"Kalau terlahir cakep, mau enggak mandi setahun pun pasti tetap cakep."
—Fatrisia Kedodoran—
***
Kata emak, penghuni baru selalu disambut baik-baik sama penghuni lama, apalagi sama ibu kosnya sendiri. Dijamu makanan atau minuman gitu, bisa juga disambut dengan cara menjelaskan seluk-beluk rumah kos.
Cuma...
Disambut sih disambut, tapi enggak gini juga kali, ya.
Masa Caca jadi bahan ejekan gara-gara nama belakangnya “Semelehoy”. Kan enggak lucu, atuh. Nama itu pemberian dari orangtua, bagian dari doa orangtua untuk anaknya, jadi haram buat dijadikan bahan ejekan. Tapi mau gimana lagi ya, Caca itu orangnya terlalu sabar sampai-sampai dia disukai sama oppa-oppa Korea. Jadi enggak heran, kalau setiap ejekan yang dilontarkan mereka untuknya, serasa seperti masuk dari telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri. Enggak didengerin gitu. Tapi sih aslinya masuk dari telinga turun ke hati.
Jadi gini nih, awal mula ceritanya. Caca lagi pusing kepala barbie buat cari kos-kosan berfasilitas cukup bagus, namun harganya tidak terlalu mahal. Ya, maklumilah. Caca baru saja jadi siswa SMA, berada di kota baru, dan belum dapat pekerjaan. Jadi uang dari mana coba, kalau dia ngekos dengan harga yang lebih mahal dari kolornya Firaun? Bisa-bisa dia jual ginjal buat lunasin kos-kosannya doang.
Setelah perjalanan yang sangat panjang, terik matahari yang membakar kulit, dahaga yang menyesakkan serta panasnya udara yang membuat Caca makin tersiksa. Akhirnya bagaikan pahlawan kesiangan, seorang pemuda dengan senyum janggal minta ditabok, mendatanginya. Ala-ala seperti seorang marketing, dia menawari Caca sebuah tempat kos-kosan.
"Cari kos, Neng?" tanya cowok itu.
Bukan, Bang. Eneng lagi rebus taoge!
Ya kali, dari tadi Caca berputar-putar cuma buat ngerebus taoge.
"Iya Bang," jawab Caca dengan nada yang diupayakan lembut. Ala-ala cewek-cewek manis pada umumnya gitu.
Ada senyum merekah di balik wajah lelaki itu, ia mengulurkan tangannya. "Ben."
Ben? Kayak kartun Ben10 aja.
"Ben? Kamu Ben10 yang bisa berubah-ubah itu ya?” Caca membalas dengan raut wajah polos.
Lelaki di hadapannya hanya dapat melontarkan kerlingan mata jengah, seraya tangannya yang terangkat tadi berpindah menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal. "Maksud gue, nama gue Benny. Panggil aja Ben.”
Caca mengangguk-angguk paham. "Gue Caca."
"Gue udah tau."
"Loh, tapi kan gue belum kenalin nama gue."
"Tadi lo sebut nama lo sendiri, pea," Ben merengutkan dahi. "Gue punya rekomendasi kos-kosan yang mungkin lo suka."
Caca menaikkan sebelah alisnya. "Terus?"
"Biar lebih percaya, mending lo ikut gue."
"Ke mana?"
Ben mendengkus. "Ke tempat kos lah, masa ke kuburan!"
"Berdua doang?"
"Kalau enggak berdua sama siapa lagi?"
"Kata emak, kalau berduaan yang ketiga itu setan."
Ben geleng-geleng kepala. "Iya, setannya itu lo."
Caca mengerucutkan bibir tidak suka. Maksud dia kan enggak gitu. Masa cantik gini dianggap setan. Awas aja, Caca bakal lapor ke emak, biar itu bocah jadi terong penyet habis dilindas kontainer.
Singkat cerita, Ben mengajak Caca ke sebuah rumah sederhana. Enggak sederhana banget sih. Gaya rumahnya minimalis, berlantai dua, dikelilingi halaman yang luas dengan aneka tumbuhan yang rata-rata ditumbuhi oleh pohon jambu, sebelum akhirnya berbatasan dengan lahan tetangga.
"Bocah baru?"
Sebuah suara dari arah belakang, menuntut Caca maupun Ben menghentikan langkah lalu membalikkan badan. Ada tiga gadis berdiri di depan pagar rumah—yang terbuat dari kayu berlapis sulur tanaman yang merambat di sekitarnya—dua di antara mereka membawa tas plastik di masing-masing tangannya.
"Enggak juga sih, belum sah dia." Ben menjawab dengan nada ringan.
Sah-sah, emang Caca mau dinikahin apa? Pakai kata sah segala.
Gadis berbibir tebal bagian bawah—Caca mengira itu bibir habis digetok pakai pucuk high heels, makanya sampai dower gitu—hanya merespons ‘oh' sambil menganggukkan kepala. Ia berjalan melewati Caca dan Ben lalu memasuki rumah. Caca akui gadis itu cukup cantik, kulitnya seputih pualam, memiliki lingkaran hitam di sekitar matanya membuat dia terkesan mengantuk, serta bibir merah merona.
Tapi bukan berarti Caca merasa tersaingi oleh gadis itu. Soalnya emak selalu bilang sama dia, kalau kecantikan perempuan lain bukan berarti kekalahan buatnya
"Buset, lo nyuruh adik gue belanja?" protes Ben.
"Halah, belanja doang. Enggak gue suruh nguli,” sahut gadis itu.
"Kalau lo suruh dia nguli, bakal gue santet online lo!"
"Boro-boro lo santet gue, ada juga gue yang ngibasin lo pakai daun kelor."
"Eh si Onyet, lo kira gue ditempeli setan apa?"
"Bukan, lebih tepatnya, lo itu setannya."
Ben mendengkus keras. "Dasar Nenek Lampir!"
"Makasih lho."
"Sama-sama."
Selanjutnya, Ben jatuh karena cewek itu menamparnya.
Harusnya sih begitu. Tapi bukan Ben namanya kalau enggak berhasil menghindari amukan cewek.
"Mau apa lo? Nampar gue?" Ben tertawa mengejek. "Maaf ya, wajah gue terlalu manis buat lo tampar."
"Wajah tengil kayak lo, lebih pantes dicelupin ke air comberan." Wanita itu mencerca seraya merapikan barang belanjaannya.
"Jangan gitu, nanti kualat lho."
"Pala lo kualat!"
"Fatrisia, cewek enggak boleh ngomong kasar." Ben berujar dengan nada lembut dan penuh perhatian.
"Lo bukan emak gue, Ben."
"Ya kali, gue emak lo. Bisa-bisa gue udah buang elo sejak lo lahir."
"Kampret. Minggat sono!" Gadis bernama Fatrisia itu melemparkan seikat kangkung ke arah Ben, yang ditangkap dengan mudah oleh lelaki itu. Membuat wajah masam gadis itu makin menjadi-jadi. Sementara Ben menyengir tanpa dosa.
"Oh ya, nama lo siapa?" Fatrisia menoleh ke arah Caca yang dari tadi enggak dianggap, didiamin, dianggurin dan dijamurin.
"Caca."
"Nama lengkap maksudnya." Ben mengoreksi.
"Caca Semelehoy."
Semenit belum ada respons, tapi beberapa detik kemudian tawa menggema di ruangan. Dan tawa Ben yang paling membahana dan paling menyebalkan.
Sumpah. Itu mulut enggak pernah disodok pakai sandal apa? Caca jadi yakin, bola tenis saja pasti bisa masuk dengan sempurna ke dalam mulut itu dalam sekali lemparan. Apalagi suaranya itu cempreng namun menggelegar, mengalahkan suara geledek di tengah malam. Sampai-sampai Caca nyaris menjadi salah satu pasien dokter THT.
"Semelehoy? Serius lo?" tanya gadis berambut hitam gelombang.
"Gak," jawab Caca ketus, namun segera melanjutkan perkataannya, "ya kali gue bohong. Lagi pula buat apa coba gue bohong?"
"Semelehoy dari mana lo? Badan enggak berbentuk gitu dikasih nama Semelehoy," ejek Ben disela-sela tawanya.
Wah.
Wah.
Minta ditabok ini bocah.
Disabarin enggak, ya? Emang sih ini bocah ngeselin, cuma kalau Caca marah, bisa-bisa wajahnya jadi keriputan dong. Terus enggak cantik lagi. Terus oppa-oppa koriyah enggak jadi ngajak dia kencan.
Enggak-enggak, enggak boleh sampai kayak gitu. Bisa-bisa popularitas Caca Semelehoy jadi anjlok.
Caca mengibaskan tangannya. "Mumpung gue lagi baik hati, jadi gue maafin lo.”
"Idih, sok banget lo," cibir cewek berambut gelombang itu.
"Halah, gue jadi keingetan lo, Key. Waktu gue ngejek lo gara-gara nama lo ‘Kezya Mandraguna’." Lagi-lagi Ben ketawa.
Lantas, gadis yang dipanggil Key itu menempeleng Ben seraya mengoreksi perkataan lelaki itu. "Kezya Adiguna, geblek!"
"Ngaca dong, Bang. Nama lo aja juga aneh, Benny Nyinyir. Kayak mulut lo, nyinyir!" Kini gadis berkuncir kuda terkekeh kecil.
Ben menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, namun senyum jahil masih tercetak di parasnya. "Kalau dipikir-pikir nama kita aneh-aneh. Nama lo Gita Ayu Badai, padahal cantik aja kagak."
Gadis yang dipanggil Gita menyikut tangan Ben. "Gak usah pakai jujur juga, Bang.”
Ben terkekeh kecil, lalu melanjutkan, "Lo, Fatrisia Kedodoran. Kayak bikini lo aja yang kedodoran."
Fatrisia melotot. “Buset, itu mulut enggak pernah dijejelin garam ya?"
"Jangan atuh Neng, nanti kalau keasinan enggak ada yang bisa nawarin rasa Abang." Ben tersenyum ala om-om mesum.
Ya, mungkin gini ya, teman satu kos yang enggak diragukan lagi otaknya pada miring.
Kalau gini caranya, Caca mau beli panci. Bukan buat masak, justru buat menutupi otak Caca biar enggak ikut miring kayak mereka.
***