Rasa sakit yang pernah Dana rasakan adalah saat perceraian orangtuanya. Setelah sekian lama ia menghindari masalah perceraian, seperti kumbang yang tiba-tiba hadir menghisap bunga, seperti itulah masalah perpisahan itu datang kepadanya. Bisa menghisapnya.
Dana mengatupkan kelopak matanya. Merasakan betapa masalah ini benar-benar akan membuat pola yang lebih rumit dari sekedar perempuan yang melemparinya dengan telur busuk.
"Dia melakukan KDRT. Sampai bibir saya sobek. Ada bukti visumnya. Dia juga berselingkuh dengan tetangganya. Anakku yang melihatnya bagaimana mereka berduaan."
Dana membuka kelopak matanya. Judit menghela napas panjang. Rekan kerjanya itu tampak mengerti jika masalah ini takkan pernah membuat mereka akan naik dengan cepat. Ia melihat ke arah Dana, lalu memperlihatkan ponselnya. "Penting," katanya dalam bahasa bisu. Namun frame mulut itu sudah cukup membuat Dana mengerti.
Tangani masalah Nyonya Handita, jika berhasil kalian dapat satu poin untuk kembali — Tuan Besar
Dana melirik sinis pada Judit. Hal penting apa yang bisa ia dapatkan dari masalah perceraian? Oh, kecuali perceraian pengusaha ternama dan seorang artis. Karena yang terpenting dari seorang pengacara adalah kemenangan atas kliennya.
"Nyonya Handita tahu firma ini darimana?" Judit berjalan menuju mejanya, meraih tumpukan kertas yang menumpuk di atas mejanya. Lalu kembali pada Handita. "Ini kantor baru."
"Suami saya memakai jasa firma kompetitor kalian. Saya pikir firma kalian akan menunjukkan integritas dalam persaingan."
Judit dan Dana saling melirik. Jawaban akan betapa pentingnya persoalan ini rupanya hanya sekedar persaingan. Dalam bidangnya, Dana tahu bahwa masalah klien bukan arcade dalam permainan. Seberapa besar angka ia dapat, entah ia akan mendapat reward yang berujung naik level atau ia akan tetap pada level tersebut, tetap saja akan selalu ada pihak yang merugi.
Handita mengalirkan cerita permasalahannya. Tidak sekali ia mengeluarkan amarahnya bahkan berbagai macam umpatan kasar yang ditujukan pada suaminya. Judit yang tidak memiliki latar belakang keluarga berantakan lebih mendominasi dalam penanganan Handita.
Sementara Dana memijat pelipisnya. Untuk sampai puncak memang selalu ada halangan dan rintangan. Hambatan yang luar biasa sampai bisa membuatnya turun level. Namun, penghambat ini sungguh di luar kuasanya. Jika dulu ia masih bisa semena-mena dalam memilih kasus, rupanya sekarang ia dipaksa untuk tidak menjadi manusia pemilih. Bahkan memilih rizki untuk dompetnya sendiri. Jika dulu ia selalu mendapat kasus—kebanyakan—pengusaha dan sisanya adalah para pejabat. Kali ini ia harus dipaksakan dengan kasus perceraian receh perihal kekerasan dalam rumah tangga. Andai saja wanita yang bernama Handita ini tahu bagaimana perceraian sebenarnya.
Tepat tiga jam lebih 48 menit, Handita mengusaikan acara curahan permasalahannya. Wanita itu pergi dengan senyum masam yang bisa Dana baca kalau ia merasa tidak puas dengan pelayanannya dan Judit. Dan apa Dana peduli?
Jawabannya tidak.
"Besok kita ke lokasi." Judit membereskan kertas-kertas hasil diskusi dengan Handita. Alis kanannya terangkat kala memperhatikan Dana kembali ke mejanya. "Lo kalau menye gini gimana kita bisa balik, bro?"
Meraih pena yang sempat jatuh di bawah meja, Dana menjawab, "Lo tahu gimana berambisinya gue buat balik. Tapi nggak masalah ini, Bro. That was riddiculous."
Judit mendengus. "Konyol buat lo, nggak buat dia. Bahkan dia punya bukti visumnya, bro. Artinya dia udah siap dengan masalah ini!"
"Ya kenapa dia harus nikahin abusive man gitu? Karena cinta. It just was bullshit word, bro."
Pria yang hari ini mengenakan setelan jas abu-abu gelap itu mengangkat kedua tangannya. "Lo percaya dengan perubahan, kan? Seperti apa yang terjadi sama orangtua lo. Mereka sama."
"Jangan bawa permasalahan keluarga gue."
"Tapi memang karena masalah keluarga lo kan, sampai lo nolak klien kita ini. Karena masalah ini yang ngingetin elo sama keluarga lo."
Dana meraup wajahnya. "Gue nyerah. Lebih baik gue cari klien lain. It's not importent, for me."
"I don't care. Tapi ini kerjaan kita berdua. Dan sudah seharusnya lo profesional."
Dana mengerang. Sudah jelas ia akan kalah dengan permasalahan profesionalitas. Mata-mata di kantor ini lebih tajam. Bukannya ia akan kembali pada level sebelumnya, yang ada poinnya akan semakin menurun. Bisa-bisa ia akan kembali turun level. Lebih-lebih ia akan kembali mengulang pada level dasar. Dana menggeleng tegas. Ia tidak mungkin bisa seperti ini.
"Oke," sentaknya. Sudah pasti kekalahan terbaca jika melihat bagaimana Judit menyeringai licik padanya. "Gue mau. Tapi lo yang bakal ke tempat klien itu."
Mendesah pasrah. Akhirnya Judit memberikan senyum kecut tanda menerima rundingan ini. Setidaknya permasalahan ini akan lebih mudah diselesaikan jika dikerjakan bersama.
***
Keesokan harinya Judit sudah berada di depan rumah yang dialamatkan padanya. Atas nama Handita Fajarwati. Kawasan rumah elit di daerah Griyasanta Eksklusif. Melihat bangunan megah di atasnya membuat Judit membayangkan rumahnya yang ada di Bandung. Masih separuh dari rumah kliennya. Padahal ia merasa yakin jika rumahnya cukup besar.
Rupanya Dana serius dengan ketidak hadirannya. Pria itu memberinya pesan sedang menuju tempat biro perjalanan. Salah satu klien yang menuntut biro jasa perjalanan umroh dan haji. Sementara Judit tahu bahwa Pradana hanya menghindari tentang masalah mengorek informasi.
Melangkah besar menuju gerbang yang terbuat dari kayu dengan warna plitur coklat gelap, Judit mengetuk dengan mengadukan besi dan gembok gerbang. Tangannya yang lain meraba permukaan gerbang. Halus dan tampak kokoh. Jelas ini pesan di bukan sembarang tempat.
Pintu dibuka dengan sosok wanita yang usianya tidak jauh beda darinya. "Madosi sinten, Mas?"*¹ tanyanya dengan bahasa Jawa yang super kental dan sangat tak dimengertinya.
"Bu Handitanya, ada?" Judit menekankan pertanyaannya berharap sang asisten rumah tangga Handita mengerti bahwa maksudnya untuk menggunakan bahasa Indonesia. Dia tersenyum kecut kala wanita itu menyipitkan matanya.
"Bahasa Indonesia aja," imbuh Judit.
Dia mengangguk malu. "Ibunya masih belum datange, Mas," ujarnya kali ini dengan Bahasa Indonesia medok.
Judit melihat jam pada pergelangan tangannya. "Kemarin saya disuruh datang jam segini."
Wanita itu mengerutkan kening, lalu tersenyum sembari membuka gerbang lebih lebar. "Mari masuk. Mas pengacara kan, ya?" Senyumnya semakin lebar ketika Judit memberinya anggukan. "Ibu titip pesan suruh tunggu. Mobilnya ndak dimasukkan, Mas?"
Gerbang itu kembali dikunci setelah Judit memarkirkan mobilnya di carport yang kosong. Kira-kira jika dihitung, carport itu bisa menampung sekitar 6 mobil atau 7 mobil jika kebanyakan semua mobilnya berjenis Brio. Asisten rumah tangga yang baru diketahui namanya Aminah itu mempersilahkan masuk menuju ke dalam bagian rumah.
Rumah Handita memang benar-benar besar. Ketika ia memasuki ruang tamunya saja sudah seperti masuki aula hotel bergengsi. Seberapa kaya sebenarnya kliennya ini?
"Ini sih klien kelas kakap," batinnya.
Seorang anak kecil datang menghampirinya. Matanya mengkalkulasi sosok Judit yang tengah berdiri di hadapannya.
"Ini Mas Alexander, Mas. Putranya Ibuk." Aminah tersenyum ramah sambil merangkul pundak Alexander. Meminta sang anak laki-laki yang usianya berkisar sepuluh atau sebelas tahun itu. "Salim sek sama temannya Mami, le."*²
Alexander maju dengan menjabat dan mencium punggung tangan Judit. "Siang, Om," tambahnya, disertai senyum yang memperlihatkan jajaran gigi susunya.
Selepas perkenalan basa-basi itu, Alexander berpamitan padanya — entah untuk pergi kemana. Sementara Aminah berpamitan untuk membuatkannya minum. Tetapi tidak membutuhkan waktu lama untuk Aminah memnyuguhinya dengan secangkir kopi dan camilan yang berada dalam toples-toples kecil.
"Monggoh, Mas. Dinikmati."*³
"Makasih Mbak." Judit menghidu kopi buatan Aminah. Sangat nikmat. "Aromanya enak," ujarnya sopan.
Aminah hanya tetsenyum sambil membuka toples kue yang berisi sus kering dan pritzel. "Silahkan, Mas."
Judit berterimakasih sekali lagi dengan sungkan. Ia meraih satu buah pritzel. "Mbak, kalau boleh saya nanya, Alexander itu usianya berapa, ya?"
"Saya ndak tahu jelase e Mas. Cuma ya, Mas Al masih kelas 4 sd. Kata ibuk, Mas Al telat sekolahnya," jelas Aminah, masih menggunakan logat Jawanya.
Mungkin perkiraan Judit benar. Bahwa usia Alexander berkisar 10 tahunan.
Suara klakson mobil mengisyaratkan Aminah untuk bangkit. Wanita itu berpamitan pada Judit dan mengatakan kalau kemungkinan Nyonya Handita sudah datang. Judit meraih ponselnya, dan mengetikkan pesan untuk Pradana.
Anaknya Bu Handita masih sd, fyi.
Suara pintu utama terbuka. Tampak Aminah kembali datang sambil tersenyum padanya. Di belakangnya ada seorang gadis yang masih memakai seragam sekolah putih abu-abu. Dia tampak terkejut ketika matanya berserobok dengan manik mata Judit. Judit tahu bahwa gadis itu bukan memperhatikannya. Tapi memperhatikan penampilannya.
"Mbak El, ini Mas Judit. Temannya Mami. Ndak salim dulu?"*⁴ ujar Aminah.
Entah mengapa Judit merasa senang melihat sosok Aminah. Wanita itu tahu betul bagaimana mengajarkan nilai kesopanan kepada anak-anak majikannya. Dan yang membuat Judit kagum adalah ketika anak-anak majikannya menurut padanya selayaknya seorang anak patuh dengan perintah orangtua.
Daniella, Om," kata gadis itu, seraya tersenyum singkat dan menjabat tangan Judit. "Teman Mami darimana?"
Judit hendak menjawab, namun Aminah menyela lebih dulu. "Teman Mami luar kantor, Mbak."
Seolah ucapan Aminah adalah benar. Ella kembali tersenyum, dia berkata, "Silahkan dinikmati, Om. Saya masuk dulu."
Sepeninggal Daniella, Judit memperhatikan Aminah yang masih mengawasi gadis itu pergi sampai menghilang dari pandangannya menuju rumah bagian dalam. Wanita itu kembali menatap sosok Judit. "Mohon maaf saya menyela, Mas. Anak-anak masih belum tahu masalah orangtuanya."
Judit membenarkan. Namun siapa yang tahu. Akhir-akhir ini orang berselingkuh juga pandai dalam menyembunyikan etikatnya. Kalaupun sudah ketahuan, mereka sudah tak lagi memiliki urat malu.
"Mbak, saya boleh tanya?"
Aminah memandang Judit dari tempatnya berdiri. Sejujurnya, Aminah tahu bahwa ini bukan urusannya. Perasaan gamang menyelimuti dirinya. Pikirannya meracau antara boleh atau tidak.
Judit menatap wanita itu menghela napas panjang. Ia bisa menebak bahwa ada keraguan dalam keputusannya . "Kalau Mbak Aminah keberatan. Saya tidak memaksa."
"Ndak gitu Mas. Saya cuma takut ikut campur e."
Judit tersenyum maklum. "Saya rasa tidak Mbak. Saya cuma mau tanya bapaknya ke mana?"
"Kerja, Mas. Bapak kan tentara, Mas. Masih dinas. Sabtu sama minggu baru di rumah."
"Dinas di mana?"
"Surabaya setahu saya — eh, sepertinya ibuk pulang. Saya bukain pintu dulu." Aminah gegas pergi menuju luar rumah ketika mendengar klakson mobil. Dalam hati ia bersyukur bahwa pengacara sewaan majikannya tidak menanyainya lebih jauh. Bagaimanapun ia takut.
***
*¹ "Mencari siapa, Mas?"
*² "Salaman dulu sama temannya Mami, nak (laki-laki)"
*³ Silahkan
*⁴ Tidak salaman dulu