Saat minggu kedua libur musim dingin, rumah sakit universitas di tempatku bekerja melakukan CSR (Corporate Social Responsibility)[1] berupa pelayanan kesehatan dan pembagian briket kepada warga yang membutuhkan di desa-desa terpencil. Tahun ini kami memilih pulau Udo sebagai lokasinya. Jangan bayangkan pulau Udo yang ada di bagian Timur pulau Jeju dan terkenal dengan bunga kanolanya. Pulau yang sebenarnya diceritakan di sini adalah pulau Udo di bagian Selatan pesisir kota Tongyeong Provinsi Gyeongsangnam. Meskipun banyak orang yang percaya bahwa pulau Udo di Jeju memiliki bentuk seperti sapi berbaring, tapi sebenarnya jika dilihat di satelit, pulau Udo Tongyeong lah yang justru benar-benar terlihat seperti demikian. Meskipun aku tidak terlalu sependapat dengan para ahli sejarah yang menamainya seperti itu—bentuknya lebih mirip babi liar daripada seekor sapi.
Aku mengiming-imingi para mahasiswa kedokteran yang ikut denganku bahwa kami seharusnya pergi ke pulau Yeonhwa yang ada di sebelah pulau Udo saja. Di pulau itu bunga kamelia yang mekar di musim dingin sedang dalam bagus-bagusnya. Tapi Seonwoo Hwan—salah satu mahasiswaku—memajukan badannya hingga wajahnya berada tepat di antara wajahku dan Jung Du Ho. Setelah itu ia melirikku, “TIDAK! Anda sudah berjanji untuk mentraktir kami haecho bibimbap[2] yang terkenal itu, Saem!”
Aku menepuk tanganku sendiri. “Ah, benar juga.”
“Kau ikut karena mau membagikan briket atau mau makan?” Du Ho menjentik pelan dahi temannya itu dengan telunjuknya.
“Dua-duanya, hehe...,” Hwan kembali duduk dengan tenang di kursinya. Semua orang termasuk aku yang ada di mobil tergelak.
“Aku akan memastikan kau mencoba semua menu yang ada di rumah makan Nyonya Gangnam Yeon, Hwan-ah,” janjiku yang langsung disambut dengan bahagia oleh pemuda itu.
Kami tiba di Udo-gil[3] ketika sudah hampir waktunya makan siang. Mi Rae, salah satu rekanku di departemen bedah umum, bersama dengan mahasiswa magang yang lain tiba di sana sejak pagi dan sudah membagikan hampir separuh briket ke penduduk yang tinggal di lembah. Sekarang waktunya kami yang membagikan sisanya ke rumah-rumah yang ada di atas bukit, searah dengan jalur pendakian menuju pantai Mongdol yang menjadi tujuan dari turis-turis di kapal feri yang sama dengan kami tadi.
Kami menghabiskan sisa hari itu untuk membagikan briket, berkunjung ke rumah kepala desa, serta membangun pos kesehatan untuk kegiatan pelayanan kesehatan esok hari. Pulau Udo hanya memiliki sekitar 20-30 kepala keluarga dan tidak banyak anak muda yang tinggal di sana. Jadi kami menargetkan para lansia dan menjadwalkan semua kegiatan besok hari sebelum kembali ke Seoul.
Begitu semua persiapan telah selesai, kami diantarkan ke penginapan oleh kepala desa melewati hutan kamelia yang bentuknya seperti terowongan panjang. Saat musim panas, terowongan itu akan menghalangi matahari masuk sehingga para pendaki tidak terlalu kepanasan, sedangkan ketika musim dingin, itu berfungsi untuk menghalangi angin dingin. Sebenarnya aku ingin melihat pepohonan kamelia di pulau Yeonhwa. Tapi syukurlah kami datang ke Udo di saat yang tepat. Kamelia juga sedang mekar sempurna di pulau ini.
Kami sampai di penginapan saat matahari benar-benar sudah tinggal seperti bola pingpong kecil di ufuk Barat. Ketika kami sedang memasukkan akomodasi kami ke dalam kamar masing-masing, di sana lah aku bertemu dengannya kembali. Sesosok wanita muda yang menjadi salah satu klienku saat aku masih menjabat sebagai kepala residen di sebuah klinik sekitar tiga tahun yang lalu.
“Oh Saem? Apa benar anda Oh Tae Hun Sonsaengnim[4]?” Dia menarik pelan lengan jaketku dan membuatku menoleh ke arahnya. Dalam waktu beberapa detik aku berusaha untuk membuka kembali ingatanku tentang seseorang yang mungkin saja kukenal. Tapi aku sebenarnya tidak ingat dengan wanita muda ini.
“Apa Anda ingat dengan saya? Saya Yoon Se Mi. Tiga tahun lalu saya pernah berkunjung ke klinik Anda. Ah, lebih tepatnya sering berkunjung.” Gadis itu tersenyum.
Begitu mendengar nama itu, seketika kepalaku rasanya seperti baru dipukul hingga seluruh kesadaranku kembali. Aku akhirnya mengingatnya. Yoon Se Mi. Dia adalah mahasiswi tingkat akhir yang berbadan kecil dan tidak terlalu tinggi. Ia sangat kurus terlihat jelas dari kepala tulang hasta menonjol di balik kulit punggung tangannya yang putih setiap kali lengan bajunya tersingkap saat gadis itu sedang mencoba untuk menjelaskan situasi yang sedang ia hadapi dengan menggerakkan seluruh bagian lengannya.
Yoon Se Mi yang dulu kulihat memiliki tatapan yang suram di balik sudut matanya yang cekung dan gelap, rambut pirang yang sudah lama tidak terurus, serta suaranya yang pelan bertanda bahwa dulu bahkan pita suaranya tidak memiliki banyak tenaga untuk bergetar. Tapi kini ia sudah mampu menegakkan bahunya yang dulu selalu menghadap tanah, badannya yang dulu rasa-rasanya akan langsung rapuh apabila disentuh, kini juga sudah mulai berisi. Aku benar-benar hampir tidak bisa mengenalinya.
“Se Mi-ya..., Aku akan pulang ke rumah.” Belum sempat aku berbicara sepatah kata pun seorang wanita tua menghampiri Yoon Se Mi.
“Oh..., iya. Terima kasih atas bantuannya hari ini, Nek. Siapa yang mengantar Anda?” balas Se Mi. Aku bahkan baru tahu kalau sebenarnya wanita ini memiliki suara mezzo-sopran ketika ia bicara dengan dialek Gyeongsangnam pada wanita tua yang ia sebut nenek itu. Padahal kukira wanita itu hanya bisa menggumam dengan suara bariton saking pelannya ia saat bicara.
“Chul Seok datang menjemput.”
“Ah, baiklah. Hati-hati di jalan, Nek. Jangan lupa mengancing jaket Anda,” ucapnya perhatian. Nenek itu hanya melambaikan tangannya tanpa mengindahkan perkataan Se Mi lalu menuju seutas cahaya lampu di ujung jalan yang ternyata dibawa oleh anak laki-lakinya.
Setelah percakapan yang singkat itu, ia kembali menghadap ke arahku dan tersenyum, “Bagaimana kabar anda, Saem?”
Melihat senyuman itu, aku tersadar. Gadis itu dulu selalu memasang wajah datar dan hanya tersenyum untuk menyiratkan sebuah basa-basi. Kini sunggingan bibir itu sudah mulai merekah, mengembangkan sebuah ketulusan. Yoon Se Mi, sudah benar-benar berubah menjadi lebih baik daripada saat ia terakhir kali berkonsultasi tentang kehidupannya yang sangat sulit padaku.
Kami bicara banyak saat memanggang barbekyu di depan penginapan malam hari itu. Ia mengelola penginapan di pulau Udo sejak setahun yang lalu. Yoon Se Mi ternyata sudah menikah dengan seorang guru dan kebetulan suaminya sedang ditempatkan di sebuah sekolah dasar di pulau Yeonhwa. Sejauh ini, kehidupannya berjalan normal, dan aku turut bahagia mendengarnya. Karena di sana tidak hanya ada kami berdua, kami tidak terlalu membahas detail tentang masa lalunya. Tapi saat itu, cerita Yoon Se Mi benar-benar menggugahku. Bagaimana dia berhasil melewati fase kehancuran hidupnya di usia yang masih sangat muda, hingga bisa menjadi seperti sekarang.
“Saya masih ingat itu adalah hari yang sangat sulit untuk dilalui. Saya senang karena orang yang saya temui waktu itu adalah Anda,” ungkapnya.
“Apa waktu itu kau tersentuh dengan ucapan-ucapanku?”
“Tidak juga. Saya tahu Anda hanya menjalankan tugas sesuai dengan pekerjaan anda, jadi saya mencoba untuk mengikutinya. Bukankah itu satu-satunya alasan kenapa orang seperti saya menemui Anda?” Dia tersenyum.
“Lalu apa yang bisa membuatmu berubah seperti sekarang?” tanyaku.
“Oh, tidak, tidak. Saya tidak mengubah apapun di diri saya, Saem. Saya hanya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang sudah ada. Anda tahu, waktu itu saya sudah dalam fase ketika..., bahkan dengan bantuan dokter sekali pun tidak ada gunanya. Karena itulah saya berpikir, jika saya tidak bisa mengubah apa pun, ya sudah, saya hanya akan menjalankan hidup saya apa adanya.” Dia sedikit terdiam.
“Anda pernah bilang, kalau saya terlalu sibuk memikirkan apa yang telah orang lakukan pada saya, saya lah orang yang akan menderita sendirian. Sebagai seseorang yang sering merasakan sakit karena orang lain, saya awalnya membenci Anda karena Anda tidak mengerti perasaan saya. Tapi apa Anda ingat apa yang Anda ucapkan sebelum saya keluar dari ruangan Anda waktu itu?”
“Aku tidak ingat,” kataku jujur. Yoon Se Mi tersenyum.
“Saya biasanya merasa geli jika kata-kata itu muncul di dalam drama yang saya tonton. Tapi hari itu, ketika Anda mengucapkannya kepada saya, saya bisa melihat ketulusan di dalamnya dan entah kenapa itu membuat saya tersentuh. Itulah kenapa akhirnya saya berusaha mati-matian untuk mencari kebahagiaan saya. Pada masa-masa itu, saya akhirnya juga bertemu dengan suami saya. Saya yang selalu memikirkan orang lain terlebih dahulu daripada diri saya sendiri, saat itu berbalik menjadi seseorang yang selalu dipikirkan olehnya. Meskipun situasi kami berbeda, tapi saat itu kami memiliki perasaan yang sama. Itulah yang membuat kami bergantung satu sama lain dan menjadi seperti sekarang.” Yoon Se Mi kini menyesap susu cokelat yang sudah mulai mendingin di atas meja.
“Setelah semua yang saya lalui, saya sangat berharap suatu hari nanti akan datang waktu seperti ini, dan saya bisa mengatakannya langsung kepada Anda.” Ia melanjutkan bicaranya lalu menggenggam telapak tanganku.
“Terima kasih. Karena waktu itu sudah tulus berdoa untuk saya. Anda adalah orang pertama yang mengatakannya dan itu benar-benar berarti buat saya. Karena Anda adalah orang baik, Tuhan mengabulkan doa Anda, dan seperti yang Anda lihat, sekarang saya baik-baik saja,” katanya sambil tetap tersenyum. Aku menepuk-nepuk pelan tangannya yang menggenggam telapak tanganku sambil mengangguk-angguk.
“Syukurlah. Aku mengucapkan selamat untukmu,” kataku tulus.
Setelah beberapa waktu, Yoon Se Mi berpamitan karena ia harus menjemput suaminya di dermaga. Setelah bertemu dengannya, aku jadi kembali mengingat masa-masa ketika aku mengalami keraguan di hidupku. Dulu aku juga seperti Yoon Se Mi, meskipun kesulitan yang kami hadapi berbeda. Aku yang merupakan seorang pemuda tanpa cita-cita dipaksa untuk memasuki jurusan kedokteran hanya untuk mengangkat derajat keluarga tanpa peduli aku menyukainya atau tidak. Orang-orang disekelilingku berpikir hidupku menyenangkan karena semua fasilitas yang kudapatkan hingga bisa menyelesaikan masa-masa kuliah dan magangku. Mereka hanya bisa melihat dari luar, tapi tidak tahu apa yang sudah kualami selama melalui proses itu.
Semua tekanan yang kudapatkan selama bersekolah di jurusan kedokteran membuatku harus sering-sering berkunjung ke psikolog juga. Dan pada saat itu, setelah banyak berkonsultasi dengan mereka, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku akhirnya punya sesuatu yang ingin kulakukan, yaitu menjadi seorang dokter yang tidak hanya mengobati pasien, tapi juga dapat membuat mental mereka merasa lebih baik. Itulah kenapa akhirnya aku memutuskan untuk mengambil spesialisasiku yang sekarang.
Semua orang kini sudah kembali ke kamar masing-masing. Aku memandang bunga kamelia merah yang kini bersinar jingga di bawah temaram lampu jalan tepat di samping penginapan kami. Aku pikir aku dan Se Mi juga sama. Kami yang hampir putus asa dengan kehidupan yang kami jalani, akhirnya memilih untuk mencari kebahagiaan kami sendiri. Seperti aku yang berubah setelah bertemu dengan psikolog yang memberiku inspirasi menjadi seorang psikiater. Seperti Se Mi yang tersentuh hanya karena satu ucapan yang bahkan tidak kuingat lagi, atau juga karena pertemuannya dengan seseorang yang mencintainya secara tulus. Kami percaya, yang dibutuhkan untuk mendapatkan kebahagiaan dan menjalani hidup dengan baik adalah bertemu dengan orang yang tepat. Seperti kamelia ketika petal merah berlapisnya mekar sempurna menopang di atas kelopak hijaunya yang kokoh.
***
Klinik Bucheon, musim gugur, 3 tahun yang lalu...
“Cobalah untuk mencintai seseorang.”
“Saya tidak tertarik.”
“Kau..., bukankah kau juga seseorang?”
Gadis ceking itu hanya diam sambil memijat-mijat telunjuknya yang tidak sakit.
“Anda tidak mengerti.”
“Karena itulah..., cobalah untuk mengerti dirimu sendiri dan jangan bergantung pada ucapan orang lain jika itu membuatmu tidak nyaman.”
Suasana di ruangan itu kembali hening. Hanya suara desahan napas gadis itu yang kini sedikit menggema dan terdengar sumbang. Gadis itu memaksakan senyuman datar dan memandang Oh Tae Hun sekilas lalu kembali menghadapkan wajahnya ke lantai.
“Baiklah. Akan saya coba.”
Tae Hun tahu ucapannya tadi hanya sekedar angin lewat bagi gadis itu. Ekspresinya terlihat jelas dari senyuman canggung yang barusan ia berikan padanya.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Saem,” kata gadis itu kemudian. Ia hanya memberi hormat dengan sedikit menundukkan wajahnya, lalu menarik kursinya dan berdiri dengan canggung. Ia melangkahkan kakinya dengan berat menuju pintu. Tae Hun tahu, gadis itu masih belum bisa mendapatkan jawaban yang dia inginkan hari ini. Meskipun sebenarnya Tae Hun sudah memberikan kisi-kisinya sejak tadi.
“Se Mi-ya,” Tae Hun kini berdiri dan memandang gadis itu lekat-lekat. Yoon Se Mi menurunkan telapak tangannya dari gagang pintu dan menoleh ke arah Tae Hun.
“Aku benar-benar berharap kau bisa bahagia. Aku akan berdoa untukmu. Jadi kumohon, cukup pikirkan dirimu sendiri saja.”
Untuk sejenak gadis itu hanya terpaku di tempatnya. Lalu Tae Hun bisa melihat bibirnya bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca. Hanya dalam waktu beberapa detik, tangis Yoon Se Mi akhirnya pecah di ruangan itu.
***