
“Layanan darurat 110, apa keadaan darurat Anda?”
Kiki Yudistira baru saja melakukan panggilan darurat 110 yang tersambung ke polisi. Dia dalam kondisi terancam. Seorang misterius mengejar sembari menodongkan pisau belati ke arahnya.
Awalnya Kiki menghubungi salah seorang podcaster untuk berdiskusi. Kebetulan Kiki bersama beberapa kawan di sekolah tergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik yang dipercaya mengurusi podcast sekolah. Sehingga Kiki ingin mencari referensi dari podcast-podcast lain untuk pengembangan podcast miliknya.
Setelah mendapat balasan email dari Si Podcaster, mereka janjian di salah satu kedai kopi. Namun baru saja sampai di parkiran, Kiki dicegat oleh orang misterius memakai jaket hoodie dengan buff yang menutupi wajah. Kiki tunggang langgang kabur dari orang misterius itu.
“To-tolong saya!” sahut Kiki panik dengan napas terengah-engah. Ia terus berlari sembari sesekali melirik ke arah si orang misterius. Orang itu masih mengejar Kiki. “Dia mengejar saya!”
“Baik, dengan siapa saya berbicara?” ujar si operator membalas. Hening beberapa saat, si operator kembali berucap. “Apakah saya berbicara dengan Kiki Yudistira?”
“Iya.”
Lalu si operator menanyakan kronologis kejadian darurat yang menimpa Kiki. Pemuda itu menceritakan detail kejadian, ucapannya tak begitu jelas sehingga si operator beberapa kali meminta Kiki untuk mengulangi apa yang dikatakan. Wajar saja, dalam keadaan panik siapa pun tidak akan bisa berkonsentrasi.
“Baik, Kiki selagi menunggu tim patroli datang ke lokasi, Anda cari tempat aman yang ramai. Saya akan menghubungi tim patroli terdekat, jadi jangan putuskan sambungan telepon supaya kami bisa melacaknya dan mohon tunggu sebentar.”
“Iya.”
Selagi fokus menelepon, Kiki tak menyadari bahwa orang misterius itu semakin dekat. Saat berbalik menatap si orang misterius itu, mata Kiki terbelalak melihat orang itu sudah menerjangnya.
Bugh!
“Nelpon siapa, lo?!” sergap si orang misterius itu membenturkan tubuh Kiki ke tembok.
Tubuh Kiki bergetar hebat. Orang itu melakukan kuncian di leher sehingga membuat Kiki tercekat dan kesulitan bernapas. Sorot mata pelaku itu tajam mengintimidasi. Selain mata, Kiki tak dapat melihat wajahnya secara keseluruhan karena tertutupi oleh buff berwarna gelap.
“Jawab!” bentak si pelaku melempar pisau ke arah kepala Kiki. Tapi Kiki menghindar sehingga pisau tersebut hanya terpental ke tembok.
Dalam isak tangisnya, Kiki berusaha mengeluarkan sepatah kata. “Po-polisi …”
“Anjing, lo nggak tau siapa gue?”
Kiki masih bungkam dalam kepanikan.
Si pelaku mendekatkan wajahnya kemudian membuka sedikit buff sehingga menampilkan wajahnya secara keseluruhan
Mata Kiki terbelalak, ia semakin histeris. “Lo—lo ngapain lakuin ini ke gue?!”
“Seharusnya lo tau kesalahan lo apaan.”
Pemuda itu menggeleng cepat dengan raut wajah yang panik. “Nggak! Gue nggak ngelakuin kesalahan apa pun. Gue nggak mungkin nyakitin—”
Bugh!
Pukulan keras mendarat di perut Kiki sehingga membuatnya ambruk seketika. Ia belum pernah merasakan pukulan sekeras itu. Pandangannya lambat laun meredup hingga akhirnya gelap gulita.
Orang itu mengatur napasnya. Ia menatap dingin ke arah Kiki yang tergeletak tak berdaya. Lalu pandangannya menengok ke sana ke mari, memastikan tidak ada saksi mata di lokasi itu. Kemudian ia memungut pisau sambil membopong tubuh Kiki ke dalam mobil Range Rover yang terparkir cukup jauh dari lokasi.
Setelah berhasil memasukkan tubuh Kiki, orang itu cepat-cepat mengendarai mobilnya menjauh dari lokasi sebelum polisi datang. Namun ada satu hal yang luput dari perkiraan orang itu, handphone milik Kiki yang terjatuh saat orang itu menerjang Kiki. Handphone itu masih dalam keadaan memanggil 110.
“Kiki …” ujar si operator dari ponsel tersebut. “Kiki, apa Anda bisa mendengar saya dengan jelas?”
***
Raka Destiawan duduk di meja laptop kosannya. Selain laptop dan notebook kecil, terdapat headphone, mikrofon, perekam audio dan beberapa perlengkapan lainnya untuk kebutuhan recording podcast. Setelah menyalakan dan mengatur beberapa alat, Raka memulai perekaman.
“Halo teman-teman pendengar,” sapa Raka membuka podcast-nya. “Ini adalah episode pertama dari Siniar Merah. Tujuan dari Siniar Merah adalah untuk melakukan penelitian tugas akhir saya dalam memenuhi syarat gelar S1. Siniar Merah akan membahas sifat-sifat negatif yang bisa memengaruhi generasi muda dalam menghadapi fase quarter life crisis.
“Adapun output yang diharapkan dari Siniar Merah adalah terbentuknya engangement antar saya dengan para pendengar sehingga terjalin bentuk komunikasi. Kalian bisa menghubungi email yang tertera untuk sekedar sharing mengenai apa pun seputar krisis identitas yang dibahas melalui Siniar Merah. So, tak perlu berlama-lama lagi, mari kita mulai episode pertama ini dengan episode fake friends.”
Raka menyelesaikan rekaman itu selama dua puluh menit. Setelah merapikan alat-alat podcast, ia beralih pada notebook kecil yang berada di samping laptopnya. Ia membuka halaman catatan yang berjudul “Rencana Siniar Merah (Podcast)”. Catatan itu rencananya akan berisikan daftar nama-nama yang disangkutpautkan dengan episode-episode Siniar Merah. Tak hanya itu, di dalam setiap daftar nama juga terdapat informasi detail seperti alamat, tempat nongkrong dan tindakan yang akan dilakukan.
Saat ini, Raka baru menulis satu nama sebagai daftar nomor satu, di sana tertulis nama Kiki Yudistira (Fake Friend). Tindakan yang tertera di sana adalah membuat kontak dengan Kiki, janjian di tempat nongkrongnya. Bawa pisau lalu lukai beberapa bagian tubuh. Langkah selanjutnya, buat Kiki pingsan dan bawa ke gudang, beri dosis obat bius secara rutin selagi menunggu korban lainnya.
Raka tersenyum. “Ini semua buat lo, Riel.” []