Juara 1 oleh Khairunnisa Wulandari
Ritual orang-orang kebon setiap gajian: pasar malam, dan menanggap ludruk. Timbul-tenggelam gending sinom, menjadi pusat medan magnet orang-orang kebon Bandar Betsy yang hampir rata menyelipkan segerawuk(segenggam) uang kertas di sarung atau kemben(kain penutup dada wanita) yang memang sengaja disetrika dengan klimis untuk mengahadiri ritual wajib, pasar malam dan menonton tontonan paling mewah se-Bandar Betsy, pagelaran ludruk.
Laron-laron itu terbang memutar mengelilingi kepala obor yang terpasang di setiap sisi tanah lapang. Keranjingan seperti akan kawin. Sedang pijar merah obor-obor yang mengalahi pijar petromaks kantor afdelling itu, jatuh tepat tegak lurus di tengah garis wajah Yu Narmi yang sibuk membetulkan kemben kelonggaran di tubuhku. Menambah keayuan turunan ibunya. Yu Narmi mengikatkan tayub(selendang penari), memolesi gincu ala kadarnya, dan memasangkan konde yang tampak sangat kebesaran untuk bocah seumurku. Dia juga memakai kemben, tayub, dan konde yang sama persis sepertiku. Hanya saja semuanya tampak pas dan proporsional di badannya yang bersinar langsat. Rampung membetulkan, dia meraih tanganku, membawa tubuhku menghilang bersama tubuhnya di balik kain hitam.
Yu Narmi menyibaknya. Kemudian tersenyum pada orang-orang kebon yang haus hiburan itu. Bukan tidak wajar para kuli nderes(pekerja penyadap getah) itu menanti-nantikan tontonan mewah seperti ini, sebab tak ada suatu apa pun yang layak ditonton di pelosok kebon karet ini. Paling-paling cuma dua tiga nyamuk yang berakrobat di kulit jika sudah menjelang rembang. Dia meliukkan tayub yang bertengger di pinggangnya anggun. Aku mengikutinya, walau tak seanggun liukannya. Di antara cahaya obor yang tak seberapa itu,aku menangkap Mbah Uti dan Ibuk memerhatikanku, sepertinya juga menyorakkan namaku. Seperti orang-orang menyorakkan nama Yu Narmi. Yu Narmi memang primadona. Lesung pipi dan kelihaiannya meliuk-liukkan tayub mampu meluluh-lantakkan iman siapa saja, bahkan seorang guru ngaji sekalipun. Harus dicatat, ludruk bukan ronggeng. Tidak ada acara selip menyelip uang dalam kemben. Maka bukan tabu penari ludruk adalah bocah ingusan yang kurang kerjaan sepertiku. Dari dulu aku memang sangat ingin seperti Yu Narmi, disorakkan namanya oleh orang-orang, memakai konde dan dipolesi gincu. Sekarang aku benar-benar seperti Yu Narmi. Walaupun hanya Ibuk dan Mbah Uti yang menyorakkan namaku.
Aku juga menangkap Yu Laksmi dengan pacarnya duduk di antara kerumunan orang-orang kebon. Dia menunjuk-nunjuk ke arahku sambil sesekali tertawa-tawa dengan pacarnya. Tak heran, aku sudah hafal pola tingkah dua manusia dimabuk kasmaran ini. Hampir tiap hari laki-laki yang bersama Yu Laksmi itu datang ke rumah, sesekali membawa penganan. Tapi aku tidak melihat Bapak. Biasanya beliau tak pernah melewatkan tontonan mewah ini. Tapi kali ini, entah.
Gending sinom usai. Obor-obor sepanjang tanah lapang baru lepas dipadamkan. Para pemain ludruk sedang berkemul sarung dalam rumah masing-masing, berteman secumik lilin atau petromaks.
Konde, tayub, gincu, dan kemben menjelma sepasang kepang, dan belacu yang tertimpa cahaya petromax. Laron-laron mulai menyambangi. Malam itu, wulan hilang karsa menembus dinding-dinding gedhek(dinding anyam bamboo). Pijar merah petromaks juga tak segagah biasanya. Tak bisa menembus keluar dinding-dinding gedhek. Sengaja hanya dihidupkan seperti secumik cahaya lilin yang tak seberapa. Pun dengan jangkrik-jangkrik kebon karet yang biasa menembang lagu-lagu pengantar tidur para kuli kebon karet. Yang kini sedang alpa menembang. Hanya ada suara napas Mbah Uti yang mematah-matahkan sayap laron yang menyambangi petromax kesayangannya.
Di antara suara napas Mbah Uti yang satu dua, aku menangkap suara napas mesin yang tak biasanya menjamah tempat ini. Berat dan kasar. Mbah Uti menghentikan suara napasnya. Memasang kuping dengan saksama. Lekas-lekas dimatikannya petromaks yang hilang kegagahannya itu. Sekarang hanya ada aku, Mbah Uti, dan gelap yang mengunci diri di balik dinding gedhek. Bersamaan, dia menarikku. Membawa tubuhku berada dalam lindungan sepasang lengannya yang keriput.
Sementara napas mesin sudah mati. Tapi, lengan keriput Mbah Uti tidak menunjukkan tanda-tanda pergerakan. Napas mesin tidak lagi terdengar. Berganti huru hara dari luar yang menembus dinding gedhek tempat aku dan Mbah Uti mengunci diri. Juga banyak pekikan kasar dan keras yang mendengung-dengung seperti sarang tawon yang biasa kusambiti dengan kawan-kawan.
"Ono opo nang njobo,Mbah?(Ada apa di luar, Mbah?" tanyaku dalam Ngoko yang mudah dia mengerti.
Bukannya menjawab, Mbah Uti malah meneot(mencubit) betiskku. Menyuruh diam dengan sirat. Aku meringis tertahan, menahan daging betisku yang berdenyut-denyut bekas jawilan Mbah Uti. Belum lagi denyutan di betisku redam, huru hara dari luar itu sekarang semakin dekat, memaksa masuk. Keadaan makin mencekam, waktu lengkingan Ibuk dan Yu Laksmi pecah bersamaan jebolnya pintu gedhek yang tak seberapa itu. Suaraku hampir lepas juga kalau Mbah Uti tidak meneotku untuk kedua kalinya.T idak ada yang tau apa yang sedang terjadi di luar. Juga apa yang sekarang terjadi di dalam gubuk yang sebentar lagi akan rubuh ini. Baik aku maupun Mbah Uti, hanya bisa menebak-nebak. Tidak, mungkin Mbah Uti tau, tapi enggan memberi tau.
"Cepat keluar dan naik! Jangan banyak cengkunek!" Persis seperti apa yang tadi terdengar dari luar.
"Saudara-saudara ini tolong jangan sewenang-wenang menggunakan pangkat saudara untuk menindas kere macam kami! Kami tak tau menau soal rencana kudeta itu!" Suara Bapak tampak tidak seperti kuli nderes saat mengucapkan kalimat itu. Tanpa medok, dan begitu terstruktur. Tak pernah kudengar Bapak mengucapkan kalimat seapik itu.
"Jangan banyak cengkunek kalian! Kalau sudah begini saja semua sembunyi tangan! Tak ada yang mau mengakui dosa!"
"Benar, Ndoro, demi Allah kami tidak tau menau soal kudeta itu. Untuk apa kere macam kami ikut-ikut seperti itu, tak akan membuat kami jadi sugih(kaya).” Kali ini suara Ibuk. Terdengar lebih rendah dan menghaturkan ketakziman.
"Kalau memang tidak bersalah, kalian jelaskan di sana nanti! Jangan mempersulit tugas kami!"
"Kalian semua terlalu banyak cocot!"
"Cepat!"
"Pastikan tak ada lagi yang di dalam!"
Orang-orang itu memekik kasar, menendang-nendang dinding-dinding dan pondasi gedhek yang tak seberapa itu seperti genderuwo kurang sajen. Tak akan pulang sebelum ambruk. Bersyukur orang-orang itu masih memelihara kegoblokannya: tidak membawa penerangan. Sehingga mengunci diri dalam gelap sudah cukup menyelamatkan. Sementara Mbah Uti masih hening, lengannya yang keriput masih tetap mengunciku. Sesekali mengelap air mata yang menganak sungai di mukaku.
***
Tidak ada azan Subuh yang tiap hari dikumandangkan Lek Komar, satu-satunya guru ngaji di kebon karet ini. Entah-entah Lek Komar juga ikut digeruduk oleh para genderuwo kurang sajen itu. Tak tau lagi jika Lek Komar benar digeruduk, mungkin satu-satunya surau di sini akan ambruk dalam tempo dua tiga minggu. Juga anak-anak kuli nderes, mungkin akan lupa caranya membaca iqro dalam tempo sedikit lebih lama. Tak ada yang berani berangkat ke surau lepas serangan para genderuwo kurang sajen itu semalam. Jangankan untuk keluar rumah, menilik jendela pun enggan. Mataku rasanya lengket bekas menangis semalaman.Juga leherku yang kaku bekas tidur dalam dekapan Mbah Uti semalaman. Mbah Uti menyalakan petromaks kesayangannya. Tangannya meraup segerawuk uang kertas yang ia simpan dalam kemben. Mulai menghitung dan merapi-rapikannya, dan menyimpannya lagi kemudian.
Ia menilik keluar dari balik lubang dinding gedhek. Buru-buru menyeretku keluar kemudian, dan menghilang di antara barisan pohon karet. Menyusuri jalan setapak dengan pijar merah petromaks kesayangannya di Subuh yang masih semeruput(terlalu pagi). Kali ini tak ada manusia yang melintasi kebon karet itu kecuali kami subuh itu juga jangkrik-jangkrik yang mulai menembang kembali. Entah sudah berapa jauh Mbah Uti menyeretku menjajaki belantara kebon karet ini. Dari mulai subuh semeruput sampai matahari mulai menilik malu-malu. Mulutku pun entah sudah kali ke berapa merengek tidak jelas. Tapi Mbah Uti tak pernah mengindahkannya. Rupanya ia tak tahan juga melihat cucu kesayangannya ini merengek-rengek sepanjang jalan. Tepat di batas gapura kebon, ia menyuruhku duduk anteng. Sedang dia pergi entah kemana. Aku tak mau banyak bertanya, yang pasti Mbah Uti pasti akan kembali sesegera mungkin. Aku menunggunya sambil memain-mainkan kerikil-kerikil kecil seperti gundu sebelum ia datang membawa dua batang tebu kurus-kurus yang sudah dikuliti. Aku menggerogotinya seperti anak kethek (anak kera) kelaparan, katanya. Belum lagi aku habis menggerogoti tebu-tebu kurus itu, dia sudah menyeretku lagi.
Di depan pekarangan rumah berpagar bambu hijau itu Mbah Uti menghentikan langkahnya. Pucuk dicinta, ulam tiba. Bulek Mariani, menantu Mbah Uti yang paling cantik dan terpelajar keluar menampakkan diri dengan seember pakaian basah yang tak sabar ingin dijemur. Kemudian menyambut kami dengan senyum manis dan lesung pipinya yang menawan. Mempersilakan kami masuk kemudian.
Di dalam, sama saja seperti di rumah orang-orang kebon itu, sepi. Tak ada suara radio yang biasa jika kami berkunjung tak pernah alpa bertugas. Sekarang hanya ada Lek Karnadi yang sedang menyeruput kopi di bawah cahaya petromaks dan Bulek Mar yang kembali menuntaskan kain-kain basahnya. Sementara Mbah Uti berbicara Jawa halus yang tidak aku mengerti artinya dengan Lek Karnadi. Hanya beberapa kecil yang dapat kutangkap.
"Jan kebacut temenan kowe, Ngger. Lali kowe sing nyekolakno kowe sampek dadhi ABRI koyok ngene yo kakangmu karo mbakyu mu!” (Keterlaluan sekali kamu, Nak. Lupa jika yang menyekolahkanmu sampai jadi ABRI seperti sekarang ya mas dan mbakmu!)
Sementara Lek Kar hanya membuang pandangan pada pijaran petromaks. Menerawang cahaya merah yang keluar dari benda itu.
***
Sejak saat itu, Bapak, Ibu, dan Yu Laksmi tak pernah kembali. Juga beberapa orang-orang kebon lainnya yang dibawa paksa oleh para genderuwo kurang sajen malam itu. Meski begitu ada beberapa yang dipulangkan dengan diangkut mobil besar, aku tak tau mobil apa namanya. Kulihat Yu Narmi juga ada di situ. Tapi wajah juga badannya tak lagi semolek waktu itu. Matanya cekung, pun badannya.R ambutnya awut-awutan, seperti seorang baru lepas di kerangkeng, juga memar dan lebam yang menutupi sinar langsat badannya waktu meliuk-liukkan tayub. Dan aku masih tidak tau apa yang terjadi. Hanya belakangan kudengar dari orang-orang, bahwa orang-orang Laskar Merah (organisasi bentukan PKI) sudah diberangus kesemuanya. Dan orang-orang yang dipulangkan tidak terbukti sebagai orang-orang Laskar Merah. Entah siapa orang-orang Laskar Merah itu, aku tidak tau pasti. Tapi kuharap Bapak, Ibuk, dan Yu Laksmi bukan orang-orang Laskar Merah itu, supaya mereka cepat dipulangkan. Aku menunggu mereka setiap hari di batas gapura kebon. Tempat biasa orang-orang yang katanya tidak terbukti sebagai orang Laskar Merah dipulangkan dan diturunkan dari mobil besar. Tapi entah sudah berapa lama, Bapak, Ibuk, dan Yu Laksmi tidak juga dipulangkan.
Sudah pernah kutanya Mbah Uti, apa Bapak, Ibuk, dan Yu Laksmi akan dipulangkan atau tidak. Tapi dia pura-pura tidak dengar dan selalu begitu. Sudah pernah juga kutanya Bulek Mar, dia juga kebingungan dan berbicara ngalor-ngidul yang tidak bisa dijangkau oleh otakku yang hanya setakar canting lilin. Pernah sekali waktu Lek Kar kutanyai tentang orang Laskar Merah juga nasib Bapak, Ibu, dan Yu Laksmi, juga huru-hara malam itu.
Tapi Lek Kar hanya bilang begini,"Makane,mbesuk kowe sekolah sing tenan yo, Nduk. Men ora dikubur kaburi sejarah.” (Makanya, besok kamu sekolah yang benar ya, Nak. Biar tidak dikubur kaburi sejarah.)
Dan sejak itu, malam melaksanakan tugasnya sebagaimana kodratnya setiap hari tanpa mengundang genderuwo-genderuwo kurang sajen itu, yang melalap habis setiap apa yang dijumpainya. Juga tak ada lagi napas mesin yang berat dan kasar membangunkan orang-orang di tengah malam. Juga, orang-orang tak pernah lagi membicarakan Laskar Merah dan kejadian malam itu. Seakan-akan tidak pernah terjadi. Membiarkan sejarah mengubur kaburi huru-hara para genderuwo malam itu.
***