Senja dan Renjana

Senja dan Renjana

Mada Elliana

0

"Kamu...?” Mata itu lekat menatap Senja. Dan waktu seakan berhenti bergerak.

Senja tahu kalau lelaki di depannya itu pasti terkejut. Sama seperti dirinya. Tak pernah menyangka akan melihat Renjana kembali.

Untuk beberapa detik, hening hadir di antara mereka berdua. Tiba-tiba saja kepingan demi kepingan cerita kita menyeret memori Senja kembali pada masa lebih dari dua puluh tahun lalu. Senja, Renjana, serta kisah mereka yang tak pernah menemui titik.

"Apa kabar?" Senja berusaha menata hati agar tetap terlihat tenang. Rasa itu, bahagia itu, jelas tak boleh kasat mata.

"Baik. Maaf karena tadi aku benar-benar kaget. Tak pernah menyangka kalau akan bertemu kamu di sini." Jana masih memandang wajah manis Senja. Membuat Senja sedikit salah tingkah dan tak tahu harus melakukan apa.

"Duduklah. Kamu bisa menikmati semua kopi yang kamu suka." Akhirnya Senja memilih untuk mempersilakan Jana duduk. Senja masih mengingat dengan sangat jelas bahwa kopi dan Jana adalah dua sisi yang tak akan terpisah.

“Sepertinya di sana terlihat nyaman.” Jana menunjuk kursi di sudut ruangan. Tempat favoritmu belum berubah rupanya. Batin Senja. Saat mereka masih memakai putih abu-abu, Jana kerap memilih bangku di sudut ruangan.

Senja mengekor di belakang Jana menuju tempat yang Jana tunjuk. Mereka duduk berhadapan. Seingat Senja, itu kali pertama mereka duduk saling berhadapan. Biasanya mereka selalu saja duduk bersisian.

"Apakah kamu sering ke sini?" Rasa penasaran terpancar jelas di mata Jana.

"Kalau boleh sedikit sombong, akulah pemilik Kuki Kupi ini." Jawab Senja.

"Wow... Ini sungguh kejutan luar biasa. Dan, kamu memilih kopi?"

Senja tertegun. Haruskah Senja menjawab jujur pertanyaan itu? Renjana. Ya, Janalah alasan utama Senja memilih kopi. Jana tentunya tahu, hati bisa saja berpaling, tapi rasa tak akan pernah berkhianat. Kopi adalah cara Senja mencintai Jana. Dulu dan sekarang. Senja meyakini, aroma dan cita rasa kopi akan menuntun hati Jana untuk datang ke sini.

“Hei, kenapa malah diam?” Pertanyaan Jana cukup untuk membuyarkan lamunan Senja.

“Sori.” Senja menjawab singkat.

“Kenapa memilih kopi?” Jana mengulang pertanyaannya.

“Tidak ada alasan spesifik. Aku hanya berpikir kalau semua orang pasti suka minum kopi.” Kilah Senja. Padahal sejujurnya Senja ingin menjawab bahwa Senja jatuh cinta pada kopi karena Jana. Tapi tentu saja Senja tidak memiliki keberanian untuk mengucapkannya. Pun, Senja tak punya nyali untuk menunjukkan betapa senangnya dia bertemu dengan Jana.

“Aku pikir, kamu membuka Kuki Kupi ini karena aku. Wah, aku sudah ge-er tadi.” Senyum terukir di bibir Jana. Senyum yang sama seperti ketika mereka berpisah di Apotek Enggal dulu.

“Kamu mau kopi hitam tanpa gula?” Senja mencoba mengalihkan obrolan.

“Wah, ternyata kamu masih ingat kopi kesukaanku.” Ada pijar bahagia yang terlihat jelas di mata Jana.

“Sebentar, aku buatkan kopimu dulu.” Senja beranjak meninggalkan Jana. Sekelebat ingatan menemani langkah Senja.

Jana hadir tiba-tiba. Tepat ketika Senja ingin menikmati kembali latte yang tersaji depan mata. Jana dan kopi hadir tanpa bisa sedikitpun Senja usir. Kopi hitam. Kadang tanpa gula sama sekali. Tentu saja latte yang sering Senja minum tak bisa dibandingkan dengan kopi tubruk yang selalu Jana nikmati sepenuh hati.

“Mengapa kopi hitam?” Senja sempat bertanya penasaran.

“Tak perlu ribet dengan berbagai aturan atau cara penyajian. Menikmati kopi hitam sama saja dengan belajar kehidupan. Bisa jadi kita merasakan pahit, ada getirnya juga, tapi selalu manis di akhir penantian. Cobalah sesekali kamu minum kopi tanpa campuran sedikitpun.” Pinta Jana.

“Pahit.” Spontan Senja memberikan jawaban.

“Kamu jangan selalu fokus pada rasa pahitnya. Buat lidahmu lebih peka. Nikmati secara perlahan tiap tegukan. Pasti ada terselip rasa manis di kopi hitammu. Kopi tak perlu dipikirkan dengan berbagai teori. Cukup dinikmati dengan hati.” Jana memberikan gambaran.

Mungkin seperti menikmati kamu. Pikir Senja saat itu.

'Rasa'nya kepada Jana tak pernah bisa dipahami oleh semua inderanya. Entah apa yang saat ini Senja rasakan. Masih ada cintakah? Seingat Senja, dia dan Jana tak pernah saling bicara jujur mengenai perasaan ini. Senja hanya menebak dan beberapa kali salah menafsirkan semuanya.

***