Bagi seorang remaja SMA seusia Sereina, cinta adalah sesuatu yang wajar dikejar. Setiap gadis maupun pria berlomba-lomba menunjukkan eksistensi mereka agar mendapatkan perhatian orang yang mereka sukai. Apa kabar dengan gadis pendiam dan introvert seperti Sereina? Dia bahkan tidak pernah keluar rumah meskipun hanya untuk mengambil cucian di halaman. Satu-satunya hal yang membuatnya keluar rumah hanya karena harus bersekolah.
Di sekolah pun tidak ada bedanya. Siapa saja yang berniat mencari gadis itu harus datang ke tempat paling terisolasi dan tidak mudah dijangkau orang, Sereina akan ada di sana bersama buku diarynya. Sereina hanya akan muncul di kalangan ketika dalam keadaan mood yang baik, dan hal itu sangat jarang ia alami.
Bagi gadis sepertinya, jam istirahat seperti ini adalah waktu paling menyiksa. Terkadang dia bingung mencari tempat yang aman untuk menyendiri bersama buku diarynya. Terutama karena sekolah ini masih sangat baru baginya---selama sebulan ini dia sudah berganti sekolah dua kali.
Sereina duduk di sebuah tangga batu yang memanjang dari sisi kanan ke sisi kiri kanan taman utama sekolah. Kali ini moodnya sedang baik makannya dia tidak memutuskan untuk menghabiskan jam istirahatnya di bawah tangga gudang. Ada beberapa siswa yang duduk di sana, dan dia memilih tempat paling terisolasi yaitu di urutan tangga tengah yang tidak ditutupi bayangan pohon.
Tangannya mengukir diksi indah di halaman buku. Bibirnya tidak berhenti tersenyum membayangkan tulisannya jadi kenyataan. Selain sebagai gadis pendiam, dia sebenarnya adalah pembaca master yang bisa membaca dua novel setebal lima ratus halaman dalam dua hari. Dan dia melakukan itu setiap hari sampai menemukan satu novel yang jadi favoritnya. Novel itu bercerita tentang kehidupan asmara di sekolah sihir, penulisnya menggambarkan seorang karakter yang begitu sempurna di mata Sereina. Seorang laki-laki beralis tebal, mata coklat terang berkilauan dan potongan rambut berponi. Belum lagi sikapnya yang baik, sopan, dan perhatian. Dia jatuh cinta dengan karakter fiksi.
Sesuatu yang seru baru saja terjadi sejak dia pindah ke sekolah ini. Ben Taylor Wolferine bukan hanya rekaan penulis semata. Dia nyata.
Sereina sama sekali tidak menyangka sosok yang selalu ia bayangkan sebelum tidur, sama persis dengan wajah Gibran Syahputra sampai dia mengira penulis kisah fantasy itu mendapatkan inspirasi tokoh Ben dari Gibran.
"Aku terjatuh dalam lautan tak bertepi ketika pandangan kita bertemu untuk pertama kali. Sesuatu dalam dirimu begitu tenang seperti aliran air sungai dan hangat seperti dekapan orang terkasih. Tetapi sisi lain dari dirimu begitu berbahaya dan menyiksa."
Sereina mengeja ulang kalimat terakhir yang ia tulis di buku diarynya. Senyumnya mengembang karena puas dengan tulisannya yang begitu menggambarkan sosok Gibran Syahputra.
Byur!
Sereina terkesiap dan nyaris melempar bukunya saat seseorang menuang cairan dari atas ubun-ubun yang kini mengalir melalui leher dan menciprat ke sekujur tubuh. Dia baru sadar dua detik kemudian, saat suara tawa menggema di belakang.
Sereina tidak lekas membalik untuk melihat siapa pelakunya meskipun seragam putih abu-abunya sudah kotor dan lengket. Bahkan buku diarynya ikut basah berserta surat yang baru saja ia tulis tentang Gibran.
Begitu Sereina berbalik, ketiga cowok yang baru saja bekerja sama menyiramnya tertawa semakin keras.
Sereina terpaku melihat salah satu dari mereka adalah Gibran Syahputra. Perwujudan nyata dari Ben Taylor Wolferine. Gibran memang punya ciri-ciri wajah dan tubuh yang sempurna seperti Ben Taylor Wolferine. Tetapi sikapnya sangat bertolak belakang. Gibran bukan seseorang yang romantis seperti Ben, bukan juga orang yang peduli.
"Enak, 'kan, es tehnya?" tanya Gibran di tengah tawanya.
Sereina masih terdiam. Dia tau kebersamaannya dengan Gibran hanya akan terjadi ketika cowok itu mengerjainya, selebihnya dia tidak bisa berharap karena Gibran bukan tipe cowok yang suka mendekati cewek tipe mana pun, termasuk Sereina. Karena itulah Sereina lebih memilih menikmati kebersamaan konyol ini alih-alih pergi begitu saja.
"Ekspresinya biasa aja, kali," sambung Gibran saat Sereina masih menatap datar.
"Udah lah, Bran. Gabut banget lo ngurusin dia," sahut cowok di samping Gibran yang sedang menatap Sereina dengan ekspresi jijik.
Gibran melempar botol minumannya ke tempat sampah. Sempat menatap meledek ke arah Sereina untuk terakhir kalinya sebelum dia melangkah ke arah kelas.
Sereina tidak lekas membersihkan diri meskipun dia merasa cairan itu semakin lengket. Dia mendudukkan diri di atas tangga batu dengan pikiran melayang-layang entah kemana. Sementara bibirnya tersungging senyum kasmaran.
***
Cairan teh manis hampir kering sehingga Sereina harus ekstra sabar menghilangkan noda di kemeja putihnya di depan cermin toilet sekolah. Buku diarynya masih basah dan dia sedang meletakkannya di atas wastafel.
"Eh, minggir dong!" seru seorang gadis yang baru saja masuk ke lantai toilet, menyenggol bahu Sereina sangat keras. Dia melakukan itu bukan tanpa alasan karena jalan di belakang sana masih cukup longgar. Gadis berpipi tirus dan rambut bergelombang bernama Astrid itu adalah pembully nomor satu Sereina di sekolah ini. Mereka pernah jadi teman saat tk, tetapi keduanya berbeda keperibadian, Astrid lebih condong menjadi seorang yang keras dan berkuasa.
"Baru diapain lo sama Gibran?" Astrid mengerutkan dahinya keheranan.
Sereina seperti biasa, hanya menunduk dan terdiam seolah tidak pernah menyadari eksistensi Astrid.
"Bisa denger nggak, sih?" seru Astrid tepat di telinga Sereina membuat Sereina menghindar.
"Baru diapain lo sama Gibran? Ngomong dong!" bentak Astrid gemas.
Sereina menoleh sedikit, tetapi tak sampai mempertemukan pandang dengan Astrid. "Nggak diapa-apain," jawabnya dengan suara sangat rendah.
"Hah? Apa? Nggak denger!"
Sereina bukannya ingin mengabaikan seperti yang Astrid kira, tetapi dia tidak menjawab karena merasa takut. Dia takut Astrid akan menyakitinya jika jawabannya tidak sesuai dengan keinginan Astrid.
"Udah tuli, bisu lagi!" Astrid melirik buku diary Sereina yang tergeletak di atas wastafel. Tangannya meraih buku itu dan akhirnya Sereina bertindak merebut darinya.
"Jangan, Astrid. Itu punyaku."
Tidak ada yang bisa menandingi kebahagiaan Astrid begitu melihat ekspresi ketakutan di wajah Sereina. "Boleh pinjam, nih?"
"Nggak boleh!" sahut Sereina cemas. Tangannya berusaha meraih buku yang Astrid angkat di ujung tangannya padahal tinggi badan mereka cukup kontras. Mustahil meraih buku itu tanpa memanjat sesuatu bagi Sereina.
"Kenapa nggak boleh? Ada apanya, sih?" tanya Astrid berusaha membuat Sereina semakin cemas dan usahanya berhasil.
"Kembalikan, Astrid!"
Astrid kesenangan melihatnya berusaha melawan, karena Astrid tau dia yang akan menang. "Jangan pelit-pelit jadi orang ya, culun!"
"Tapi itu punyaku."
"Kalau barang ini udah di tangan gue, berarti ini milik gue. Oke?"
"Enggak!" seru Sereina hampir menangis. Dia memberanikan diri menjambak rambut Astrid sehingga Astrid memekik dan menurunkan tangannya. Sereina tidak pernah melakukan ini sebelumnya, dan tubuhnya sudah bergidik memikirkan tindakan apa yang akan Astrid lakukan untuk membalasnya.
Dia tidak ingin memikirkan itu dan meraih buku diary di tangan Astrid sebelum terlambat. Belum sempat dia berlari meninggalkan toilet, Astrid lebih dulu menarik rambutnya dan menatap emosi.
"Enak aja lo, main jambak-jambak. Nih!" katanya dengan bengis menjambak rambut Sereina sampai nyaris terlepas dari kulit kepala.
"Aw ... sakit!" keluh Sereina mulai menangis.
"Dasar cengeng! Ini balasan karena udah berani lawan gue." Matanya menoleh ka arah toilet. "Mana nggak ada gayung lagi. Ah, bodo amat. Lo belum mandi kan?" Astrid mengarahkan kepala Sereina ke wastafel dan menghidupkan keras tepat di wajah Sereina. "Bau banget si rambut lo."
Sereina menutup matanya yang masih sempat mengeluarkan air mata meskipun terkena cipratan air. Hidung, mulut, dan telinga kemasukan air dan Sereina nyaris tak bisa bernapas. Meskipun begitu Astrid justru tertawa melihat penderitaan Sereina.
Astrid merebut buku diary di tangan Sereina, lalu pergi begitu saja dengan senyuman licik di wajahnya.
Sereina bangkit dengan sempoyongan. Kepalanya begitu berat dan dia sempat batuk-batuk kecil. Tangannya menyeka wajah yang tergenang air dan dia membuka mata untuk melihat tampilannya sekarang.
Air matanya semakin deras. Sesaat kemudian, dia sudah tergeletak di atas lantai tak sadarkan diri.
***