Setitik Kelabu

Setitik Kelabu

yaya

0

Memang anda sudah bisa membuat anak saya bahagia jika hanya dengan cinta?" 

Ibu dari anak yang sudah berani melamar putri orang penting itu terdiam mendengar anaknya ditanyai. Padahal sangat dia pastikan anaknya tidak akan membuat sang putri tercinta miskin dalam sekejap jika hidup dengan berlandaskan cinta, jika Renjana boleh menggunakan cara kekanakan dengan memamerkan kekayaannya itu mungkin akan membuat calon besannya menutup mulut. Saat ini, Renjana memastikan bahwa anaknya tidak melakukan hal bodoh seperti ayah mertuanya dahulu. 

"Saya memang mencintai putri anda bapak Jangga, namun memang dalam rumah tangga tidak akan hanya bersangkutan dalam hal cinta. Saya juga sudah memastikan keuangan untuk keluarga mencukupi," ujar Sangkara, mengucapkannya tanpa rasa takut dan tidak ada nada amarah. Lantas calon besannya itu tersenyum miring. 

"Ingat Sangkara, anak saya, sudah saya besarkan dalam keadaan baik walaupun dia dibesarkan tanpa ibu. Saya sudah pastikan dia bermoral baik dan pendidikan tinggi untuknya, tapi melihat anda yang tidak mempunyai pekerjaan membuat saya memikirkan ulang kembali atas lamaran ini," jawab Jangga. 

Renjana menatap putranya yang kembali terdiam, dia tahu putranya menahan marah sembari mencari jawaban singkat untuk mengalahkan Jangga. Walaupun sedikit ia sesali putra keduanya ini masih mempunyai jiwa jiwa pemaksa seperti suami serta ayah mertuanya. Renjana tidak ingin ikut serta dalam debat, dia hanya menemani anaknya sebagai wali namun sesekali membela anaknya jika terdesak akan pernyataan dari Jangga. 

Jika saja disini ada suaminya dan membantu mereka untuk menyelesaikan hal ini, mungkin tidak ada dua jam lebih Renjana pulang. Sungguh Renjana bosan dan ingin tidur dirumah. Punggung yang rentan pegal itu meronta ronta meminta direbahkan, tetapi satu hal fakta dia tidak akan mungkin merasakan karena sekarang ia duduk anggun dengan mempertahankan senyum manisnya khas putri keraton. Wanita paruh baya ini masih terbawa suasana mudanya. 

"Pekerjaan saya memang hanya meneruskan bapak dan ibu saja, tetapi hal itu akan sangat mencukupi pernikahan saya nanti." Sangkara yakin setelah ini Jangga akan menanyakan pekerjaannnya dan perdebatan pun selesai. 

"Meneruskan pekerjaan orangtuamu? Terkesan tidak mandiri, namun sepertinya tidak ada pilihan lain. Memangnya anda bekerja apa disana?" tanya Jangga kepada Sangkara. 

Renjana dan Sangkara tersenyum lebar mendapati pertanyaan itu. Seperti Jangga di kalah dibabak akhir. 

"Bapak saya mempunyai bisnis pertanian yang menjanjikan dari kakek, ibu saya pun begitu, dan kami mengolah produk untuk orang orang yang membutuhkan. Mereka bekerja sama hingga membangun satu pabrik dulu pada tahun 1956, dan sekarang pabriknya ada di Jogja dan Surabaya itupun ada pembangunan lagi di kawasan Solo, saya yang merencanakan pembangunan itu. Bapak Jangga, sebenernya saya tidak ingin mengatakan hal ini, namun karena anda bertanya maka dari itu saya sedikit mengutarakannya," ujar Sangkara.

"Jangan bilang anda dan ibu anda?" Jangga terkejut hingga tak dapat meneruskan perkataannya. Tidak tahu orang yang menduduki pengusaha terkenal itu dan kekayaannya yang sudah melampui dirinya kini berada didepan. Sungguh Jangga sangat menyesal karena tidak mengetahui hal tersebut. 

*

Renjana masih tersenyum puas mendapati debat calon besannya bersama Sangkara selesai sudah. Pantas saja dulu mertuanya melakukan hal sama walaupun sedikit kasar, bukan sedikit lagi namun sangat kasar bedanya Renjana tahu bahwa suaminya memang sudah mempunyai kekayaan yang cukup dari pada dirinya dahulu. Memang pada dasarnya orang tua akan melakukan hal apapun untuk anaknya walaupun itu salah sekalipun, dan Renjana baru merasakannya sekarang. 

Anak keduanya ini memang sedikit nekat dari kakaknya dulu yang merayu ayah mertuanya dari awal. Sangkara terkesan memaksakan kehendaknya. Walau kini Renjana puas dengan hasil perdebatan mereka. Membayangkan bagaimana lamanya disana membuat Renjana pusing, rindu segera ingin menyapa kasur dirumah. Tubuhnya pun sudah rentan, apalagi sebelum perjalanan melamar sang putri Jangga, mereka sempat observasi. 

"Ibu, apa kataku benar bukan? jika kita tidak membesarkan nama mungkin akan sampai besok acara lamarannya," ujar Sangkara menatap sang ibu. 

"Caramu salah le, tapi memang harus sedikit diberi pelajaran si Jangga itu," jawab Renjana tak kalah kesalnya kepada Jangga. 

Renjana mendengar kekehan Sangkara disana, dia juga ikut tersenyum. Melihat anaknya senang berhasil mendapatkan putri yang di gadang gadang para bangsawan, seperti mendapatkan bidadari yang membawa harta karun. Renjana tahu bagaimana perjuangan Sangkara membujuk Adya untuk menjadi kekasihnya, hingga akhirnya mendapatkan hak penuh dengan cara yang pintar. Putranya itu memang sudah pantas. Dia jadi teringat suaminya kembali. 

"Dulu bapak seperti ini juga bu?" Renjana tersenyum kembali atas pertanyaan Sangkara. 

"Beda lagi dulu bapakmu itu memakai cara sedikit memaksa, pake jalur dalam kalo bapak mu itu." Nadanya khas seperti orang tua keturunan ningrat sedikit medhok, Renjana berjalan kearah foto figura yang besarnya lebih dari satu meter, disana ada dirinya dan suaminya. Kenangan masa lalu begitu dramatis kini menjadi masa lalu yang tidak akan bisa ia lupakan, sejarah dua keluarga yang terbentuk dari kenangan pahit. Renjana tersenyum miris. 

"Dipandangi terus saja bu, sepertinya ibu sudah rindu berat sama bapak," olok Sangkara. 

"Sudahlah bu, seperti masa muda yang tidak ada habisnya saja. Nanti bapak pulang dengan kang mas Adi," lanjutnya. 

Rindunya kepada suaminya itu sudah terlalu berat. Dia sudah sering ditinggalkan ke luar kota, namun untuk kali ini sudah beberapa minggu dan Renjana belum mendapatkan kabar dari anak pertamanya-Adi. Apalagi berdua dengan Sangkara yang sangat duplikat suaminya, seperti kembar namun beda usia. Renjana menghembuskan nafasnya gusar, dia kembali duduk di kursi meja makan demi menghilangkan rasa itu. Rasanya kembali ke masa lalu jika dia ditinggalkan dalam waktu lama. 

"Memangnya benar hari ini pulangnya mereka?" tanya Renjana kembali. 

"Tahu tidak bu tapi Sangkara sudah dihubungi kang mas tadi pagi. Tetapi, Sangkara penasaran bagaimana kisah kalian sampai ibu sehari saja tidak bisa berhenti membicarakan bapak," ucap Sangkara mendengus, dia ikut bergabung bersama ibunya di meja dapur. 

Renjana tersenyum penuh arti. Perjalanan mereka sangat panjang, hingga ketika mengingat kejamnya masa lalu membuat Renjana tidak ingin kembali lagi, namun jika diberikan kesempatan untuk membenahi takdir maka Renjana akan membenahinya. Memang masa lalu adalah kenangan, namun kenangan itulah yang membuat menjadi sejarah besar bagi keluarga mereka, menjadi cerita agar bisa diceritakan kepada cucu mereka. Renjana menggelengkan kepalanya, dia menceritakan kisah indahnya saja karena kelamnya masa lalu akan membuat sakit hati terulang kembali. 

"Kisah ibu dan bapak biar beberapa orang saja yang tahu, tapi kalau yang indah indah ibu ceritakan kepadamu sangkara," jawab Renjana.