Some Day

Some Day

itsaagness

4.9

JUST A FRIEND

 

Ketika rasa ini dihalangi oleh kata ‘persahabatan’, aku bisa apa?

 

***

 

Jendela kelas yang sedikit berdebu dengan papan tulis yang masih dipenuhi dengan tinta hitam membuat jiwa kebersihan milik Elga bangun. Dia adalah tipikal perempuan yang sangat mencintai ruangan yang bersih dan harum. Lalu, tanpa menunggu lama dia meletakkan ranselnya dan mengambil kemoceng yang ada di atas lemari kelas.

“Dudududududu.” Senandung Elga memenuhi kelas XII IPA-1. Dia yang terlalu fokus dengan kerjaannya, sehingga menghiraukan seseorang yang dia cari dari tadi malam.

“Hai, manis.”

Spontan Elga menjatuhkan kemocengnya dan mengelus dadanya. “Duh! Siapa sih yang ngagetin pagi-pagi gini!” gerutu Elga sembari menepuk pelan dadanya.

Eikhel yang melihat respon Elga, terkekeh pelan. Entah kenapa, sifat Elga yang terlalu polos membuatnya seperti ingin menenggelamkan dia dalam kubangan hatinya. “Makanya jadi orang jangan kagetan dong!” serunya langsung.

“Kamu!”

Ya, seharusnya Elga tahu bahwa sahabatnya, Eikhel yang membuatnya jengkel pagi-pagi seperti ini. Dia tidak merasa terganggu sama sekali sebenarnya, tetapi dirinya yang mudah kaget membuatnya kesal. Elga kesal saat melihat Eikhel menertawai dirinya. Emang aku badut apa diketawain gitu. Batinnya kesal.

“Udah deh ketawanya! Simpen buat nanti sore!” gerutu Elga sembari memukul bahu Eikhel dengan kemoceng.

Eikhel tertawa dan pura-pura kesakitan. “Aw! Ampun, Mak!”

“EIKHEL!!”

“Hahahahaha.”

Interaksi mereka tidak terlepas dari teman-teman sekelasnya, bahkan tidak jarang anak kelas lain turut mengamati mereka. Terkadang mereka heran dengan kisah Elga dan Eikhel. Apabila mereka ditanya kalau mereka pacaran atau tidak, pasti mereka akan jawab tidak.

“Kalian pacaran, ya?”

Eikhel yang saat itu sedang memainkan rambut Eira menoleh kepada teman sekelasnya. “Kenapa emang?” tanyanya heran.

“Soalnya sikap kalian kayak orang yang lagi pacaran.”

Elga yang saat itu sedang sibuk menonton konser di ponselnya, sehingga tidak mendengar semuanya. “Ih apaansih!”

“Tuh!”

“Kenapa?” tanya Elga heran sembari mengambil headset yang dirampas Eikhel secara paksa.

Eikhel menatap Elga dengan serius. “Katanya kita pacaran! Ya, kali cowok ganteng kayak gue pacaran sama itik buruk rupa,” jawabnya dengan asal.

Itik buruk rupa? Apa Elga seburuk itu di mata Eikhel?

Elga tersenyum miris dan menatap teman sekelasnya itu sendu. “Ya, gak mungkin cewek buruk rupa kayak gue bersanding sama Eikhel, kan?”

“Selamanya aku sama Eikhel gak akan menjadi kita. Karna kita selamanya adalah teman. Bukan begitu Eikhel?” tambah Elga sembari mematikan ponselnya dan meninggalkan Eikhel yang hanya mampu terdiam dan menatap punggung Elga kosong.

Napas Eikhel terengah-engah. Dia mengusap dahinya dan menatap Elga dengan senyuman manisnya. “Jangan kesal dong. Nanti pipinya makin tembam loh,” godanya sembari mengelus pelan pipi kanan Elga.

Elga terdiam dan badannya menegang. “A—apaan sih!” ucapnya dengan sedikit terbata-bata. Dia mundur dan menghindari tatapan Eikhel yang membuat jantungnya berdetak tidak menentu.

Dikit-dikit baper! Dasar cewek gak tahu situasi dan kondisi! Batin Elga kesal.

 

***

 

Bel istirahat baru saja berbunyi. Namun, tidak perlu menunggu lama kantin pasti sudah ramai. Begitu juga Elga yang baru saja memasuki kantin. Seingatnya tadi dia sudah berjalan dengan langkah kaki yang besar, tetapi dia tetap tidak akan menjadi yang pertama dengan kakinya yang pendek itu.

“Ini kantin atau pasar sih! Cepat banget ramenya!” sungut Elga sembari menghentakkan kakinya dengan kesal.

Rambut Elga yang hitam dan panjang membuatnya kegerahan. Udara yang panas dan kantin yang membuatnya pengap, membuat badan Elga lengket-lengket dan panas. “Ugh! Malah panas lagi!”

Eikhel yang melihat Elga kepanasan membuatnya kesal sendiri. Dia tidak suka anak-anak cowok di sekolahnya menatap leher mulus Elga dengan penuh minat. Jangan katakan Eikher cemburu! Dia tidak akan cemburu dengan sahabatnya sendiri.

“Makanya rambutnya tuh dikuncir!” suruh Eikhel yang sudah berada di belakang Elga sembari mengikat rambu Elga dengan karet gelang yang dia temukan di meja kantin.

“Huh?”

“Dikuncir rambutnya,” tutur Eikhel dengan sedikit geram.

Elga mengerjap tidak paham. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat. “Kamu sering banget sih datang tiba-tiba gini!”

“...”

“...”

“Aku kagetan tahu!”

Eikhel terkekeh dan membawa Elga untuk duduk di pojokan kantin. “Duduk,” titahnya.

Elga menurut dan menatap Eikhel heran. “Kamu mau ke mana?” tanyanya sembari menahan tangan Eikhel.

“Aku mau pesanin kamu makanan. Kamu lapar kan?” tanyanya dengan lembut.

Elga mengangguk pelan. “Iya, aku lapar,” jawabnya pelan dengan tangan yang masih mengenggam tangan Eikhel.

“Ya, terus lepas dong tanganku,” ucap Eikhel sembari terkekeh pelan.

“A—ah iya.” Dengan cepat Elga melepas tangan Eikhel lalu menunduk malu. Dia enggan menatap Eikhel. Sudah pasti pipinye merona dan Eikhel tidak boleh melihat itu.

Perasaan Elga yang semakin hari semakin tidak terkontrol. Dia merasa bahwa dirinya sudah melewati batas yang tidak seharusnya dia lewati. Bukankah dia harus sadar bahwa statusnya tidak akan berubah sama sekali? Dirinya yang tidak begitu cantik... ah, yang buruk rupa tidak akan mungkin untuk bersanding dengan seorang lelaki tampan, bukan?

Hidup itu harus realistis saja. Boleh bermimpi, tetapi cukup sewajarnya saja. Jangan semakin larut dalam mimpi itu sehingga kita tidak akan tahu mana yang nyata dan mana yang hanya ‘halu’.

 

Why you gotta hug me like that?

Everytime you see me?

Why you always making me laugh?

Swear you’re catching feelings

Just a Friend to You – Meghan Trainor

 

Ya, kenapa Eikhel selalu ada di saat Elga membutuhkannya? Mengapa dia pura-pura baik-baik saja ketika dalam satu hari Elga memarahinya? Dan, kenapa dia selalu memeluk Elga di saat dirinya membutuhkan kekuatan?

Apa pertemanan selalu seperti itu? Apakah itu wajar?

“Lo sama Elga terus.”

Dengan cepat Elga menoleh dan melihat Eikhel yang membawa dua piring bakso bersama dengan teman perempuannya. “Iyalah. Emang kenapa?” tanya Eikhel dengan santai.

“Ini makan, ya,” suruh Eikhel dengan lembut sembari mengelus rambut Elga.

Elga berdeham pelan dan tersenyum canggung kepada teman Eikhel. “Aku makan duluan, ya,” ucapnya.

Perempuan itu mengangguk pelan dan menatap Kael dengan penuh minat. “Kalian pacaran?”

Kael terkekeh dan mengambil saus yang ada di hadapan Elga. “Pacaran?”

“Iya!” seru perempuan itu dengan cepat.

“Aku gak bisa pacaran sama sahabatku sendiri. Lagian Elga bukan tipeku,” jawab Eikhel dengan kekehan tanpa tahu bahwa ucapannya tadi sudah menyakiti perempuan yang diam-diam telah mencuri hatinya itu.