Siksaan

Siksaan

Alfin Rafioen

5

SELAMAT DATANG DI BUKU PERTAMA KATES SERIES


UNTUK 21 TAHUN KE ATAS


Penulis menulis novel ini sebagai wujud keprihatinan penulis terhadap kekerasan yang sering terjadi kepada anak-anak. Cerita ini KHUSUS DEWASA diharapkan membaca dengan pikiran terbuka karena banyak konten kekerasan di dalamnya.



                                                    Prolog

Gunung Setan, 1991


Nenek itu tersenyum, wajahnya penuh dengan darah, mantra-mantra setan ia ucapkan dengan keras, lalu ia tendang pria bermuka anjing itu. Sebilah keris ia genggam, malam itu ia menangkap sasarannya.

Nenek Kuntilanak tertawa menggema, suaranya menhantui telinga si Pitbull. Ia selalu membenci ras anjing, menurutnya mereka menjijikan.

Sangaat menjijikaan ....

Mantra-mantra itu ia ucapkan, lalu ia tawakan, sebilah keris tajam ia tusukkan ke tubuh si anjing itu. Anjing malang tak berdosa itu.

Ya memang anjing itu membuat ia marah, bagaimana tidak. Seekor manusia anjing telah bercinta di ranjang gaib dengan salah satu putrinya. Lalu putrinya ia usir dari istananya, lalu manusia anjing itu ia siksa.

Erwan, manusia Pitbull itu membatuk-batukkan muntah darahnya, dadanya ngilu, terasa sakit, nyawanya merenggang, matanya perlahan menutup, maut telah menjemputnya.


                                                      Bab 1

Jakarta, 1999

Kates meloncat-loncat, ia menyukai lompat tali, pagi menjelang siang ia bermain dengan sahabatnya, Ening.

Mereka duduk di bangku TK, keduanya sudah bersahabat dari awal mereka masuk playgroup.

Kates sedang menghindar dari Chandra, teman sekelasnya yang selalu mengejarnya. Chandra tiap hari selalu menyatakan cinta kepada Kates, tetapi ia selalu menolaknya.

Chandra menurutnya adalah anak yang genit dan sensitif, ia selalu marah bila ditegur guru. Kates yang seorang indigo bisa merasakan energi Chandra yang negatif.

Ketika kedua anak gadis yang berambut panjang itu sedang melompat tali, datanglah sosok anak kecil kurus, berambut pendek dengan seragam sekolah yang rapi, kulitnya klimis. Anak itu Chandra, ia menyapa Kates sambil mengedipkan mata. Wajahnya terlihat sangat genit, dari senyumnya

"Halo Kates, lagi main apa?" tanya Chandra, ia mengedipkan mata. Kates langsung cemberut.

"Apaan sih, kamu genit banget!" keluh Kates.

"Ayo dong, main sama aku, aku kan cinta sama kamu," goda Chandra.

"Apaan sih Chan! Sana deh!" usir Kates.

Chandra masih tersenyum, ia pergi hendak meninggalkan Kates. "Aneh kamu, pacaran aja sama pocong!" tawanya sambil mengejek.

"Bel udah bunyi tuh, masuk yuk," ajak Ening kepada Kates yang cemberut mendengar ejekan Chandra.

Kates menyusul Ening yang lebih dulu berjalan mendahuluinya, kelas mereka ada di lantai lima, sekolah mereka ada playgroup ternama.

Kali ini adalah pelajaran bahasa Inggris yang diajar Bu Tulip, ia adalah guru muda yang mengajar di sekolah itu.

Kates masuk ke dalam kelas, teman-temannya sudah duduk melingkar di karpet bergambar gajah, Gurunya yang berkerudung biru sedang berdiri di dekat papan tulis.

"Bahasa Inggrisnya anjing itu dog," jelas Bu Tulip.

"Gio tuh anjing!" seru Chandra membuat Bu Tulip, kaget.

"Chandra! Kamu ngomong apa?!" pelotot Bu Tulip.

"Brengsek lo!" balas Gio.

"Gio! Chandra! Jaga mulut kalian! Nanti ibu kasih cabai kalau ngomong kasar lagi!" peringat Bu Tulip.

Seisi kelas diam, termasuk Kates dan Ening. Kates tiba-tiba ingin ke kamar mandi, ia pun mengangkat telunjuknya.

"Bu, maaf saya mau ke kamar mandi," ucap Kates.

Bu Tulip mengangguk, Kates keluar dari kelas, ia melangkah menuju kamar mandi. Kamar mandi berada tak jauh dari mereka. Letak kamar mandi ada di sudut pojok kanan di lantai itu. Ada dua kamar mandi, yang satu untuk anak laki-laki, yang satu untuk anak perempuan.

Ketika melangkah ke kamar mandi, Kates harus melewati ruang kosong berisi tempat penyimpanan alat-alat belajar.

Sekilas Kates menengok ke arah jendela ruang kosong penyimpanan alat-alat belajar. Terlihat sesosok pocong yang berdiri, wajahnya penuh dengan darah. Bibirnya terlihat merah, darahnya tampak segar. Kates menoleh kembali dengan cepat ke depan, ia berfokus sambil berdoa berjalan dengan cepat ke kamar mandi untuk anak perempuan.

Kates menyalakan lampu kamar mandi, ia melangkahkan kakinya terus menutup pintu kamar mandi. Perutnya makin mulas, ia memegangi perutnya yang mulas.

Mendadak ada suara deruu seperti "whoooooooo........whoooooooooo"

Kates mendadak memegangi lehernya, ia mulai ketakutan. Ia teringat dengan cerita Ening beberapa bulan yang lalu.

Kata Ening, pada tahun 1992, ada satpam dibunuh maling yang mengendap-endap di lantai dua. Saat itu si satpam sedang memeriksa lantai dua, tepatnya di depan ruang penyimpanan alat-alat. Tiba-tiba ada maling yang memukulnya dari belakang. Maling itu membacok-bacokkan bibir si satpam lalu membobol pintu ruangan dan melemparkan mayat si satpam ke dalam.

Menurut Ening, pocong yang konon ada di dalam sana adalah arwah si satpam yang dibacok.

Gadis kecil indigo yang sedang membuang beraknya itu melihat kilasan adegan pembunuhan di ruang penyimpanan ketika dirinya memejamkan mata. Ia semakin takut saat ia membuka matanya.

"Woooooooo......wooooooooo....."

Suara terdengar lagi, ada gerakan-gerakan dari gagang pintu, seperti ada yang memintakan dibukakan.

Duuug...... duuuuug!!!!

Suara ketukkan yang keras membuat Kates semakin takut, ia memegangi lehernya. Matanya mulai berair, ia ingin menangis.

"Heeeeee haaaaaaaaaaa." Suara seperti hembusan angin di depan pintu membuatnya ingin bangkit, tetapi rasanya berak masih ingin keluar.

Segera ia ambil shower, lalu ia pegang pantatnya dan ia siram pantatnya dengan air dari shower. Kates memakai celana rok seragam sekolahnya, lalu membuka pintu kamar mandi. Ia berlari dengan kencang ke arah kelas.

Kakinya terbirit-birit, ia sampai di pintu kelas, ia buka lalu dibantingnya pintu kelas.

"Astagfirullah!" seru Bu Tulip, ia terkejut.

"Bu..... ada hantu pocong di ruang....." Kates tidak sanggup berbicara.

"Hahahaaaa! Kamu mengkhayal!" timpal Chandra.

Kates mau menangis, Bu Tulip langsung memeluk Kates, sambil ia melotot kepada Chandra yang tertawa-tawa.

"Gak ada hantu..... kamu tenang ya, ayo duduk. Minum dulu," bisik Bu Tulip.

Bu Tulip meninta agar tidak ada yang meledek Kates. Sudah beberapa bulan ini Kates melihat hantu. Orang tuanya, Hanita dan Reza, bingung harus bagaimana. Ayah Kates mengerti karena dirinya juga seoeang indigo, ia tidak merasa aneh dengan kemampuan putri semata wayangnya.

Tak terasa bel pulang sekolah berbunyi, Ening mengajak Kates pergi ke rumahnya. Ening ingin menghibur Kates yang suka diledekki oleh teman-temannya.

"Kates, main yuk ke rumahku. Kamu kan belum pernah main ke rumahku!" ajak Ening.

Kates mengangguk, ia menerima ajakan Ening.

Ening adalah satu-satunya yang mau mengajaknya ngobrol, tidak ada anak perempuan lain yang ingin bermain bersama Kates. Para anak perempuan menggosipi perilaku Kates yang beberapa bulan ini menurut mereka aneh.

Ketika mereka berdua hendak pulang, Kates memberi tahu supirnya untuk mengantarnya dan Ening ke rumah Ening. Supirnya mengangguk, lalu mereka berdua menuju ke rumah Ening.

"Pak, bilangin ke mama kalau aku ke rumah Ening yaa!" ucapnya di tengah perjalanan.

Ia bersama Kates bercanda tawa di mobil, mereka menyanyi lagu anak-anak.

Sampai rumah Ening, mereka berdua turun dari mobil. Ening mengetuk pagar rumahnya. Ibunya membukakan pintu, lalu menuju ke pagar.

"Ening kamu pulang sama siapa?" tanya ibunya sambil mukanya sedikit suram, Kates bergidik melihatnya.

"Ini teman Ening Bu, namanya Kates," jawab Ening.

Kates menyalami ibu temannya itu, ia melihat teman putrinya sambil tersenyum, tapi agak menyeringai.

"Ayo masuk," ajak ibunya Ening.

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah, Kates melihat sekitar. Ruangan tamunya terlihat beberapa patung anjing. Sofa besar bergambar anjing diletakkan di dekat salah satu patung.

"Kamu mau minum apa?" tawar ibunya Sirla.

"Air putih aja Tante," ucapnya malu-malu.

"Eh kamu, diam aja! Ayo, kasih temanmu itu air putih," seru ibunya Ening kepada anaknya yang berdiri di dekat Kates.

Ginde adalah seorang ibu yang sangat perfeksionis, ia tidak suka bila putrinya itu tidak mendengarkan perintahnya. Ginde melotot, Ening tengah menyiapkan minuman untuk tamu.

"Cepetan kamu kalau disuruh apa-apa!" seru ibunya.

Ening mengangguk saja, ia membawakan air putih yang sudah dituangkan ke ruang tamu, diberikannya kepada Kates yang sedang duduk sambil tersenyum ke arahnya.

"Minum Tante," kata Kates.

"Silahkan, maaf kalau Ening bikin minummnya lama."

"Oh nggak apa-apa Tante," jawab Kates.

"Orang tua kamu kerja apa Kates?" tanya Ginde.

"Sekretaris di salah satu perusahaan minyak. Aku lupa namanya apa. Mama sekretaris, kalau papa itu wartawan gitu. "

"Ooh gitu, kamu sering main sama Ening?" tanya Ginde, pertanyaan yang mengalihkan Ening yang sedang melamun.

"Iya Tante."

"Ening nakal ga?"

Ening ingin menyela, tapi tidak bisa.

"Nggak Tante. Ening baik dan suka menemaniku kalau aku diledekki."

"Oh ya? Diledekki siapa?"

"Chandra Tante. Dia teman sekelas kami."

"Chandra yang nakal itu ya. Dia suka tuh mukulin ibunya. Tante sih enek sama ibunya, tukang gosip dan pamer," cerita Ginde.

Ening memberi isyarat agar ibunya diam, menurutnya tidak etis membicarakan orang tua orang lain.

"Apaaan sih Ening?" bisik ibunya, ia ingin menjawab tapi tak sanggup.

"Itu...."

"Itu apa? Maaf ya Kates, Ening suka begitu. Rada aneh."

Ibunya tukang ledek juga. Kata Kates dalam hati.

"Tante, beberapa menit lagi aku izin pulang ya, keburu sore."

"Iya Kates, terima kasih sudah mampir."

Kates menatap wajah Ginde, ia merasakan aura lain di sana. Ada yang menutupinya. Ada aura bukan manusia murni. Ada aura binatang di dalam diri ibu temannya itu.

"Tante, aku pamit dulu ya," ucapnya ketika sedang memakai sepatu.

"Iya, terima kasih Kates," Ginde mengangguk. Kates masuk ke mobilnya, lalu ia bersama supirnya pulang ke rumah.