Semua Punya Cerita

Semua Punya Cerita

Hana Shana

0

Gadis berambut ikal sepungung itu tidak pernah melepaskan benda berbentuk oval dengan pegangan kayu sejak dia dapatkan dari toko aksesoris. Perempuan yang kerap disapa Nina itu terus memandangi pantulan wajahnya pada cermin tersebut. Senyuman manis bertengger di wajah bulatnya. Dia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Sebuah cermin dengan bentuk yang sama persis dengan kepunyaan Ratu, tetangganya.

“Dia pikir perempuan cantik di kampung ini cuma dia saja? Aku yang lebih cantik dari dia,” gerutu Nina sambil merapikan anak rambut. Pandangannya tidak beralih dari cermin.

Persaingan tersirat itu bermula ketika Ratu dan Nina sering dianggap sepantaran oleh para tetangga. Padahal usia Nina tiga tahun lebih muda dibanding Ratu. Nina tidak terima mereka disebut sepantaran. Itu sama saja dia seakan tampak tua dibanding Ratu.

Pujian para tetangganya yang sering menyebut Ratu awet muda dan imut membuat hati Nina panas. Belum lagi gadis itu tidak tahan menyaksikan senyum manis Ratu yang tampak seperti dibuat-buat. Satu hal lagi yang menambah daftar ketidaksukaan Nina pada Ratu ialah perempuan itu mempunyai cermin berbingkai kayu yang sejak dulu dia idam-idamkan. Nina sering meminta ibunya untuk membelikan cermin tersebut, tetapi sang Ibu menolak dengan alasan jangan membeli barang yang tidak dibutuhkan.

Nina butuh benda tersebut. Maka dia kembali merengek pada ibunya untuk dibelikan cermin yang serupa dengan Ratu. Dengan cermin yang dia punya saat ini, Nina ingin menunjukkan kepada warga kampung bahwa dia pantas menjadi gadis tercantik di kampungnya, bukan Ratu. Kini, gadis itu sedang duduk santai di teras rumahnya, asyik memulaskan bedak di muka.

Perempuan itu menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan. “Ah, sepertinya cukup.”

Nina lalu mengambil kuas kecil, mengoleskannya pada petak-petak kecil beraneka warna dari kotak riasnya. Kemudian dia sapukan kuas tersebut pada kedua kelopak matanya. Dia ulangi hingga beberapa kali. Lagi, dia menoleh ke kanan dan kiri bergantian. Selanjutnya dia mengeluarkan gincu dari saku bajunya. Warnanya merah terang. Secara pasti Nina mengoleskan benda itu di bibir mungilnya. Gadis itu tersenyum puas menatap pantulan wajahnya di cermin. Sempurna. Kini dirinya terlihat cantik.

Sehari-hari kesibukan Nina hanya memoles wajah serta duduk di teras depan rumahnya sambil menanti orang lewat. Terkadang dia berlagak menyiram tanaman di halaman agar orang lain yang melintas di depan rumahnya melihat keberadaan Nina lalu memuji penampilannya. Benar saja, banyak orang mulai takjub melihat penampilannya. Sekarang ada gadis baru lagi yang bisa dipuji orang-orang selain Ratu, yaitu Nina. Beberapa pemuda tanggung juga sering mondar-mandir di hadapan Nina untuk memandangi wajahnya. Berikutnya mereka mulai berani mengajak gadis itu mengobrol, beberapa ada yang berani merayunya. Tidak masalah. Nina senang diperlakukan seperti itu. Dirinya menjadi pujaan banyak orang. Memangnya hanya Ratu saja yang bisa mendapatkan pujian.

Hari demi hari berganti. Tak puas mendapat pujian dari warga sekitar kampung, Nina jadi sering berjalan-jalan di pasar. Karena dia tahu di pasar tidak hanya ada orang kampungnya saja, tetapi juga ada orang-orang dari kampung lain. Ya, gadis itu ingin mendapat lebih banyak perhatian dan pujian. Semakin banyak kepala yang menoleh kepadanya. Seperti halnya pagi ini, Nina sudah berkeliling di pasar bersama cermin yang hampir tak pernah dia tinggalkan. Dia kembali melirik tampilannya meski dua menit yang lalu sudah dia lakukan.

Di akhir pekan begini, suasana pasar terlihat lebih ramai daripada hari-hari biasa. Banyak orang berlalu lalang. Di deretan penjual kue-kue, Nina asyik mengamati jajanan yang tampak lezat. Hingga bunyi barang pecah menyadarkannya. Itu adalah cermin genggamnya, tersenggol orang yang melintas dan kacanya sudah retak. Nina menjerit histeris. Dia sibuk mencari siapa orang yang berani merusak cerminnya, tapi tidak ketemu. Terlalu banyak orang di sekitarnya.

Segera dia pungut cermin retaknya dan berlari pulang ke rumah. Tangisnya tidak berhenti sejak dari pasar hingga tiba di rumah.

“Lain kali jangan bawa cermin kalau keluar. Pakai saja untuk di rumah,” kata ibunya.

“Ibu tidak mengerti! Aku bawa cermin ke mana pun pergi supaya orang-orang memujiku cantik. Sekarang cerminku pecah, aku harus bagaimana?” Raungan Nina semakin keras.

Tangisannya mereda setelah sang Ibu bersedia membelikannya cermin baru dengan bentuk yang sama. Namun malang, cermin dengan model yang sama sudah tidak ada lagi di pasaran. Dicari di mana pun tidak dapat. Bertambah marahlah Nina karena tak ingin kalah saing dengan Ratu. Akhirnya segala jenis model dan bentuk cermin Nina beli. Semua saku baju terusannya terisi dengan cermin beserta bedak. Cermin lamanya tetap menjadi yang favorit. Entah kenapa, bagi gadis itu berkaca di cermin retak makin membuatnya terlihat cantik. Kini Nina semakin sering berdandan. Riasan wajahnya makin heboh. Makin banyak orang yang memanggilnya gadis cantik bila berpapasan dengannya. Sementara di belakang Nina, orang-orang menyebutnya gadis gila.