Silent Mode

Silent Mode

Cloydpas

0

Apakah kau percaya dengan hal yang tidak terlihat oleh mata?

Tapi dapat kau rasakan dengan rasa dingin di tubuhmu.

.

.

Hah ....

"Aku hanya ingin pergi."

Langit-langit bercat putih dengan warna kekuningan lapuk menjadi hal favorit yang aku pandangi. Entah sudah berapa lama aku berbaring di sofa ini. Pikiranku berkabut.

Satu botol obat tidur dalam genggamanku sudah terbuka. Merasa sangat yakin untuk meminum semua obat ini dalam sekali teguk. Mata lelahku terpejam, berpikir, jika kali ini berhasil maka tidurku akan nyenyak, tidur selamanya.

Bayangan itu kembali datang. Tragedi yang merubah hidupku. Reka adegan yang terus berulang saat aku memejamkan mata; Aku melihat mereka, tubuh di atas sofa, mata terbelalak kosong, kehangatan yang menghilang saat tanganku menyentuh tubuh mereka, kaku seperti cangkang yang sudah ditinggalkan. Saat itu, aku hanya bisa histeris tanpa tau harus berbuat apa, mengguncangkan tubuh kedua orang tua serta adik lelakiku yang tak bernyawa. 

“Hiks khh ....” Dadaku sesak, air mata tak henti mengalir.  

Akhir bahagia ternyata bukan bagian dari hidupku. Hanya mereka yang aku miliki. Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga harus menanggung ini? Setiap hari berusaha mencari pelakunya, berusaha mengungkapkannya, tapi, hasilnya nihil.

Disadarkan dengan kenyataan, dari awal sudah terlambat. Tidak ada saksi, tidak ada bukti senjata pembunuhan, yang ada hanya goresan di lengan kanan masing-masing jasad keluargaku yang membiru. Polisi menyerah untuk menyelidikinya dan menyatakan mereka bunuh diri. Dengan itu, aku pun menyerah dengan hidup. Tidak ada yang lebih pantas disalahkan selain diriku.  

“Coba saja hari itu aku pulang lebih cepat, coba saja hari itu aku merayakan ulang tahunku di rumah, coba saja-,”  

Sebuah kotak yang menyala dan bersuara, menyiarkan berita tentang kasus bunuh diri seorang lelaki di sebuah rumah mewah, entah sudah berapa kasus bunuh diri yang disiarkan. Esok, pasti aku yang akan muncul di berita, Luciana seorang wanita 24 tahun ditemukan meninggal karena overdosis di sebuah apartemen pinggir kota Maledi, kota yang kelam.  

Kusandarkan tubuh lemah ini pada sofa, lalu menatap sekitar ruangan kamar kost dengan tidak minat. Setelah 10 bulan kejadian, aku memutuskan pindah ke kota ini, karena tidak kuat tinggal di rumah itu. Rumah yang penuh kenangan paling indah yang harus ditutup dengan tragedi. 

Aku memeluk diri sendiri, karena saat ini terasa dingin, padahal aku tidak menyalakan pendingin ruangan. Mungkin karena aura suramku menjadikan tempat ini menyedihkan. Berbagai pengobatan dari konsultasi sampai terapi sudah aku jalani untuk meredakan kecemasan, tetapi mimpi buruk itu tak pernah hilang, dan berdampak pada keseharian, menyebabkan tanganku gemetar saat kecemasan itu timbul, terkadang membuatku sulit bernapas. Dampaknya bukan hanya menyerang secara mental tapi sampai ke fisik, saat ini aku tidak bisa bekerja lagi. Terlalu banyak pemicu bekerja di Rumah Sakit. Aku memutuskan untuk Resign.

"Jelas tidak ada gunanya untuk hidup lagi bukan?" Tawa kecilku menggema di ruangan. Kusibak anak rambut yang mulai memanjang dari wajahku.

Sebelumnya Aku sudah mencoba untuk gantung diri. Tapi gagal ... hanya membuat leher terluka karena talinya—putus. Sungguh, sampai sekarang aku masih tidak tau kenapa bisa putus, padahal sudah yakin diikat dengan kencang. Saat itu; aku terjatuh membentur lantai dengan keras dan terbatuk-batuk karena tercekat, lalu samar melihat sepasang kaki kurus pucat berdiri dihadapanku. Tidak dapat melihat jelas, tapi saat aku mendongakkan kepala, samar terlihat sosok wanita berambut hitam panjang. 

Setelah itu aku langsung tak sadarkan diri, dan terbangun beberapa jam kemudian dengan keadaan masih hidup.

Dari situ, aku sadar sedang berhalusinasi, melihat sesuatu yang tidak nyata. Keadaanku makin parah, halusinasi itu mulai muncul saat aku pindah ke kamar kost ini tepat seminggu yang lalu. Menyedihkan, setiap hari aku terbangun dengan ketakutan dan kesendirian. 

"Sudah tidak ada yang tersisa."  

Pandanganku buram karena air mata, perlahan terisak, pedih rasanya menangis setiap hari. Kuseka air mata yang mengalir deras dengan tangan kiri, lalu menengok botol obat tidur di tangan kanan, entah ada berapa jumlah pil ini. Yang pasti dengan ini aku bisa melepaskan rasa sakit hidup di dunia.

Napasku berat, kucoba menarik napas perlahan, tangan ini bergetar saat menuangkan seluruh pil itu, saking banyaknya membuat beberapa berjatuhan ke lantai. Kuperhatikan pil-pil itu, tidak ada rasa takut, yang tersisa hanya mati rasa. Hidup tanpa tujuan sama seperti raga tanpa jiwa.

Aku memasukan pil-pil itu ke dalam mulut. Lalu meminum segelas air, meneguknya sampai habis. Beberapa kali terbatuk, tersedak memaksa menelannya. 

Tapi, tidak sampai satu menit ada reaksi di tubuhku, rasanya sangat mual, perutku terasa bergejolak seperti didorong dan dipukul. Tubuhku bergetar dan meremang. 

Tidak tahan rasa mual ini, aku pun memuntahkan seluruh pil. Rasanya seperti tercekik secara tiba-tiba. Kepalaku pusing, tenggorokan sakit, hidung pun sakit, air mata mengalir menetes pada lantai. Aku memuntahkan seluruhnya sampai terasa pahit di mulut.

Tanganku berusaha menggapai sofa untuk berpegangan. “Khh ... bleghh, uhuk uhuk ....”

Tubuhku bereaksi seolah menolak dan berusaha mengeluarkan semua pil. Aku bersandar pada kaki sofa dengan terbatuk-batuk. Napas terengah dan masih memproses apa yang terjadi. Pandanganku buram, kukedipkan mata untuk bisa normal kembali, tapi denyutan di kepala membuatku memejamkan mata kembali.

Tiba-tiba, aku merasakan kehadiran di belakang; tengkuk terasa dingin, merinding, jantungku berdegup lebih cepat. Aku masih mencoba mengatur napas, entah kenapa ada rasa takut untuk menengok. Tapi aku memberanikan diri .... 

Dan tidak ada siapa-siapa. Halusinasi itu datang lagi. Denyutan di kepalaku semakin menjadi. 

Yang menggangguku adalah saat merasakan hawa keberadaan seseorang yang seolah-olah itu nyata. Aku berusaha menenangkan diri dengan mengatur napas. Suhu ruangan menjadi lebih dingin ... dari ekor mataku terlihat lagi sesosok buram berwarna putih, sosok itu seperti memakai baju tidur. 

Perlahan, kutengok lagi ... tetapi nihil, tidak ada seorangpun di sana. Napasku tercekat, berusaha meneguk ludah dengan susah payah. Aku melihat keseluruh ruangan, tubuhku meremang. Berdiri dengan tubuh sempoyongan, aku berjalan mengecek satu persatu pintu dan jendela, memastikan masih terkunci dari dalam, takut ada seseorang yang masuk, tapi semua aman terkunci dan ini berada di lantai 2. 

Aku kembali ke ruang tengah kamar kecil ini, duduk di sofa. 

“Aku memang sudah gila,” kataku sambil tersenyum miring. 

Otakku sudah tidak bisa membedakan kenyataan dan halusinasi. Kupegang kepala yang berdenyut, lalu memejamkan mata. Air mata kembali mengalir, kugigit bibir ini yang kehilangan ronanya, menahan emosi yang datang.

"Aku harusnya sudah mati! Lagi-lagi gagal? Lelucon apa yang sedang terjadi?! Ini tidak lucu ...." Tertawa sambil menangis itu tidak enak, rasa bingung dan kesal bercampur. Membuat pikiranmu sekian kalinya mati rasa.  

"Cara apa lagi yang harus kulakukan?"