Banyak orang mengatakan padaku bahwa aku sangat pandai menyembunyikan banyak hal dari orang lain. Aku tahu kok mereka tidak mengutarakan itu sebagai pujian, tapi sindiran. Mungkin itu karena aku selalu nampak terlihat baik-baik saja meskipun banyak hal yang terlintas di kepalaku yang kuhadapi. Bagiku, itu benar. Hampir selalu benar. Aku memang lebih suka menyimpan semua isi hati dan pikiranku untuk diriku sendiri. Bukan karena tak ingin membuat orang lain khawatir, hanya saja aku tidak terlalu suka jika banyak orang yang ikut campur dalam hidupku.
Aku menghembuskan napas pelan beberapa kali untuk menenangkan rasa khawatir yang sedari tadi menggelayutiku. Rasa khawatir itu berkenaan dengan hasil operasi dan keadaan papa selepas operasi. Bagaimana tidak khawatir, kalau sebagai anak tertua aku tidak bisa menemani papa dan justru terjebak dalam dinas kerja di Surabaya tadi? Setelah memastikan bahwa pekerjaanku sudah beres, aku sesegera mungkin kembali ke dan menemani keluargaku. Ini semua karena pekerjaan. Aku harus menemui klien Blossom Wedding Planner, tempatku bekerja, di Surabaya. Kalau saja aku menyampaikan keadaan papa kepada dua wedding planner lainnya, aku yakin mereka akan bersedia menggantikan aku.
Hanya saja, aku tidak bisa. Aku memilih tetap berangkat dan tidak menemani papa. Aku menyerahkan tugas itu kepada Karina, adikku. Rasa khawatir kemudian bercampur dengan gelisah sedikit makin menyesakkan ketika dokter yang melakukan operasi keluar dari ruangan operasi. Karina berjalan mendahului kami semua ke arah si dokter.
“Operasi papa sudah berhasil, Kak.”
Thanks God.
Aku bisa bernapas lega dan seolah lilitan yang membelenggu paru-paruku terbebas ketika Karina mengatakan kalimat penenang itu sebagai pengulangan dari dokter.
Beberapa minggu lalu, Karina, adikku, memberiku kabar yang mengejutkan dan membuatku sedih bersamaan. Papa sakit jantung, ada masalah dengan klep jantungnya dan dia harus dioperasi segera. Aku sengaja tak memberitahu siapapun tentang hal ini, aku tidak ingin merepotkan dan sebaiknya kuberitahu saat semua sudah selesai saja. Hal itu berlaku juga untuk para teman-temanku. Aku sengaja tak memberitahu mereka, itulah mengapa mereka membiarkan aku tetap pergi ke Surabaya tadi.
Meskipun lega karena operasi itu sudah usai, aku masih punya rasa bersalah tak bersamanya saat papa menjalankan operasi karena pekerjaan. Aku tahu hari ini jadwal operasi papa, tapi apa daya aku tidak bisa disampingnya karena harus menggantikan tugas Gita di Surabaya. Kami menerima job mengurus pernikahan anak seorang artis lawas. Karena usia kandungan Gita yang sudah tua, akhirnya aku yang berangkat untuk meeting semenjak kemarin. Kalaupun Gita dan Bella (sahabat serta rekanku yang lainnya) tahu apa yang terjadi dengan papa, aku yakin tugas ini tidak akan dilimpahkan padaku. Bahkan mereka akan menyuruhku cuti dan tinggal di samping papa.
“Kayla?” suara seseorang menghentikan langkahku yang ingin bersama-bersama dengan keluargaku menuju ruang inap papa.
Pangeran, dokter yang menangani papa sekaligus suami dari sahabatku Gita, kaget melihatku disana, tentu saja dia tak menduga bahwa orang yang baru dioperasinya adalah papaku. Aku berhenti dan tersenyum padanya.
“Orang tua kamu?” tanyanya setelah menyapa keluargaku.
“Kenapa nggak cerita?” tanyanya lagi. Dia kemudian menawarkan untuk ngopi dengannya, tentu saja itu hanya alasan untuk ngobrol denganku.
“Nggak enak sama Gita dan Bella. Kalau mereka tahu, pasti mereka larang saya buat kerjain proyek-proyek berat, sedangkan Gita kan udah mau melahirkan, Ran. Kasihan Bella juga kan,” jawabku saat kami akhirnya bisa ngobrol.
Semenjak kandungan Gita masuk trimester ketiga, aku dan Bella mengambil porsi pekerjaan lebih banyak. Ini saja kami sudah kewalahan. Kalau aku tak mengambil job di Surabaya, Bella bisa kelelahan.
“Seharusnya kamu beritahu dia dan Bella. Mungkin mereka bisa menggantikan kamu mendampingi keluarga kamu,” ujar Pangeran.
Aku tersenyum, “Well, saya sudah mengenal mereka belasan tahun, Ran. Saya yakin mereka nggak akan melakukannya. Mereka justru akan memaksa pergi ke Surabaya dan saya di sini.”
Ran ikut tersenyum dan mengangguk. Aku yakin, diam-diam dia setuju dengan dugaanku.
“Baiklah, tapi saya sarankan setelah ini kamu bisa mengurangi pekerjaan. Orang tua kamu membutuhkan kamu. Yah, usia papa kamu sudah senja, penyembuhannya akan lebih lama daripada yang masih muda. Hanya saja, dengan menjaga suasana hatinya selalu tenteram bisa membantu mempercepat penyembuhan.”
Aku mengangguk kecil, “Thanks infonya, Ran.”
Tapi, sepertinya Pangeran tidak mampu menahan diri untuk tidak memberitahu Gita mengenai orang tuaku. Setelah beberapa hari aku meninggalkan pekerjaan, dia dan Bella langsung menyerbuku dengan berbagai pertanyaan dan luapan kekesalan.
“Kenapa nggak bilang sih, Kay? Astaga! Lo anggap gue sama Bella apaan sampai elo rahasiain soal sakit orang tua lo? Masa gue tahunya dari suami gue sih padahal setiap hari kita ketemu?”
Gita menarik napas panjang lagi, “Lo bikin gue nggak enak hati. Harusnya elo disamping papa lo saat itu, ya ampun. Pokoknya lo sekarang udah nggak usah mikir kerjaan, gue aja sama Bella yang mikir soal klien. Kalau perlu lo cuti deh. Ya kan, Be?”
Bella yang sedari tadi menatap Gita ngeri akhirnya berdiri dan menyuruh Gita duduk.
“Gue sayang Kayla. Gue sayang elo. Tapi, gue lebih sayang diri gue, gue nggak mau menodai mata gue dengan lihat elo yang bisa tiba-tiba lahiran disini. Jadi duduk aja ya,” ujar Bella sembari mendorong turun tubuh Gita agar duduk di sofa empuk.
“Tenang aja, operasinya kan udah selesai. Gue bisa fokus kerja kok,” timpalku sambil tersenyum geli melihat kelakuan Bella.
“Ran bilang kalau suasana hati orang tua lo harus didominasi gembira ya biar cepat sembuh?” tanya Gita sambil mengusap perut.
Aku mengangguk kecil.
“Gembira. Apa yang kira-kira bikin bokap lo gembira?” sambar Bella.
Aku terkekeh pelan, “Gua menikah, mungkin?”
Aku mendengar umpatan dan semburan tawa dari keduanya. Entah siapa mengeluarkan yang mana.
“Sedikit banyak gue setuju. Well, mungkin ini juga bisa jadi kesempatan elo mengakhiri masa-masa berkabung soal Ido.”
Aku melirik ke arah Bella setelah mendengar tanggapan Gita, dia menggeleng. Aku yakin pasti Bella tidak terlalu setuju dengan pendapat Gita.
“Pendapat gue nggak penting, sih. Hanya saja, nggak ada salahnya lo pertimbangkan juga mengurangi pekerjaan, Kay. Inget, Kay, duit nggak bisa beli waktu. Mau elo gila-gilaan untuk kerja, duit nggak akan beli waktu.”
Ucapan Bella yang kuyakin adalah upaya menghentikan pembahasan pernikahan mendapat cemoohan dari Gita. Merasa diledek, Bella malah menjulurkan lidah untuk membalas.
“Gue boleh dong kasih pendapat beda,” protesnya.
“Ya, ya, ya.”
Enam tahun lalu aku nyaris menikah dengan pacarku, Ido. Kami sudah menjalin hubungan semenjak kami mahasiswa baru dan merencanakan menikah selepas kami lulus S2. Tapi, bajingan itu malah menipuku. Dia mengatakan bahwa keluarganya mengalami kesulitan ekonomi dan berencana mengambil pinjaman di bank. Saat itu aku tahu bahwa kedua orang tuanya sudah pensiun, sedangkan Ido masih kuliah dan belum menghasilkan uang. Aku pikir kan pada akhirnya kami akan menjadi keluarga, aku pun meminjamkan uang. Aku memberikan uang deposit yang diberikan Papa kepadaku sebesar tiga ratus juta sebelum aku merantau ke Australia, kata Papa uang itu bisa kugunakan untukku menikah kelak atau jika sangat mendesak bisa kupakai untuk hal lainnya. Tanpa sepengetahuan keluargaku aku memberikan uang itu kepada bajingan Ido. Setelahnya, bajingan itu menghilang seolah ditelan bumi.
Aku dibantu Bella dan Gita mengurus penipuan itu, tapi entah mengapa tak ada hasilnya. Aku ingin merelakannya dan berencana menjelaskannya kelak kepada orang tuaku bahwa uang itu dicuri, tapi kejutan datang tanpa kuduga. Adikku Karina hamil dan harus segera menikah dengan pacarnya, Teddy. Karena tidak ada persiapan, orang tuaku berniat meminjam deposit itu maka dari situlah terbongkarlah semua hal yang kusembunyikan mengenai raibnya uang itu. Jangan ditanya bagaimana mengecewakan dan mengesalkannya hal itu.
Karena tak ada uang, pernikahan Karina diadakan sederhana. Aku tahu dia kecewa kepadaku bahkan dia sempat mendiamkanku. Perlahan aku berusaha mengembalikan uang itu kepada orang tuaku meskipun mereka tak pernah memintanya. Aku beralasan uang itu titipan yang akan kuambil aku membutuhkan. Bekerja di Blossom membuatku mampu mengembalikan uang itu lebih cepat dari dugaanku, hanya saja rasa bersalah tak pernah berkurang. Aku merasa sangat bodoh karena tertipu oleh Ido. Aku merasa mengecewakan keluargaku saat itu, saat genting aku tak bisa diandalkan.
***