“Kau harus putuskan hubungan dengan dia, Alan! Berhenti pacaran dengannya! Titik.”
Itu adalah perintah yang sama dengan dua perintah sebelumnya. Titah ketiga yang diucapkan dalam 20 menit perbincangan antara ayah dan anak tersebut. Kali ini diucapkan dengan lebih tegas, jelas. Dan tentunya dengan intonasi lebih tinggi.
Mungkin kalian juga pernah mengalaminya, situasi tak mengenakkan antara dua manusia yang memiliki pertalian darah. Kalau kalian anak baik, gejolak di dalam diri akan mampu kalian redam. Sebaliknya bila sumbu kalian terlalu pendek, meledaklah. Api bertemu api. Pernah kalian di posisi itu?
Perjumpaan yang langka ayah dan anak karena kesibukan masing-masing justru tak dibumbui kehangatan, kecuali emosi yang meletup-letup. Alan, yang duduk di seberang ayahnya, menunduk. Emosi yang ia tahan sedari tadi seolah membuat kepalanya berat terangkat. Sekalipun untuk memindahkan tatapan matanya dari vas bunga di meja ke wajah sang ayah.
Tapi sungguh ia sedang menahan gejolak dalam dirinya. Anak muda mana yang tak berontak ketika urusan cintanya diacak-acak. Alan bukan lagi remaja putih abu-abu dengan cinta monyet nan lugu. Ia pria dewasa yang matang lagi mapan. Dan catat, bukan cuma mapan, ia juga tampan. Terlalu tampan bahkan.
Sebagaimana ayahnya, begitu pula sesungguhnya Alan. Keduanya sama-sama keras kepala. Tempramental dan acap meledak-ledak. Namun, pada satu titik Alan tahu bagaimana agar amarahnya tak tumpah di hadapan ayahnya. Tak ada kesejukan yang timbul bila api dilawan api. Bila sedikit saja Alan tersulut, maka pasti keduanya ibarat peribahasa bertemu teras dengan beliung.
Ia memilih diam. Membiarkan Darmin, ayahnya mengeluarkan sesuatu yang tampaknya telah disimpan sejak lama. Dan Alan membuktikannya. Mulut ayahnya ibarat balon besar yang diisi air tiada henti hingga pada batasnya, tak kuasa balon menampung. Pecah. Maka menyemburlah air dari segala arah.
Darmin, pria berkulit putih itu selalu begitu. Bila emosi, wajahnya akan memerah. Tentu tidak seperti putri cantik berpipi merah dalam dongeng. Lalu, tangannya akan bergetar. Tremor.
Sesungguhnya Darmin tahu, bahwa Ayu kekasih anaknya itu memenuhi standard menantu yang ia harapkan. Berasal dari keluarga terpandang, berpendidikan, parasnya rupawan. Wajahnya ayu sebagaimana namanya. Hal yang diidamkan banyak orang. Keduanya sepadan. Demikian halnya dengan dua keluarga itu bila kelak bersatu dalam ikatan sakral.
Ayu sepertihalnya Alan. Mereka sama-sama terkenal seantero Indonesia. Keduanya memiliki fans fanatik. Ayu dan Alan sama-sama bintang di industri hiburan. Selebritas.
Pasangan yang menjalin asmara sejak satu tahun terakhir itu membintangi sejumlah film laris di negeri ini. Secara bersama-sama atau sendiri. Semakin terkenal, Ayu juga menjadi sejumlah MC acara live di televisi. Termasuk acara humor yang memang membesarkan namanya di jagat hiburan. Gadis berparas Ayu itu mengawali kariernya di dunia hiburan sebagai runer up sebuah kompetisi stand up comedy di televisi nasional.
Memang, Ayu tak malu tampil konyol. Ia jago membanyol. Tampil dengan dandanan sedemikian rupa jeleknya saat menjalankan profesi keartisannya bukan hal susah bagi Ayu.
Dan itu masalahnya!
Bakat yang bagi Darmin tak elok.
“Apa jadinya kalau istri mu seperti itu. Di mana wibawa seorang kepala daerah?”
Darmin mencecar.
Ia mengatakan, tak bisa membayangkan istri seorang bupati juga sekaligus pelawak nomor wahid mampu tampil serius di hadapan publik. “Siap kamu bila ia menjadi bahan tertawaan ibu-ibu PKK, ibu Dharma Wanita terbahak dengan kekonyolannya itu?” tanya Darmin masih dengan nada tinggi.
Lalu hening.
***
Kurang dari dua bulan lagi, Alan akan dilantik sebagai bupati di kampung halamannya. Sebuah kota kecil di Pulau Sumatera. Kota yang bila disebut namanya, orang awam akan mengangguk-angguk pura-pura berpikir, karena tak tahu di mana gerangan kota itu. Pun tatkala disebut nama provinsinya, hanya gumam dan seruan ooooo panjang. Reaksi spontan yang muncul karena daerah itu tidak begitu dikenal. Tak menonjol.
Tapi, lupakanlah dulu apa nama kota atau kabupaten itu.
Alan menang telak pada pilkada lalu. Ia dan tentu saja dengan wakilnya, beroleh suara mayoritas. Hampir 80 persen. Prestasi politik yang pernah dicapai ayahnya dulu pada pemilihan gubernur sekian tahun lalu. Ketokohan ayahnya dan popularitas Alan menjadi modal besar.
Selain Alan dan wakilnya, ada dua pasangan lagi pada pilkada itu. Pasangan pertama duet tokoh sepuh dan anak muda. Mereka juga sangat dikenal di daerah itu. Satunya tokoh masyarakat sedangkan si anak muda merupakan anak dari kepala daerah ketika kabupaten itu baru terbentuk pascapemekaran.
Pasangan kedua dari jalur independen, tanpa sokongan partai politik. Mereka sama-sama tua, bila tak ingin disebut sepuh. Mereka adalah kombinasi pengusaha dan alim ulama. Sedangkan Alan berduet dengan sosok yang terbilang masih muda. Tapi usianya di atas Alan dan merupakan wakil bupati periode sebelumnya.
“Ayah yakin kamu mampu Nak. Masa depan mu jauh lebih cerah bila menjadi kepala daerah.” Darmin membujuk.
Alan yang karier keartisannya sedang moncer memilih menuruti nasihat ayahnya. Ah, bagi Alan itu lebih tepat sebagai perintah. Bukan nasihat. Di keluarga mereka, tak ada opsi menolak titah ayah. Walaupun perdebatan sengit menjadi mulanya.
Darmin bahkan sudah memiliki hitung-hitungan matang jauh ke depan. Ia seolah good dad yang membuatkan anaknya peta hidup dalam kancah politik. Koneksi ayahnya yang luas hingga tingkat nasional, jaringan ke tokoh-tokoh politik sangat mungkin membawa anaknya kelak mempunyai posisi penting di negeri ini.
Darmin sudah menghitung itu. Kalkulasinya matang. Perhitungan nan cermat membaca situasi yang ia peroleh dari pengalaman berdagang sebelum terjun ke politik. Darah pedagang yang ia wariskan dari ayahnya. Bukankah politik tak lepas dari hitung-hitungan; siapa mendapatkan apa.
Alan sudah menduga bahwa kelak ayahnya akan memerintahkan agar ia ikut di pilkada. Kalau tidak, untuk apa ia ditaruh sebagai ketua partai di daerah tingkat dua. Padahal ia sama sekali tak punya pengalaman di dunia politik. Tapi ia tak ambil pusing ketika itu. Toh ia masih bisa menikmati dunia keartisan. Dua tahun sebelum pemilihan bupati digelar, ia dimasukkan oleh Darmin sebagai pengurus partai.
Bukan sekadar kader. Darmin yang menduduki hierarki tertinggi partai di tingkat provinsi, lewat musyawarah daerah menjadikan anak bungsunya itu sebagai ketua partai di tingkat kabupaten. Tentu itu bukan hal sulit. Sangat mudah, segampang membalikkan telapak tangan. Itulah awal mula dinasti politik Darmin di tanah kelahirannya. Oh ya, di provinsi ini ada tiga trah keluarga yang menguasai politik lokal. Darmin satu di antaranya. Nanti akan aku ceritakan mengenai tiga trah pengusa ini.
Sejak dilantik sebagai ketua partai, Alan akhirnya tahu satu hal. Ada kesamaan dunia politik dan dunia peran. Semua bisa menjadi siapa saja dan diatur oleh sutradara. Dan ia tahu siapa yang menjadi sutradaranya.