Kata Liara, aku berumur enam tahun saat bertemu dengan wanita itu. Hitam kelam rambut panjang miliknya itulah yang aku ingat.
"Gak papa, Ni! Gak papa kalo kamu gak ingat," sela Liara saat tanganku reflek menjambak rambutku sendiri.
Aku mempunyai kebiasaan buruk yang selalu dihentikan Liara—saat aku melakukannya di depan sahabatku ini. Kepalaku sakit dan amat marah karena kejadian waktu kecil tak pernah bisa dijangkau oleh ingatanku. Aku selalu menyakiti diriku sendiri secara verbal.
"Siapa dia, Ra? Apa dia yang buat aku jadi kaya gini?"
"Tepatnya, dia yang telah masuk ke dalam dan mengendalikan tubuhmu saat malam," katanya yang diakhiri dengan wajah sendu yang menunduk.
"Apa dia masih ada dalam tubuhku?"
Liara diam. Diamnya itu membuat sesuatu yang panas menyergap pipiku.
"Hentikan Puni!"
Aku sadar setelah menatap mata Liara, bahwa tadi tanganku sendiri yang menapar keras pipiku dan itu bukan sekali. Mataku perih, sedetik kemudian tetes air yang pansa mengalir.
"Mungkin udah dulu untuk hari ini. Kamu harus istirahat."
"Untuk menjadi gila saat malam tiba," potongku sambil membuang tangannya yang menggenggam bahuku.
Aku berjalan pergi meninggalkan Liara di ruang tengah menuju kamar tidur. Pintu kayu lapuk dengan pegangan besi yang telah berkarat terbuka dengan usaha tanganku. Kondisi kamar berukuran tak lebih besar dari ruang tengah itu berantakan. Satu jendela yang telah telah dipalang kayu menghadap ke hutan belantara samping rumahku. Meja belajar yang berada tak jauh di samping kanan jendela, dipenuhi buku cetak dan tulis. Tempat itu masih rapi—dibanding sekelilingnya. Ranjang tidur single bed dengan sprei motif flamingo yang menempati pojok tembok sebelah kiri jendela. Sementara kursi belajarku, patah menjadi lima bagian dengan pecahan cermin yang sinarnya berkilauan. Mataku menangkap ada warna merah yanh mengintip di balik cermin itu.
"Itu darah Pak Tagar," kata Liara yang ternyata sudah di belakangku, menutup pintu kamar dan berjalan menuju ranjang dengan hati-hati—menghindari pecahan kaca yang bisa saja melukai kakinya yang hanya diberi alas sandal karet.
"Harusnya Bu Atin gak nurutin omongan kamu. Memangnya kamu mau beresin sendiri kamarmu ini?"
Liara sudah santai memeluk bantal boneka yang besarnya hampir se-kepala gajah.
"Ah, rasanya membosankan liburan cuma diam di dalam rumah. Betul, gak?"
"Biasanya juga kaya gitu. Bosan itu untuk apa?"
"Ya masa libur dua minggu kita gak pergi ke kota gitu," kata Liara bangkit dengan wajah sengit.
"Terus kenapa kamu malah pergi dari kota cuma untuk datang ke desa berhutan ini di saat liburan?" Liara diam. Aku tahu perubahan wajahnya menandakan bahwa ia sedikit tersinggung dengan perkataanku tadi.
"Puni, andai aja aku bisa tinggal sama kamu."
"Di kelasku banyak yang curhat pengen pindah sekolah luar kota, padahal menurutku sama aja untuk pelajaran yang didapat," ucapku menghentikan raut sedih di wajah Liara.
"Di sana perlengkapannya lebih canggih, ya?"
Liara mengangguk pelan, kemudian kembali berbaring dan mengeratkan pelukannya pada bantal boneka kepala beruang warna putih.
"Yah, memang di sana serba canggih. Tapi untuk teman, kamu itu gak terandingi, Ni!"
"Jangan manis-manis di depan aku, sana cari cowok!"
Aku berjongkok dan mulai mengumpulkan serpihan kaca dan patahan kayu.
"Kamu pernah, menceritakan tentang wanita itu sama aku, Ni," kata Liara memulai ceritanya. Cerita petualanganku bersama seorang wanita berambut panjang dengan warna sekelam langit malam tanpa bintang.