SINCE 2013

SINCE 2013

aldia123

5

Le, aku tidak pernah menyangka kau akan pergi secepat ini. Kabar subuh tadi ibarat sembilu yang menikam hatiku. Kau pernah bilang, tidak ada yang perlu ditakutkan perihal kehilangan. Sebab, katamu, semua orang pun bakalan menjemput kematiannya masing-masing. Mungkin kau benar, Le. Tapi, aku menyesal lari pada hari itu. Seharusnya, aku tidak harus takut, tidak harus membiarkan kau berdiri sendirian dengan hanya melihat punggungku yang semakin menjauh. Aku menyesal, Le. Lagi-lagi kau benar, tidak ada yang perlu ditakutkan dalam hidup ini selain kematian. Namun, bagaimana soal janji-janji yang belum ditepati? Ketika tidak ada lagi waktu untuk menyembuhkan luka-luka itu. Kita terlalu gengsi untuk mengakui sebuah kesalahan. Mengakui bahwa nyatanya rindu itu semakin menjadi-jadi. Le, apa perlu maut menjemptku juga biar kita benar-benar merasa sudah baikan?

***

Rana ikut duduk di sebelah Keira. Dalam waktu bersamaan, mereka bertatapan dengan raut wajah yang datar. Sudah lima tahun, tapi keduanya masih ingat dengan jelas siapa sosok di dekat mereka sekarang.

“Pada akhirnya, sejauh apa pun kita berlari, ujung dari pelarian kita tetap di sini. Semesta memang selalu punya rencana tersendiri di luar keinginan kita.”

Takdir hanya deretan peristiwa yang dilalui manusia dengan segala kejutannya. Seperti itu yang dipikirkan Keira saat ini. Bertahun-tahun mencoba lari, mencoba mengasingkan diri, mencoba melupakan segala kenangan yang pernah dia rajut bersama orang-orang di masa lalu, ternyata tak mampu membuat tekadnya itu kokoh hanya karena melihat sosok di sebelahnya.

Keira tahu, banyak hal dalam hidup yang tidak bisa diketahui sampai dia sendiri merasakannya. Seperti hari ini, dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya bertemu dengan seseorang yang dia rindukan selama lima tahun terakhir. Pertemuannya dengan Rana, membuat Keira jadi tahu sekarang, bahwa rasanya melebihi irisan silet yang menyayat hati cewek itu pelan-pelan. Dada Keira naik turun. Napasnya memburu, dia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.

Keira pernah tekun berharap orang-orang di masa lalunya kembali. Bukan harapan yang pertama kali, dua kali, atau tiga kali, tapi banyak kali sampai dia sendiri muak dengan harapannya itu. Bagi Keira, setelah harapan yang tidak terhitung lagi jumlahnya tadi tidak menemui jawaban, dia sudah mengubur dalam-dalam harapannya tersebut. Keira mencoba merelakan mereka, membuat batasan agar ingatannya tidak lagi kembali ke masa di mana orang-orang itu ada. Dan, sebenarnya itu hampir berhasil, sampai takdir membawa dia pada kenyataan pahit yang memorak-porandakan hatinya kembali.

“Cowok kuat itu sudah pergi jauh, ya, Kei ….” Rana kembali bersuara. Pandangannya masih fokus pada orang-orang yang saling bergantian memasuki rumah berdinding putih kusam.

“Kei, kau masih ingat mereka?”

Rana membuka galeri foto di layar ponsel keluaran terbaru yang barusan dia ambil dari tas selempang kecilnya. Dia menunjukkan foto-foto di layar ponsel itu kepada Keira, ketika sadar cewek berambut gelombang di sebelahnya tidak mengatakan apa pun.

Rana terus men-scroll foto-foto yang memperlihatkan enam anak SMA dengan pose bermacam-macam. Biar bagaimanapun, dia masih menyimpan kenangan yang pernah dia alami bersama orang-orang di foto tersebut. Seberapa sering dia mengganti gawai keluaran terbaru, foto-foto itu akan selalu dia pindahkan ke ponsel terbarunya tersebut.

Keira terdiam menatap orang-orang yang tersenyum lebar di foto. Dia jelas masih hapal dengan wajah-wajah mereka. Orang-orang yang dulu sempat berbagi tawa dan luka dalam hidupnya. Orang-orang yang menghiasi masa SMA-nya dengan banyak warna.

“Masih, Na. Seberapa keras pun aku berusaha untuk melupakan, sekeras itu pula hal-hal yang berkaitan tentang mereka datang dan mematahkan usaha itu. Aku lupa, hanya orang gila yang dengan mudah—“

“Melupakan kenangan yang sempat terjalin begitu erat.” Rana memotong ucapan Keira. “Kalimat Alfi memang tidak ada matinya. Sudah bertahun-tahun, tapi semua yang pernah dia ucapkan susah sekali untuk dilupakan sampai sekarang.”

Keira tersenyum kecut. “Aku jadi kangen Alfi yang bijak dan selalu perhatian.”

Keira kini tersenyum tipis, Rana juga. Sekat yang berusaha dipasang Keira tadi berhasil dirobohkan juga oleh Rana. Keira kembali terjatuh pada ingatan masa lalunya. Kenangan sewaktu dia SMA kini kembali berceceran. Berserakan layaknya gelas kaca yang jatuh menerobos lantai-lantai pualam.

“Kau tahu tidak, Na. Selama bertahun-tahun, aku belajar menjadi orang gila. Biar—“

“Biar berhasil melupakan semua yang pernah terjadi. Begitu?” Lagi-lagi Rana memotong ucapan Keira. “Belajar menjadi gila sama saja membodohkan diri sendiri, Kei. Kegilaan bukan sesuatu yang perlu dipelajari.”

Keira terkekeh. “Mereka sekarang di mana, ya, Na?”

“Aku yakin mereka juga bakalan datang hari ini.”

Keira berharap apa yang dikatakan Rana barusan benar-benar terjadi. Keira sudah telanjur jatuh kembali pada kenangan yang sudah berusaha dia tutup rapat-rapat. Dia memutuskan untuk semakin terjun lagi sampai saat di mana kenangan itu berawal.

“Termasuk Erika?”

Rana spontan menoleh ke arah Keira. Keduanya jelas tidak akan lupa bagaimana Erika berlarian sambil menangis setelah kelulusan SMA berlangsung dan tak seorang pun berniat mengejar cewek berambut pendek sebahu itu.

“Mungkin,” jawab Rana pelan, seperti ada yang tertahan di kerongkongannya.

“Erika adalah orang yang paling tersudutkan pada kejadian itu. Mungkin karena dia lebih tahu semua tentang Ale ketimbang kita.”

“Tapi semuanya merasa paling tersakiti kan, Kei? ”

Hening. Tidak ada lagi suara yang keluar dari mulut kedua sahabat itu. Rana dan Keira kini terlempar pada ingatan di mana mereka masih selalu bersama-sama. Situasi paling membahagiakan, juga masa-masa sulit yang mereka hadapi di saat usia mereka masih menginjak angka enam belas tahun.

“Kesalahan kita semua adalah alasan mengapa Ale pergi hari ini.”