Langit tampak memerah saat gelapnya malam mulai menggantikan posisi sang mentari. Kumpulan burung terlihat terbang pulang kesarangnya masing masing. Dan gumpalan awan awan diatas sana, terlihat seperti gumpalan kapas yang menari nari bersama angin diatas langit.
Secuil senyuman terlukis saat matanya menatap pemandangan langit cerah yang begitu indah disore hari ini. Hingga sempat terpikirkan, kapan terakhir kali dia bisa mendapatkan pemandangan dan perasaan setenang ini.
Mengingat hanya ada perasaan tegang dan waspada yang meliputinya setiap saat ketika dirinya berada diluar zona aman, melakukan tugas rumit dari pekerjaannya. Menatap kepulan asap hitam panas, kobaran api, darah, suara tembakan serta teriakan yang memekik telinga.
Dimana dia harus mempertaruhkan nyawa demi sebuah misi tiada ujung. Walaupun terdengar hebat dan penuh oleh tantangan tiada akhir, terkadang hal itu membuatnya jenuh. Dia merindukan hal hal kecil seperti yang dilakukannya sekarang, duduk termenung didepan jendela besar menatap langit sore yang indah.
Setidaknya sekarang dia sangat bersyukur bisa mendapatkan cuti panjang setelah misi besar miliknya usai. Terhitung sudah seminggu dirinya berada dirumah mengerjakan pekerjaan rumah yang kepala sekolah kirimkan padanya, gadis itu tidak paham kenapa dia masih harus mengerjakan tugas tugas konyol itu.
Hampir 3 tahun dia sudah tidak bersekolah, dan jika dihitung bukankah beberapa bulan lagi dia sudah lulus dari sekolah itu. Mengacak acak kecil rambutnya, gadis itu menoleh kearah lautan pengunjung café. Hanya suara bising akan percakapan dengan beberapa suara benturan sendok dan keramik itu yang terdengar, seakan membuat suasana baru untuknya.
Kembali mengulas senyum kecil, untuk pertama kalinya dia bisa bernafas lega tanpa perlu mengkhawatirkan nyawanya atau orang lain terancam.
Bangkit dari duduknya karena merasa dia sudah beristirahat cukup lama, Erza membawa nampan dan notebook kecilnya berjalan menuju dapur untuk mencari pekerjaan apa yang bisa dilakukannya disana. Gadis itu bahkan sesekali melempar senyum kecil saat bersitatap secara tidak sengaja dengan beberapa pelanggan, mencoba untuk terlihat ramah.
Sebelah tangan terangkat sebelum gadis itu sampai dipintu dapur, dengan semangat Erza berjalan menghampiri meja tersebut membawa nampan dan membuka lembar baru notebooknya untuk mencatat pesanan sang pelanggan. Mengurungkan niatnya untuk pergi kedapur lebih dulu.
“Ada yang bisa saya bantu Tuan” tanyanya ramah sambil tersenyum kecil.
“Ya, saya ingin memesan. Hot chococino satu dan hot choco marshmallow satu” ucap pria itu sambil membaca buku menu yang memang sudah tersedia dimasing masing meja.
Mencatatnya dengan cepat, Erza mendongak. “Baik, apa ada tambahan Tuan?” tanyanya bersiap mencatat lagi.
“Tidak I-”
“Muffin choco chips” sela anak laki laki itu dengan raut antusias.
Pria itu menoleh dengan raut tidak senang mendengarnya. “Tidak, Az tidak ingat apa yang dikatakan dokter?” tolak pria itu secara tegas.
“Tidak boleh makan banyak gula sampai gigi sembuh” jawab anak laki laki itu dengan wajah murung.
“Dan bukankah Az juga sudah berjanji tidak akan meminta yang lain sewaktu dirumah tadi” tambah pria itu membuat raut wajah anak tersebut terlihat semakin murung.
“Az, mau muffin choco chips” ucap anak itu pelan sambil mengerucutkan bibir, tidak mendengarkan apa yang baru saja pria itu katakan kepadanya.
Erza yang mendengarkan mereka sedari tadi cukup terambil hati dengan wajah murung dan suara memohon anak kecil dihadapannya. Apalagi saat melihat anak itu mencuri lirik kemeja seberang yang memesan menu yang sama.
“Maaf jika memotong, café kami menyediakan dark chocolate bagi orang orang yang ingin menghindari rasa manis. Jika boleh menyarankan, saya merekomendasikan 40% dark chocolate. Rasanya tidak terlalu manis dan pahit untuk lidah anak anak” ucap Erza menawarkan sebuah penyelesaian.
“Termasuk muffin?” tanya pria itu memastikan.
Tersenyum, Erza mengangguk. “Benar Tuan, makanan dan minuman di café ini bisa dipesan dalam versi dark chocolate”
“Az mau, Az janji akan sikat gigi banyak banyak”
Menghela nafas mendengar desakan anaknya, pada akhirnya pria itu hanya bisa mengangguk. Menyetujui permintaan anaknya untuk menambah muffin choco chips dalam pesanan.
Dengan senang hati pun Erza mencatatnya. “Baik Tuan, harap ditunggu. Saya permisi”
Melenggang pergi, Erza kembali ketujuan awalnya yaitu kedapur. Berjalan masuk setelah membuka pintu dapur, Erza menegapkan tubuhnya sebelum menyebutkan pesanan dari pelanggannya secara formal kepada seorang pemuda yang tidak mengubris kedatangannya.
“Saya mendapatkan pesanan Tuan Vano” ucapnya berlagak seperti kebanyakan pelayan dicafe ini sambil menekankan kata Tuan.
Pemuda itu tersenyum sekilas melihat tingkah Erza yang menirukan gaya dari karyawannya, tidak mau kalah dia pun menirukan gaya seseorang. “Nona, anda terlihat sangat senang hari ini”
“Vano” panggil Erza memperingati sahabatnya itu sambil tersenyum mengetahui siapa yang pemuda tersebut tirukan.
“Saya akan membuatkan camilan untuk anda” ucap Vano melanjutkan ocehannya, meninggalkan pekerjaannya kepada beberapa karyawan yang berada disampingnya.
“Sedih rasanya melihat anda tersenyum kepada orang lain” lanjut Vano menampilkan wajah cemberut kearah Erza yang tertawa kecil.
“Lalu, kau mau aku melayani pelangganmu dengan wajah masam, kesal, dan penuh amarah disini? Jika kau ingin cafemu segera kosong, kau bisa mengatakannya sedari awal” ucapnya sambil tertawa kecil, mengingat Amon tidak akan mungkin mengatakan kalimat terakhir itu kepadanya.
Vano tertawa mendengarnya, apa yang gadis itu katakan memang benar. Dibandingkan dengannya, wajah masam Erza terlihat lebih mengerikan. Raut wajah gadis itu akan terlihat seperti menyimpan dendam besar kepada seseorang yang ditatapnya secara tidak sengaja.
“Maafkan saya Nona” ucap Vano masih melanjutkan gurauannya.
“Berhentilah menirukannya, itu terlihat sangat tidak cocok untukmu” sahut Erza menarik sebuah kursi untuk didudukinya. Duduk diseberang meja dapur memperhatikan Vano yang kembali melanjutkan pekerjaannya, menuangkan adonan chocolate sponge cake pada setiap loyangnya.
“Apa pesanan pelangganmu Erza?” tanya Vano kembali menatap gadis itu begitu dia selesai memasukkan beberapa loyang itu kedalam oven.
Dengan segera Erza membuka notebook kecil yang dibawanya. “Hot chococino 1, hot choco marshmallow 1, dan muffin 40% dark choco chips 1” ucap gadis itu menyebutkan pesanan dari pelanggannya kepada Vano.
“Baiklah Nona, ini pesananmu” ucap Vano memberikan pesanannya.
Menautkan alisnya dengan wajah tercengang, Erza menatap Vano bertanya tanya. Tentu saja tidak mungkin kue dan minuman itu dibuat dalam sekedip mata saja. “Aku barusaja menyebutkan pesanannya, bagaimana bisa kau membuatnya secepat ini?”
Sambil tersenyum, Vano membenarkan apron yang gadis itu gunakan. “Benda itu masih menyala kau tau”
Menunduk mencari tahu apa yang Vano maksudkan, Erza merengut melihat sebuah intercom kecil yang terjepit dipinggiran apronnya. Sejenak Erza terdiam menghitung waktu yang dirinya habiskan untuk mencatat pesanan dengan sedikit perdebatan, berapa menit dia perlu berjalan kedapur, lalu berapa menit yang sudah dihabiskannya untuk bergurau dengan Vano.
Mengedikkan bahunya, tanpa mengatakan apapun lagi Erza menyahut nampan dihadapannya untuk diantarkan. Tersenyum jahil, Erza sebenarnya telah mengambil satu croissant dikeranjang roti dan menaruhnya disamping muffin.
“Ini pesanannya, silahkan di nikmati” ucapnya ramah sebelum pergi dari tempat.
“Maaf, tapi kami tidak memesan croissant” ucap pria itu sedikit kebingungan melihat sebuah croissant di piring muffin putranya. Menghentikan Erza yang berniat pergi dari sana untuk menghindari pertanyaan.
Menanggapinya dengan tersenyum, Erza menjawabnya jika itu adalah bonus. Selain itu gadis itu juga menjelaskan jika makanan itu tidak terlalu manis dengan isian vanilla cream.
Mengangguk mengerti, pria itu menoleh kearah putranya. “Apa yang harus kau ucapkan Az?” tanya pria itu.
“Terima kasih kakak cantik, Az sangat suka” ucap anak itu terlihat antusias dan senang.
“Sama sama, jaga kesehatan gigimu ya. Kakak pergi dulu” sahut Erza ramah sambil tersenyum.
Kembali berjalan kedapur setelahnya, Erza sesekali melirik kesamping sedikit kebingungan. Gadis itu merasa seseorang terus menatap dan mengikuti pergerakannya, namun dia tidak menemukan siapapun yang mencurigakan dimatanya.
‘Seperti ada yang mengintaiku’ batinnya sambil meneruskan langkahnya sampai kedalam dapur.
“Pencuri” ucap Vano menyilangkan tangannya didepan dada begitu melihat Erza membuka pintu dapur.
Erza hanya memberikan Vano cengirannya, merasa tidak bersalah sudah mengambil kue itu dari keranjangnya. “Aku hanya mengambil satu” ucapnya mengatakan seolah itu bukanlah masalah yang besar.
Menautkan alisnya Vano hanya bisa menghela nafasnya. “Mungkin aku akan pertimbangkan untuk memotong gajimu” ucapnya sambil tersenyum kecil. Setidaknya dia sudah membuat lebih sehingga keranjang kue itu dapat diantar tepat waktu tanpa kekurangan.
“Tapi aku tidak berkerja disini” elak Erza dengan wajah kebingungan.
“Aku hanya bercanda” Vano tertawa melihat reaksi kebingungan gadis itu.
“Bergantilah baju, aku akan mengantarkanmu pulang” seketika membuat Erza yang mendengarnya merengut.
“Amon pasti memarahiku jika tidak mengantarkanmu pulang tepat waktu” lanjut Vano membuat Erza tidak bisa membantah ucapannya.
“Oke” jawab gadis itu singkat. Meletakkan nampan, notebook kecilnya diatas meja. Tidak lupa Erza melepas apron yang dipakainya untuk digantung pada tempatnya dan memberikan intercom itu kepada Vano sebelum memasuki ruang ganti.
“Apakah aku bisa kembali besok?” tanya Erza diambang pintu.
Vano menoleh kearah gadis itu, menggeleng pelan sebelum mengedikkan bahunya. “Aku tidak tau. Jika Amon tidak mengizinkan apa yang bisa aku lakukan”
“Menyebalkan” gerutu Erza menutup pintu.
.
.
.
Memainkan ponselnya didalam ruang ganti sambil menunggu Vano menyelesaikan pekerjaannya sebelum mengantarkannya pulang, Erza melihat beberapa panggilan keluar dan pesan dari Amon. Gadis itu membuka isi pesannya.
“Nona, pukul berapa anda pulang?”
“Apakah anda ingin saya jemput?”
“Nona, jangan pulang terlalu malam”
“Apa anda ingin saya menyiapkan sesuatu, saya akan buatkan camilan”
“Saya harap anda tidak berkeliaran terlalu jauh dari Tuan Vano”
Erza tersenyum kecil melihat pesan yang Amon kirimkan padanya, pesan itu seolah mengatakan jika dia adalah anak anak. Meskipun begitu, Erza sudah cukup terbiasa dengan Amon yang memperlakukannya seperti itu.
Dalam sudut pandangnya bahkan siapapun, Amon seperti sesosok ayah overprotective. Jauh berbeda dengan papanya, menurut Erza dia adalah sesosok ayah penyayang yang membiarkannya bebas. Tapi Erza menyukai keduanya.
“Kau sudah ingin pulang Erza?” tanya seorang gadis manis bersurai hitam yang baru saja memasuki ruang ganti.
Erza hanya meresponnya dengan anggukan kepala, lama tidak berada dirumah membuatnya sedikit lupa dengan beberapa pegawai di café sahabatnya ini.
“Mau kubuatkan sesuatu sebelum pulang, Vano sedikit sibuk didapur. Kau bisa menunggu didepan, itu lebih baik daripada menunggu didalam ruang ganti sendirian” ucap Mia menawarkan sesuatu.
Menggaruk tenguknya yang tidak gatal, sebenarnya dia tidak ingin merepotkan siapapun. Namun melihat Vano tidak kunjung mendatanginya setelah hampir setengah jam, penawaran itu terdengar tidak buruk untuk dicoba. “Hot choco boleh” ucap Erza.
Mia tersenyum mendengarnya. “Aku akan membuatkan special untukmu, topping apa yang kau mau Erza?”
“Mocca cream”
“Akan segera kubuatkan, tunggulah didepan” ucap Mia antusias sambil menyeret keluar Erza dari dalam ruang ganti.
Terdiam sejenak didepan pintu ruang ganti yang tertutup rapat, Erza berbalik mencari meja kosong yang dapat didudukinya. Tidak ada salahnya mencoba, lagipula dia ingin tau bagaimana rasa hot choco buatan café ini, apakah rasa manisnya dapat mengalahkan hot choco buatan Amon.
.
.
.
Tbc