Bagi Abim, berbicara dengan kucing terasa jauh lebih menyenangkan dibandingkan saat harus berbicara dengan manusia. Ia sama sekali tidak keberatan dengan pandangan aneh orang-orang kepadanya setiap kali ia berinteraksi dengan kucing-kucing liar yang ada di jalanan.
Abim tersenyum menatap kucing di hadapannya. Kucing berbulu putih dan abu-abu itu tampak lahap memakan makanan kucing yang sengaja dibeli untuk berjaga-jaga jika ia menemukan kucing liar di jalan. Tangannya kembali menuangkan makanan kucing berbentuk dry food saat kucing itu hampir menghabiskan makanannya.
"Makan yang banyak, meng. Malam ini lo harus tidur dalam keadaan perut kenyang."
"Gue tau hidup di jalanan itu berat, meng. Makanya sekarang gue kasih lo makanan enak sebagai bentuk apresiasi karena lo udah mau bertahan menghadapi kerasnya dunia. Lo keren, meng." Abim benar-benar tulus saat mengatakan itu semua. Meski mungkin kucing yang ia ajak bicara tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan, hatinya tetap merasa tenang.
Segala hal tentang kucing selalu berhasil memperbaiki suasana hatinya. Karena bagi Abim, mau sejahat apapun dunia, selama masih ada kucing di hidupnya maka ia akan tetap baik-baik saja.
Pemuda bertubuh tinggi itu melirik jam di tangannya. Ia mendesah kecil. Ternyata malam sudah semakin larut.
Perasaannya sedikit berkecamuk saat mengingat beberapa hal yang akhir-akhir ini selalu memenuhi kepalanya. Ia sungguh tidak menyukai suasana hatinya yang sangat mudah berubah, naik-turun seperti rollercoaster.
Sekali lagi, ia menuangkan semua makanan kucing di tangannya. Setelah memastikan jika sang kucing akan kenyang dengan makanan yang ia berikan, kaki jenjangnya melangkah pergi menuju sebuah motor matic yang terparkir tidak jauh dari tempatnya.
Ia berhenti tepat di depan motor miliknya. Tangannya merogoh saku celana, mengambil sebuah ponsel ber-case hitam. Satu notifikasi masuk membuatnya menghela napas panjang. Ada sedikit perasaan bersalah setiap kali ia membaca pesan dari seseorang itu. Entah sampai kapan dirinya akan bersikap acuh dan memasang tembok pembatas yang terlampau dingin.
Abim sering tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Tentang apa yang ia sukai dan benci pun pemuda itu masih ragu untuk mengungkapkannya. Abim bahkan merasa jika dirinya adalah manusia yang sangat sulit untuk dimengerti bahkan oleh dirinya sendiri.
Sekali lagi, ia membaca pesan yang baru saja masuk beberapa menit yang lalu. Hatinya tidak tenang, sebab perasaan bersalah itu selalu telak menghantamnya.
Bohong kalau Abim bilang jika ia membenci pesan tersebut. Terlalu munafik pula jika ia mengatakan bahwa setiap pesan yang seseorang itu kirimkan tidak mampu membuat hatinya menghangat.
Ah, sepertinya Abim mulai menyadari jika hidupnya memang penuh dengan kebohongan. Semua yang selalu ia tunjukkan pada dunia juga adalah hal yang palsu.
1? => masih dimana, Bim? Papa tadi nyariin lo, tapi gue bilang kalo lo udah tidur
Setelah menenangkan suasana hatinya yang mendadak kacau, ia segera naik ke atas motor matic miliknya. Namun, sebelum benar-benar pergi, Abim kembali melirik kucing jalanan yang masih tampak asik makan. Sesekali kucing itu menggeram kecil di sela kunyahannya.
Abim tersenyum. Setidaknya hal ini sudah cukup untuk membuat hatinya menghangat. Perasaan tidak menyenangkan yang ia rasakan sebelumnya sedikit melebur hanya dengan melihat kucing tersebut.
"Selamat makan, meng. Semoga nanti lo bisa tidur nyenyak," gumamnya sebelum menyalakan mesin motor dan berlalu pergi menuju tempat yang sebenarnya enggan ia sebut sebagai rumah.