku kalau sampai tak dapat membahagiakannya. Dia sudah memberikan segalanya, mempertaruhkan nyawanya untukku, aku harus membalasnya. Mulai detik ini, aku mau Mbakku merasakan semua apa yang kurasakan, cinta dan kasih sayang dari seseorang. Sebagaimana yang dia impikan selama ini, yang tak pernah ia dapatkan sejauh ini. Aku mau lelaki terbaikku melakukan satu hal. Melakukan satu hal yang senantiasa ia berikan untukku. Aku mau dia membagi cintanya kepada Mbakku. Aku rela. Asal dia bahagia.
“Aku sayang Mbak. Agni janji, Agni akan membahagiakan Mbak, melakukan apapun buat Mbak.”
Lalu dia terbangun dan mengelus rambutku sebegitu lembut.
“Mbak sudah bahagia sejak pertama kali mendengar tangismu di satu malam penuh berkah itu. Kamu terlahir ke dunia ini, menemani kesendirian panjang Mbak. Makasih, Sayang.”
***