Mobil yang membawaku berhenti di parkiran gedung berlantai tiga, warna abu dan hitam mendominasi. Di dekat pintu masuk ada palang yang sangat besar. Dasarnya berwarna hitam dengan tulisan emas glitter "SMK Tunas Bangsa". Sebelum aku turun, orang yang mengemudikan mobil menarik wajahku hingga dekat dengan wajahnya. Kemudian bibir merah meronanya mendarat di pipiku. Aku segera menarik diri, mengusap kasar pipiku yang pastinya merah.
"Belajar yang rajin, yah!" Setelah mengucapkan itu, dia mendorongku kasar keluar dari mobil. Aku tidak mengerti pemikiran wanita itu.
Dia bukan kekasihku, dia hanya perempuan cerewet yang bisa sedikit membuat aku tetap waras di dunia ini. Dia satu-satunya keluarga yang aku punya. Kakak perempuanku yang cantik. Walau sedikit grasak grusuk dia tetap terbaik.
Hahh, kaki melangkah dengan lemas. Setapak demi setapak jalan kulalui dengan waspada. Setiap inci jarak langkahku penuh dengan ancaman yang entah datang dari sudut mana.
"Mau lo nunduk sekalipun! Wangi menjijikan lo ini kecium sampai satu sekolah!" setelah teriakkan itu, tubuhku jatuh. Baju putihku kembali berlumur warna coklat. Aku berteriak kesakitan ketika sepatu hitam mengkilap itu menginjak ujung kakiku.
Aku tidak menangis, aku tidak melawan. Aku tidak boleh berbuat jahat. Aku harus tahan.
"Kalian ngapain?" Suara penjaga sekolah menghentikan mereka, masih dengan wajah tertunduk aku bisa merasakan mereka menjauh secara tergesa-gesa. Setelah penjaga sekolah membantuku berdiri, barulah wajah ini aku tegakkan. Dengan senyuman yang aku coba buat semanis mungkin, ku ucapkan terima kasih padanya.
"Lain kali kalau anak berandalan itu mengganggu, lapor Bapak saja!" kata pak Natsir tulus. Aku hanya menganggu. Aku harus segera ke kelas karena jam pelajaran akan segera tiba.
Setiap langkahku aku selalu berdoa agar semua berjalan lancar, semua dalam keadaan hati yang baik.
Kelas 11C IPS, tempat untuk belajar tapi sepertinya tidak. Aku masuk disambut cekikikan teman-teman sekelasku. Aku mencoba acuh, segera mungkin aku duduk di tempaku. Lagi, aku terjatuh. Kali ini bokongku menyentuh lantai, rasanya sangat menyakitkan.
Tidak boleh menangis.
Aku segera bangkit. Memperbaiki kursiku yang ternyata kehilangan kakinya satu. Pasti sakit sekali harus dilepas paksa. Tidak ada waktu untuk memperbaikinya sekarang, nanti saja. Aku duduk di sisi kaki kursi yang masih dua, sisi lainnya aku coba menahannya dengan kakiku. Sampai jam istirahat aku rasa, aku mampu.
Guru Matematika masuk, ketua kelas memberikan arahan untuk berdiri dan memberi salah. Aku yang bergerak lambat saat berdiri dan duduk mencuri perhatian guru yang terkenal judes. Aku harap perasaannya saat ini sedang baik. Agar tidak tambah lagi, bebanku.
"Kamu kenapa, Day?" tanyanya. Aku hanya menjawab, "tidak apa-apa, Bu." Dengan sangat pelan, tapi sepertinya masih dapat di dengar. Bu guru pun langsung memulai pelajaran. Syukurlah.
Apa pelajaran berlangsung aku bisa tenang? Tidak. Siswi di belakangku, Clay namanya terus menendangi kursiku, yang membuat keseimbanganku terganggu. Konsentrasiku juga. Pastinya suara sepatu dan kayu yang bertemu membuat Bu Guru terganggu.
"Kalian di belakang ngapain?" teriak Bu Guru.
"Bukan aku, Bu!" bela Clay kemudian dia mengatakan itu aku. Bu Guru percaya dengan mudah. Hukumannya aku harus menggantikannya menulis di papan dan setelahnya menyelesaikan beberapa soal. Hal itu membuatku tidak perlu duduk sampai jam istirahat.
Bersambung ...