Spouse

Spouse

ZazaSyahda

0


Acara kumpul keluarga ini bagaikan ranjau. Jebakan yang akan sulit untuk di hindari. Andai aku bisa memilih, weekend adalah waktu yang tepat untuk tidur seharian.


{Ayana Calista Dewangga, lo di jogja. Awas kalau sampai nggak datang. Di coret lo dari anggota keluarga besar Soebarjo}


Pesan dari Bima kembali menerorku. Sejak kemarin dia menganggu di sela pekerjaan yang memaksaku berada dikota gudeg ini.


{Nggak ngaruh buat Gue}

Cepat aku mengetik balasan.


Padahal saat ini mobil yang aku kendarai sudah berada di halaman luas milik eyang. Rasanya masih engan untuk turun.


{Iagu lo! Iya sih, kita cuma remehan rempeyek kalo di banding keluarga Dewangga Soetopo}


Aku memutar bola mata dengan malas. 


{Ada siapa aja di sana? gue ngumpulin iman dulu. Biar tetap kuat menghadapi kejulidan}


{Elah, iman tipis aja pake di kumpulin. Tebelan make up lo dari Iman}


Sialan. Minta di tagih hutang kayaknya nih sepupu kampret. Biar mulutnya bisa rada di rem dikit.


{Iman gue sama isi dompet lo lebih tipisan mana, Bimbim?!}

Sindirku tak mau kalah.


{Hahahaha}


Aku kembali menyimpan ponsel ke dalam tas jinjing. Kemudian menghela nafas, menguatkan diri dan berdoa dalam hati agar siap menghadapi kejulidan keluarga dari pihak Mama.


Turun dari mobil, memperbaiki penampilan. Aku sebenarnya orang yang percaya diri dan tak begitu perduli dengan penilaian orang. Meski sebenarnya mereka -keluarga besar Mama- pada dasarnya sangatlah baik.


Hal yang umum terjadi. jika bertemu denganku yang masih lajang - di usia yang hampir kepala tiga ini- pertanyaan yang sama tak bosan menjadi pembahasan.


Mana pacarnya? Kapan nikah? dan bla bla bla. 

Itulah alasan mengapa aku malas datang ke acara seperti ini.


"Kak Ayana!" 

Aku menoleh. Membalas senyum seseorang yang keluar dari sedan silver dan berjalan menghampiri dengan pembawaanya yang riang.


"Haii, jingga," sapaku menyamput cipika-cipiki darinya.


"Wow, rambut baru. Keren!"

Seperti biasa, dia akan selalu memuji setiap aku berganti model dan gaya rambut. Tatapanya yang selalu terlihat takjub, membuatku jadi gemas.


"Thanks you. Kamu mau mencobanya," bisikku ke telinga jingga. Takut jika sampai terdengar oleh sosok yang tadi datang bersamanya.


Gadis remaja itu hanya tertawa mendengar tawaranku. Lalu berbalik menghadap pria berkemeja navy yang tampak sedang menatap kami secara bergantian.


"Liat Mas Biru, rambut kak Ayana bagus kan," Kata Jingga antusias.


"Jelek," jawab pria itu terang-terangan.


Astaga. Tanpa perlu repot menyapaku, Kabiru pradipta melangkah masuk rumah eyang.


Aku mencebik. Tak kaget dengan sikapnya. Dasar manusia toxic.

"Dia mana tau style, jingga. Seleranya payah. Pendapatnya nggak penting!"


Aku merangkul pundak jingga. Melangkah bersama, mengekori di belakang pria menyebalkan itu.


"Selera kamu yang aneh." 


Oh. Ternyata dia masih menyimak dan memberi tanggapan.


"Memang yang nggak aneh seperti apa,Mas? kayaknya Mas, tuh yang kelainan."


"Iya, iih. Lucu gini, Mas Bi." Jingga menyetuh ujung rambutku yang berwarna lilac.


"Nggak cocok."


"Masa? Cantik kan, Jingga." Aku masih mencari pembelaan dari gadis remaja di sampingku.


"Kak, Ay. Selalu yang paling cantik," balasnya semangat. Aku tertawa senang karena mempunyai sekutu.


**


Setelah berbasa-basi dengan para kerabat dan juga sang ratu, yaitu eyang putri. Aku melipir mencari udara segar. Membasahi kerongkongan dengan segelas jus jeruk yang tersedia di meja prasmanan.


Mama nggak bisa hadir karena harus menemani Papa Ada urusan di luar kota. Sedangkan Arya-adikku- memilih beralasan sibuk dengan cafe yang baru di rintis bersama temannya.


Alhasil aku menjadi juru bicara. Saat eyang putri menanyakan ini dan itu. 


"Ay, Sini!" Pria berbadan besar melambaikan tangan padaku.


Mereka para sepupu berkumpul di gazebo yang terletak di taman belakang. Memisahkan diri dari para orang tua yang tadi berada di ruang tengah.


"Kenapa? Mau balikin duit," ucapku santai sambil berjalan mendekat.


"Yaelah, kemarin bilangnya nggak usah di balikin." Bima memprotes.

"Nanti deh, gue balikin kalau lo nikah," lanjutnya ikut-ikutan latah kayak emaknya-Bulek astuti- yang tadi sempet jadi wartawan dadakan.


"lho, bukannya Ayana putus dengan pacarnya. Emang kenapa lagi, Ay?" Sinta menimpali.


"Bosen." Aku membalas pendek.


"Keduluan Citra nanti. Dia sudah punya pacar baru, tuh. Pengusaha muda." Sinta mulai membanggakan sang adik.


Aku hanya tersenyum tanpa minat.


"Pacarku nggak ada apa-apanya di banding mantan-mantan Ayana, mbak." Citra tampak merendah, "Tapi yang penting dia serius, sih. Bukan hubungan untuk main-main."


"Pada dasarnya mantan-mantan Ayana juga pada serius. Cuma dia aja, nih yang nggak mau," cetus Bima memberikan pembelaan- tanpa diminta.


"Tapi selama ini belum ada yang berada ditahap tunangan kan? Sering gonta-ganti pacar kesannya jadi negatif, lho."


Malas sekali rasanya membahas masalah begini. Aku memilih mencomot sate ayam di atas piring. Di susul tatapan tajam seseorang yang sedari tadi aku kira tengah fokus dengan ponsel.


"Satu aja, Mas. Punya Jingga kan?"


"Punya Mas Biru, Kak," Sahut Jingga membuatku meringis.


"Dia bukannya nggak doyan sate?" Balasku cuek.

Bodo amatlah, udah terlanjur. Aku bersiap menggigit daging berlumur saos kacang yang tampak menggoda ....


"Jangan di makan! Nanti menyesal," Suara pria itu menghentikan pergerakanku.


Menyesal? Why?