Semua Bisa GIla
Oktonawa
Gue itu anak ke 5 dari 6 saudara. Anak pertama Cewe, ke-dua Cowok, ke-tiga Cewek, ke-empat Cowok. Selang-seling gitu deh, bisa ditebak kan anak nomor 5 Cowo atau Cewe. Dan tepat sekali. . . Gue Cowok, adik bungsu gue itu cewek. Ya, gue sukses merusak pola selang-seling yang sudah nyokap-bokap rencanakan sejak mereka jatuh cinta pada pandangan pertama dulu. Saling berkenalan dan akhirnya menjalin asmara ala telenovela.
Dahulu kala ketika zaman permen Yosan.
Waktu gue masih SD, gue punya peliharaan kucing orange jantan yang diberi nama Cemong. Gue tuh penyayang kucing banget pokoknya, sangking sayangnya gue sama kucing, gue tidur bareng, makan bareng, main bareng, sampe mandi bareng. Maksudnya gue paksa tuh mandi kucing, walau dia menolak seperti orang yang dipaksa masuk ke rumah sakit jiwa. Dimata kucing, khususnya Cemong, mungkin gue ga se-so sweet itu. Hal yang sering gue lakuin pas lagi main bareng cemong adalah naikin dia di atas lemari. Cemong berteriak histeris ketakutan, bingung harus turun lewat mana, akhirnya dia melompat.
Brakk'
Mendarat sukses di lantai dengan tersiksa.
Hal itu terus gue lakuin sampai kakak gue masuk ke kamar dan bilang.
"Bloon lu Tom"
Bukan cuma itu, gue juga sering banget iseng ketika Cemong lagi tidur. Gue akan menyentil buah zakarnya, gue sih nyebutnya biji relep(Bacanya dibalik). Kalu udah gitu, dia pasti kaget, dan langsung lompat dengan berteriak histeris..
"Meooong"
Selang beberapa detik dia pergi dengan tatapan penuh arti.
"Untung aja ga ada cewe-cewe kucing yang melihat, habis sudah reputasi ku kalau itu terjadi" Mungkin itu yang Cemong pikirkan, ketika dia menatap gue seolah kesal dan marah.
Namun, itu semua belum seberapa, hal gila yang ga jarang gue lakuin adalah melempar Cemong ke kolam ikan di halaman samping rumah. Ralat, lebih tepatnya empang.
Sejak saat itu, gelar penyayang kucing resmi gue sematkan secara pribadi atas pencapain dan prestasi gue. Yang sukses membuat Cemong mundur alon-alon ketika ketemu gue.
"Mau diapain lagi Cemong Tom?" Tanya nyokap saat melihat gue keluar rumah menggendong Cemong secara diam-diam.
Kok Mama bisa liat sih, Padahal gue udah mode ninja" Pikir gue dalam hati, yang saat itu sedang menggunakan sarung yang menutupi sekujur tubuh kecuali bagian mata, Ala Ninja.
"Enggak kok ma, Cuma mau main ninja-ninjaan" Ucapku cepat namun gelagap.
Nyokap menatap gue dengan alis terangkat satu, menggeleng, lalu berucap,
"Ya Allah nih anak" Ucap nyokap gregetan.
Kalu udah gitu, Selanjutnya adalah moment yang paling mengesankan dalam hidup gue. Nyokap punya kekuatan ajaib yang menurut gue dulu adalah jurus mematikan dari nyokap.
Cubitan Maut. . .
Jurus itu sukses membuat gue merasakan arti kehidupan yang dialami oleh anak tiri.
"Kak, gue anak kandung Mama kan?" Tanya gue pilu dalam sisa tangisan karena sakit dari jurus nyokap tersebut.
Kakak menatap gue tajam, penasaran dan bertanya,
"Kok nanya gitu?"
"Kok gue sering banget dicubit mama ampe merah lebam gini?" Gue balik bertanya.
Kakak gue tertawa lepas, gue cuma bisa diam dengan harap-harap cemas. Apakah bener gue anak tiri? Pertanyaan yang selalu merasuki pikiran gue.
"Ya enggalah, Lo itu anak kandung mama, cuma lo kelewat nakal aja makanya sering kena cubit" Ucap kakak gue masih dengan tawanya.
"Apa iya?"
"Loh, ya udah tanya aja Papa kalu ga percaya"
Tanya Papa? Udah gila kali" Pikir gue kala itu.
Bokap Seorang guru mata pelajaran Antropologi di jaman itu, sedangkan Bokap lulusan Sarjana ilmu politik. Apa nyambung?
Bokap terkenal killer, sayangnya killernya dia bukan cuma di sekolah, tapi juga di rumah. Tegas, galak, suka marah dan ya suka main tangan. Eits, ini tunggu dulu. di jaman itu masih lumrah orang tua main tangan ga seperti jaman sekarang. Jangankan orang tua, guru sekolah, guru ngaji juga suka main tangan kalau murid didiknya bandel dan nakal bukan main. Jikalau kita ngadu sama orang tua, yang ada bukannya dibelain tapi ditambahin. Uniknya, anak-anak di jaman itu ga cengeng seperti sekarang.
Ga, gue mau nanya itu ke Bokap. Gue tanya aja sama kakak sulung gue. Jawaban kakak gue nomor tiga ini ga membuat gue puas mendengarnya.
Kakak sulung gue lagi masak bantuin Nyokap, sudah ganti baju seragam tapi masih pakai rok abu-abu SMA.
"Kak kak, Kakak tau ga gue ini anak kandung mama apa bukan?" Ucap gue berbisik, karena takut Nyokap denger.
Dia diem sesaat, mencoba mencerna apa yang barusan gue bisikan.
"Ma, masa Tomi nanya gini."
"Nanya apa?" Tanya Nyokap
"Dia anak kandung Mama bukan? gitu mah" Ucap lemez kakak gue, yang bikin gue jadi jengkel dan benci sama dia.
Mendengar itu, gue lari tunggang langgang ga karuan. Mereka cuma menatap geli tingkah anak umur 7 tahun tersebut.
Bodo amatlah, gue anak siapa kek, anak Nyokap kek, anak tiri kek atau mungkin anak orang tajir melintir yang kehilangan anaknya saat di rumah sakit" Pikiran gila gue yang sering nimbrung saat Nyokap lagi nonton Sinetron.
*_*
Sore hari yang ga ceria, suara burung gereja yang sungguh tidak memanjakan telinga. Gue bergegas ke kamar mandi, bukan kebelet pipis atau boker. Gue mau mandi, dan harus mode kilat.
Jebur, jebur, jebur, Tiga gayung terhujam deras ke arah tubuh gue.
Ga perlu sabunan, sikat gigi juga ga usah" Pikir gue saat itu.
Sesaat kemudian gue sudah siap dengan seragam sekolah yang melekat berantakan di tubuh mungil gue. Lengkap dengan rambut yang acak-acak kan dan muka bengep karena tidur yang kelamaan.
Gue keluar kamar, dan menuju pintu samping rumah. Matahari bersinar cerah dari sudut bawah cakrawala.
"Mau kemana Tom?" Ucap seorang bocah seumuran gue, lewat sambil menarik mobilan truk di belakangnya.
Sesaat gue mencoba mencerna,
Ya mau sekolahlah, tapi kok dia malah main sih, bukannya ini sudah jam.. . " Gue melirik jam dinding yang terpasang tepat di atas TV ruangan keluarga.
Jam 5 lewat 5"
Wait, Kok jam 5 udah terang banget ya?" Batin gue saat itu.
"Subhanallah Tomiiiiii" Suara nyaring Nyokap memisahkan gue yang sedang bergelut hebat dengan otak, tentang permasalahan kenapa jam 5 sudah terang.
"Mau sekolah? Ini sore Goblok bukan pagi"
Jedar. . . . Tiba-tiba suara petir terdengar kuat di telinga gue. Suara petir dari kenyataan tolol yang gue lakuin. Cuma gue yang bisa denger suara petir itu. Gue berdiri gagu, tanpa bisa berbicara.
Anjirrrr. . . Udah anak tiri, bloon lagi" Pekik gue dalam hati.
Kejadian itu, sukses membuat keluarga besar gue tertawa bahagia di obrolan singkat saat makan malam. Lebih tepatnya tawa mereka, dan duka bagi gue.
Gue itu anak ke 5 dari 6 saudara. Anak pertama Cewe, ke-dua Cowok, ke-tiga Cewek, ke-empat Cowok. Selang-seling gitu deh, bisa ditebak kan anak nomor 5 Cowo atau Cewe. Dan tepat sekali. . . Gue Cowok, adik bungsu gue itu cewek. Ya, gue sukses merusak pola selang-seling yang sudah nyokap-bokap rencanakan sejak mereka jatuh cinta pada pandangan pertama dulu. Saling berkenalan dan akhirnya menjalin asmara ala telenovela.
Dahulu kala ketika zaman permen Yosan.
Waktu gue masih SD, gue punya peliharaan kucing orange jantan yang diberi nama Cemong. Gue tuh penyayang kucing banget pokoknya, sangking sayangnya gue sama kucing, gue tidur bareng, makan bareng, main bareng, sampe mandi bareng. Maksudnya gue paksa tuh mandi kucing, walau dia menolak seperti orang yang dipaksa masuk ke rumah sakit jiwa. Dimata kucing, khususnya Cemong, mungkin gue ga se-so sweet itu. Hal yang sering gue lakuin pas lagi main bareng cemong adalah naikin dia di atas lemari. Cemong berteriak histeris ketakutan, bingung harus turun lewat mana, akhirnya dia melompat.
Brakk'
Mendarat sukses di lantai dengan tersiksa.
Hal itu terus gue lakuin sampai kakak gue masuk ke kamar dan bilang.
"Bloon lu Tom"
Bukan cuma itu, gue juga sering banget iseng ketika Cemong lagi tidur. Gue akan menyentil buah zakarnya, gue sih nyebutnya biji relep(Bacanya dibalik). Kalu udah gitu, dia pasti kaget, dan langsung lompat dengan berteriak histeris..
"Meooong"
Selang beberapa detik dia pergi dengan tatapan penuh arti.
"Untung aja ga ada cewe-cewe kucing yang melihat, habis sudah reputasi ku kalau itu terjadi" Mungkin itu yang Cemong pikirkan, ketika dia menatap gue seolah kesal dan marah.
Namun, itu semua belum seberapa, hal gila yang ga jarang gue lakuin adalah melempar Cemong ke kolam ikan di halaman samping rumah. Ralat, lebih tepatnya empang.
Sejak saat itu, gelar penyayang kucing resmi gue sematkan secara pribadi atas pencapain dan prestasi gue. Yang sukses membuat Cemong mundur alon-alon ketika ketemu gue.
"Mau diapain lagi Cemong Tom?" Tanya nyokap saat melihat gue keluar rumah menggendong Cemong secara diam-diam.
Kok Mama bisa liat sih, Padahal gue udah mode ninja" Pikir gue dalam hati, yang saat itu sedang menggunakan sarung yang menutupi sekujur tubuh kecuali bagian mata, Ala Ninja.
"Enggak kok ma, Cuma mau main ninja-ninjaan" Ucapku cepat namun gelagap.
Nyokap menatap gue dengan alis terangkat satu, menggeleng, lalu berucap,
"Ya Allah nih anak" Ucap nyokap gregetan.
Kalu udah gitu, Selanjutnya adalah moment yang paling mengesankan dalam hidup gue. Nyokap punya kekuatan ajaib yang menurut gue dulu adalah jurus mematikan dari nyokap.
Cubitan Maut. . .
Jurus itu sukses membuat gue merasakan arti kehidupan yang dialami oleh anak tiri.
"Kak, gue anak kandung Mama kan?" Tanya gue pilu dalam sisa tangisan karena sakit dari jurus nyokap tersebut.
Kakak menatap gue tajam, penasaran dan bertanya,
"Kok nanya gitu?"
"Kok gue sering banget dicubit mama ampe merah lebam gini?" Gue balik bertanya.
Kakak gue tertawa lepas, gue cuma bisa diam dengan harap-harap cemas. Apakah bener gue anak tiri? Pertanyaan yang selalu merasuki pikiran gue.
"Ya enggalah, Lo itu anak kandung mama, cuma lo kelewat nakal aja makanya sering kena cubit" Ucap kakak gue masih dengan tawanya.
"Apa iya?"
"Loh, ya udah tanya aja Papa kalu ga percaya"
Tanya Papa? Udah gila kali" Pikir gue kala itu.
Bokap Seorang guru mata pelajaran Antropologi di jaman itu, sedangkan Bokap lulusan Sarjana ilmu politik. Apa nyambung?
Bokap terkenal killer, sayangnya killernya dia bukan cuma di sekolah, tapi juga di rumah. Tegas, galak, suka marah dan ya suka main tangan. Eits, ini tunggu dulu. di jaman itu masih lumrah orang tua main tangan ga seperti jaman sekarang. Jangankan orang tua, guru sekolah, guru ngaji juga suka main tangan kalau murid didiknya bandel dan nakal bukan main. Jikalau kita ngadu sama orang tua, yang ada bukannya dibelain tapi ditambahin. Uniknya, anak-anak di jaman itu ga cengeng seperti sekarang.
Ga, gue mau nanya itu ke Bokap. Gue tanya aja sama kakak sulung gue. Jawaban kakak gue nomor tiga ini ga membuat gue puas mendengarnya.
Kakak sulung gue lagi masak bantuin Nyokap, sudah ganti baju seragam tapi masih pakai rok abu-abu SMA.
"Kak kak, Kakak tau ga gue ini anak kandung mama apa bukan?" Ucap gue berbisik, karena takut Nyokap denger.
Dia diem sesaat, mencoba mencerna apa yang barusan gue bisikan.
"Ma, masa Tomi nanya gini."
"Nanya apa?" Tanya Nyokap
"Dia anak kandung Mama bukan? gitu mah" Ucap lemez kakak gue, yang bikin gue jadi jengkel dan benci sama dia.
Mendengar itu, gue lari tunggang langgang ga karuan. Mereka cuma menatap geli tingkah anak umur 7 tahun tersebut.
Bodo amatlah, gue anak siapa kek, anak Nyokap kek, anak tiri kek atau mungkin anak orang tajir melintir yang kehilangan anaknya saat di rumah sakit" Pikiran gila gue yang sering nimbrung saat Nyokap lagi nonton Sinetron.
*_*
Sore hari yang ga ceria, suara burung gereja yang sungguh tidak memanjakan telinga. Gue bergegas ke kamar mandi, bukan kebelet pipis atau boker. Gue mau mandi, dan harus mode kilat.
Jebur, jebur, jebur, Tiga gayung terhujam deras ke arah tubuh gue.
Ga perlu sabunan, sikat gigi juga ga usah" Pikir gue saat itu.
Sesaat kemudian gue sudah siap dengan seragam sekolah yang melekat berantakan di tubuh mungil gue. Lengkap dengan rambut yang acak-acak kan dan muka bengep karena tidur yang kelamaan.
Gue keluar kamar, dan menuju pintu samping rumah. Matahari bersinar cerah dari sudut bawah cakrawala.
"Mau kemana Tom?" Ucap seorang bocah seumuran gue, lewat sambil menarik mobilan truk di belakangnya.
Sesaat gue mencoba mencerna,
Ya mau sekolahlah, tapi kok dia malah main sih, bukannya ini sudah jam.. . " Gue melirik jam dinding yang terpasang tepat di atas TV ruangan keluarga.
Jam 5 lewat 5"
Wait, Kok jam 5 udah terang banget ya?" Batin gue saat itu.
"Subhanallah Tomiiiiii" Suara nyaring Nyokap memisahkan gue yang sedang bergelut hebat dengan otak, tentang permasalahan kenapa jam 5 sudah terang.
"Mau sekolah? Ini sore Goblok bukan pagi"
Jedar. . . . Tiba-tiba suara petir terdengar kuat di telinga gue. Suara petir dari kenyataan tolol yang gue lakuin. Cuma gue yang bisa denger suara petir itu. Gue berdiri gagu, tanpa bisa berbicara.
Anjirrrr. . . Udah anak tiri, bloon lagi" Pekik gue dalam hati.
Kejadian itu, sukses membuat keluarga besar gue tertawa bahagia di obrolan singkat saat makan malam. Lebih tepatnya tawa mereka, dan duka bagi gue.