Aku memahami kata demi kata yang keluar dari mulut pria yang merupakan ayah dari teman anakku.
"Anak saya bisa saja cacat karena dia, Leo harus bertanggung jawab!"
Jujur saja aku tidak mengerti, baru juga datang tetapi pria itu emosi dan marah-marah saat melihat kedatanganku.
Apa yang telah dilakukan anakku? Leo, apakah dia melakukan sesuatu yang merugikan orang lain?
"Dia hampir membunuh anakku, dia psikop*t!" Pria itu kembali berucap, kali ini dengan menunjuk wajah putraku.
Bagai disambar petir disiang bolong. Bagaimana hati seorang ibu yang telah membesarkan putranya sepenuh hati dan tiba-tiba seseorang mengatakan anakku psikopat?
Tidak, itu salah. Anaku tidak mungkin melakukannya. Bahkan dengan darah saja, Leo ketakutan. Rasanya itu mustahil.
_______
Aku Sisilia, umurku 45 tahun. Kini aku bekerja sebagai perawat gigi di sebuah klinik ternama di Ibu Kota. Tiga tahun yang lalu aku telah memutuskan untuk pindah ke ibu kota. Kembali menata kehidupanku setelah mengalami gagal dalam berumah tangga. Ya, aku seorang single parent saat ini.
Namun sebuah status tak membuatku berkecil hati untuk tetap mengurus putra semata wayangku seorang diri. Toh berumah tangga pun tak membuat aku bahagia, sama saja aku mengurus putra dan menghidupinya seorang diri.
Pada dasarnya aku menikah karena paksaan kedua orang tuaku. Hanya demi menutupi aibku, orang tuaku rela merogoh kocek yang sangat dalam demi membeli laki-laki itu.
Benar saja pernikahanku bagai neraka. Laki-laki yang seharusnya menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab justru terbalik. Membiarkan aku bekerja dan dia hanya ongkang-ongkang kaki bermain perempuan di luar sana dan sebagainya, aku sudah tak mau membahas lagi tentangnya.
Rasanya dadaku nyeri saat mengingat masa laluku. Hanya pada Leo-lah harapanku saat ini.
"Biarkan Leo tinggal di sini saja bersama kami, Si. Di sana kamu bisa fokus bekerja tanpa memikirkan bagaimana dengan Leo. Ibu dan Papa akan senantiasa membantumu," ucap Ibu kala itu.
Aku tidak mendengarkan apa saran ibuku, tetap dalam pendirian ku. Pergi bersama putraku atau tidak sama sekali. Aku tidak ingin berpisah darinya dan aku juga tidak ingin hidup menjadi benalu untuk orang tuaku sendiri.
"Tidak Bu, aku akan tetap membawa Leo bersamaku. Aku bisa menjaganya." Aku tetap bersikeras.
Ibu hanya diam, ia tahu jika aku sudah memutuskan sesuatu pantang untuk dirubah meski itu adalah orang tuaku sendiri.
"Bagaimana jika nanti kamu kerja? Leo bagaimana?" Ibu masih saja khawatir terlihat sekali gurat kesedihannya.
Aku dapat merasakan kekhawatirannya. Leo adalah cucu satu-satunya, wajar jika mereka begitu menyayanginya.
"Leo sekolah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagi pula Leo sudah besar, dia sudah bisa makan tanpa perlu aku suapin Bu."
Tampak ibu menghela nafasnya berat. Papa mengusap punggungnya mengisyaratkan istrinya tetap sabar untuk menghadapiku. Ah, Papa memang selalu menjadi yang terbaik.
"Biarkan saja dia pergi, asal kau jaga cucu kami baik-baik kami ridho jika kamu meninggalkan kami," ucap Papa tegas.
Papa selalu begitu, dia begitu percaya padaku. Dan yakin jika aku mampu melalui semuanya.
"Makasih Pa."
"Sama-sama, Nak. Ingat meski Leo sudah besar tapi kamu harus memperhatikan pergaulannya jangan sampai dia salah pergaulan!" Papa berkata tegas, aku tahu mereka trauma akan apa yang menimpaku.
Ini bukan sembarang menasehatiku bisa juga aku mengatakan jika Papa tengah menyindir ku. Tentu saja, saat usiaku menginjak 20 tahun aku telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku.
Aku hamil diluar nikah. Bodohnya aku saat itu yang telah menyerahkan kesucian demi cinta sesaatku. Lelaki yang aku cintai pergi meninggalkan dan tidak bertanggung jawab.
Aku telah sampai di Jakarta dan tinggal di sebuah rumah minimalis. Cukup nyaman, halaman rumah cukup luas dan ada taman kecil di sana. Sebenarnya ini rumah milik kakek yang sudah lama tidak ditinggali tetapi masih begitu terawat. Papa meminta orang untuk selalu merawatnya.
"Bagaimana Leo, kamu suka dengan tempat ini?" tanyaku pada putra semata wayangku.
Leo mengedarkan pandangan, tentu saja rumah ini asing baginya karena ini baru pertama kalinya ke sini.
"Kita tinggal di sini bertiga saja, Bu?" tanya Leo.
"Bertiga?" Aku mengerutkan dahi. Sudah jelas-jelas kita hanya berdua. "Kita hanya tinggal di sini berdua Nak.
Leo yang kini duduk di bangku SMP menatapku. Terlihat jelas sorot matanya yang bingung.
"Kenapa Nak?" tanyaku seraya memegang pundaknya.
Leo menggeleng. Aku rasa dia kelelahan karena perjalanan ke kota membutuhkan waktu yang cukup lama di perjalanan.
"Ya sudah kita masuk istirahat. Kamu lelah bukan?" Lagi-lagi Leo hanya mengangguk.
Tidak seperti sebelumnya Leo yang biasanya bersemangat dan banyak bertanya kini hanya diam. Aku tidak bertanya banyak karena aku pikir dia hanya kelelahan dan butuh istirahat.
"Sini Nak, ini nanti kamarmu ya. Kamar Mama di sebelah situ. Kamu boleh merenovasi sesukamu asal kamu nyaman. Oke!" Aku mengantarkan putraku masuk ke kamarnya menata pakaian di dalam almari dan mengganti sprei dengan motif bola kesukaanya.
"Aku bisa melakukan sendiri Ma. Mama lelah, Mama istirahat saja," ucap putraku lembut.
"Kau yakin bisa melakukan sendiri?" Leo mengangguk.
"Kalau begitu, Mama mandi dulu dan menyiapkan makanan untuk kita makan nanti."
Tetapi sampai di kamar aku berubah pikiran. Benar kata Leo aku lelah, selagi ada yang mudah untuk apa mempersulit diri. Akhirnya hari ini tidak masak dan lebih memilih memesan makanan online.
***
Terdengar ketukan pintu yang keras, aku terperanjat. Ternyata aku ketiduran sehabis mandi. Semua tampak gelap aku berjalan meraba-raba dinding mencari saklar untuk menyalakan lampu. Sedikit kesulitan karena aku belum hafal letaknya.
Mungkin saja Leo juga sama tertidur hingga ia lupa tidak menyalakan lampu terlebih dahulu.
Suara ketukan itu makin jelas, ternyata dari pintu depan. Pasti kurir makanan itu baru sampai batinku.
Benar saja, saat membukakan pintu seorang pemuda menggunakan jaket berwarna hijau dengan helm senada membawa sekantong kresek berwarna putih. Aroma masakan mulai menyeruak menusuk hidung. Perutku terasa semakin lapar saja.
"Dengan Bu Sisilia?"
"Benar, saya sendiri," jawabku.
"Maaf Bu, pesanannya." Pria itu menyerahkan kantong itu kepadaku, aku menerimanya.
"Saya pikir rumah ini kosong, Bu. Sudah hampir lima belas menit saya menunggu di depan gerbang apalagi rumahnya terlihat gelap. Akhirnya saya beranikan diri untuk masuk ke sini karena kebetulan gerbang tidak dikunci."
"Iya Maaf, saya ketiduran. Ini uangnya Mas." Aku memberikannya dua lembar uang seratus ribuan.
"Sebentar Bu, kembaliannya." Aku melirik Pria itu tampak merogoh kantong mencari uang pecahan.
"Tidak usah Mas, kembaliannya buat Mas saja," ucapku tidak enak karena telah membuatnya menunggu lama.
"Wah, terimakasih. Kalau begitu saya permisi Bu."
"Iya Mas."
Kurir pengantar makanan meninggalkan rumahku. Aku melihat ke gerbang memang terlihat tidak dikunci. Aku rasa telah menguncinya sebelum masuk ke rumah. Ah, mungkin aku saja yang lupa karena terlalu lelah.
Sebelum ke dapur menyiapkan makan malam aku berniat melihat putraku. Aku melihatnya tidur di ranjang. Tidak berniat membangunkan sekarang, aku ingin menyiapkan makanan terlebih dahulu dan membangunkannya setelahnya.
Selesai memanaskan dan menyiapkan semua makanan kesukaan putraku, aku berniat membangunkannya. Namun lagi-lagi mengurungkan niat untuk ke kamar putraku karena terdengar kembali ketukan pintu dari luar.
Baru juga datang kenapa sudah ada tamu saja yang ingin singgah kemari. Apakah Pak RT, karena aku belum melaporkan kedatanganku beserta putraku padanya. Untuk mengurangi rasa penasaranku akhirnya kubuka pintu depan, perlahan dapat aku lihat seorang lelaki dewasa dengan seorang anak remaja yang sangat aku kenal.
"Maaf dengan Bu Sisilia?" Aku mengangguk mataku masih fokus pada anak remaja. "Saya mengantarkan putra Ibu sepertinya dia kebingungan mencari jalan pulang. "
Anakku, bukankah dia sedang tidur?
"Ma," panggil seorang anak lelaki, wajahnya memang mirip sekali dengan anakku bahkan suaranya pun sama.
Aku masih mematung, kalau memang dia anakku lalu siapa yang ada di kamar itu?