Should We Get Married?

Should We Get Married?

Kinah_D

5

Haruskah kita menikah?

Pertanyaan serius terasa bercanda terlontar dalam mulut July. Suasana mendadak hening seketika. Hanya terdengar lirih hembusan napas April meniup kopi yang sebenarnya tak lagi panas.

Meski fokus pada secangkir kopi yang ia pegang dengan kedua tangannya, April menyadari bahwa July sedang menatapnya.

Aku membayangkan, kita akan hidup bahagia setelah menikah. Kamu tak perlu berada di lingkungan kerja yang toxic lagi”, lanjutnya."

__

Bekerja sebagai staff Administrasi di salah satu perusahaan percetakan di Jakarta, merupakan pekerjaan impian April. Namun, impian tersebut dirasa salah setelah 6 bulan bekerja.

Biasanya, orang merasa tidak nyaman di kantor baru di bulan pertama sampai 3 bulan ke depan. Ini berbeda, semua berjalan aman dan nyaman selama 6 bulan. Setelahnya, April merasa seharusnya dirinya tidak berada disana.

Sejak pergantian Direktur di Januari 2018, April mulai merasa tak nyaman dengan lingkungan kerjanya. Seperti sesak napas. Terengap-engap seperti habis lari maraton. Tak punya sakit asma atau gangguan pernapasan, tetapi tiap malam dirinya selalu kesulitan bernapas.

Ada beban yang harus dibawanya setiap hari. Bahkan ketika tidurpun ia tak bisa meletakkannya. Dalam mimpi pun terus terbawa.

Oh pekerjaan, bisakah kau menyingkir sejenak dari pikiranku”, pinta April setiap kali ia memejamkan mata.

Nyatanya, urusan pekerjaan itu terus menempel dalam pikirannya. Seolah tidak mau lepas karena sayang. Hal ini terus terjadi selama 2 tahun.

__

Pril, besok saya ada meeting dadakan. Tolong siapkan data klien yang sudah melunasi tagihan & yang belum bulan ini. Jam 8 sudah siap, antar ke ruang rapat.”, pesan WhatsApp itu diterimanya pukul 21.23.

Baik Pak, Noted”, balas April tepat pukul 21.25.

Meskipun itu tugas besok pagi, tapi membuat pikirannya tak tenang. Dengan tubuh yang sebenarnya lelah, ia paksa bangkit dari kasur berukuran 200x200cm. Berjalan 5 langkah menuju meja kerjanya. Menyalakan lampu dan laptop.

Ahhhhrrrrrgggg”, omel April pada pekerjaan yang ada di layar laptopnya.

Ditemani kopi hangat yang ia seduh di Apartemennya, April menyiapkan rekapan data untuk rapat besok. April memang tidak suka menyiapkan hal-hal mendadak, ia seringkali mengorbankan waktu hari ini untuk melakukan sesuatu yang seharusnya esok hari.

__

Tidak sia-sia begadang, pagi ini rapat berjalan dengan lancar.

Terima kasih, April”, ucapnya pada diri sendiri.

Jangan berharap akan dapat kalimat apresiasi dari atasan. Sekedar terima kasih saja, April mendapatkannya dari diri sendiri. Mungkin terdengar sepele, tapi kalimat singkat itu bisa membuat hati seseorang merasa dihargai atas kerja kerasnya.

Memang sudah menjadi kewajibannya untuk bekerja dengan maksimal dan memberikan yang terbaik. Tapi, semakin maksimal dilakukan, semakin banyak hal tak terduga di malam hari yang harus diselesaikannya. Seperti tak ada batasan.

Makan yuk”, ajak Sintia. Rekan kerja April.

Hmm..”, April menggangguk lemas. Beranjak dari tempat kerjanya untuk ke salah satu tempat makan, yang letaknya berada di seberang kantor. Disusul Randy dan Dimas untuk bergabung makan siang bersama.

Eh sumpah, capek banget gue pagi ini”, keluh Dimas staff gudang.

Huuhh.. gue pagi-pagi udah diomelin klien. Komplain udah transfer, padahal belum”, timpal Sintia. Sebagai customer Service Sintia benar-benar hebat menghadapi klien.

Ya, begitulah bro, namanya hidup”, celetuk Randy.

Makan siang kali ini sempurna, bukan karena dengan lauk pauk, buah-buahan, dan susu, tapi lengkap dengan keluhan-keluhan kehidupan di dunia kerja. April merasa bukan hanya dirinya sendiri yang kerap mengeluh. Bedanya, mereka bisa leluasa meluapkan keluh kesah satu sama lain, sementara April hanya menyimpannya sendiri.