“Hallo… Kak, gimana kuliah mu disana? Ibu rindu kak”
Kalimat terakhir yang ku dengar seminggu sebelum Ibu pergi untuk selamanya. Ibu wafat pada 26 Desember 2004 pukul 10.00 malam. Pada hari itu aku sedang persiapan menuju sidang proposal untuk melaksanakan KKN di bidang kesehatan daerah Sulawesi. Malam hari aku sangat gelisah, tanpa berpikir akan ada hal buruk yang akan menimpaku keesokkan harinya. Aku rasa gelisah karena akan melakukan sidang besok.
“Kenapa ya, sudah pukul 2 dini hari aku masih belum mengantuk. Aku telepon Ibu saja kali ya untuk cerita?”
Karena setiap gelisah, aku memilih untuk cerita ke Ibu. Jadi pukul 2 dini hari pun aku hubungi Ibu yang ada di rumah.
“Hallo, Ibu… Ibu sudah tidurkah?” tanya Aku pada Ibu.
“Hallo kak, belum ko. Ibu baru saja selesai mengaji. Ada apa kak? Kok belum tidur?” jawab Ibu dengan suara sedikit lelah.
“Gak tahu bu, rasanya gelisah sekali. Besokkan aku sidang proposal bu. Kalau selesai sidang nanti aku pulang dulu ya bu. Semoga sidang ku lancar, dan langsung di Acc dosen. Aamiin…” jawab aku meminta doa dari Ibu.
“Iya kak, Ibu selalu do’akan yang terbaik untuk kamu disana. Jaga kesehatan, jangan lupa berdo’a ya. Yaudah coba tenangin diri dan berdo’a untuk kelancaran besok ya.” Jawab Ibu sambil menenangkan kegelisahan aku.
“Oke Ibu.. Ibu sehat ya di sana, jangan terlalu capek ya Bu. Nanti siapa yang aku ajak cerita kalau aku gelisah gini kalau sakit.” Jawab aku sembari bergurau.
“Iya kak, Ibu sehat ko di sini. Kalau pun gak ada Ibu nanti, kan masih ada sajadah untuk kamu cerita.” Ibu menjawab dengan agak aneh.
“Ih Ibu, emang bener sih. Tapikan gak gitu juga Bu, aku kan ingin selalu Ibu ada saat aku sukses nanti. Pokoknya Ibu harus selalu sehat dan panjang umur ya Bu. Dah Ibu…”
Ku tutup telepon bersama Ibu dan aku lakukan yang diperintahkan Ibu untuk berdo’a sebelum tidur. Aku rasa hanya sekedar perasaan gelisah karena esok sidang proposal. Dan ku usahakan untuk istirahat.
Pukul 07.00 aku sudah berada di kampus, karena jadwal sidang proposal berlangsung pukul 07.30. Persiapan sudah matang untuk menjelaskan tujuan ku nanti di depan dosen. Perasaan yakin untuk Acc proposal hari itu pun sangat besar, karena do’a Ibu yang menguatkan aku dalam segala hal.
“Ola, kamu jadwal sidang hari ini?” tanya Abi teman seangkatan aku yang beda kelas.
“Iya nih Bi. Kamu hari ini juga ada sidang?” jawab aku dengan sedikit grogi.
“Betul la, aku dapat jadwal pukul 09.00 nanti. Semoga lancar ya sidangnya.” Ujar Abi sambil memberi senyum dan semangat kepada aku.
“Oh, iya Bi. Semangat juga ya, semoga kita diberi kelancaran dalam segala hal. Aamiin!” jawab aku dengan jantung yang berdegup cepat.
Abi itu adalah anak yang pendiam, tapi dia rajin dan selalu mendapatkan nilai bagus di kelasnya. Dosen pun mengenal dia dengan baik, banyak wanita yang mengaguminya. Makanya aku merasa gugup ketika dia menyapa aku.
Waktu pun menunjukkan pukul 07.30, saatnya aku bersiap memasuki ruangan sidang. Yang dimana ada 2 dosen penguji, 1 dosen pembimbing dan 4 orang rekan seangkatan yang hadir dalam sidang proposal ku.
“Baik pak, alasan saya memilih lokasi di daerah Sulawesi yaitu karena menurut hasil referensi yang saya dapat, tingkat masalah kesehatan terhadap perempuan sangat tinggi. Apalagi pada masalah kesehatan rahim di sana.” menjawab pertanyaan dari Bapak dosen penguji ke 2.
Pada saat sidang berlangsung, handphone pun aku mode hening. Ternyata selama sidang itu berlangsung, adik ku menelepon terus menerus. Sampai 30 kali ada panggilan tak terjawab masuk. Karena sidang berlangsung 45 menit, dengan banyak pertimbangan dari para dosen. Akhirnya proposal yang aku ajukkan, mendapat persetujuan dan hanya sedikit yang harus aku perbaiki.
“Dek, ada apa telepon? Aku habis sidang proposal di kampus. Maaf jadi gak ke angkat ya.” Pesan singkat ku kirim pada adikku di rumah.
“Kak, udah selesaikan sidangnya? Kakak pulang ya, Ibu mau ketemu.” Balasan dari adikku yang tiba-tiba menyuruh ku pulang. Padahal baru saja semalam aku menelepon Ibu.
“Oke, kakak beresin dulu ya dokumennya ke dosen kakak. Baru kakak pulang ya sampaikan ke Ibu.” Balas aku dengan rasa khawatir.
“Kalau bisa, hari ini ya kak. Kakak datang ke Rumah Sakit Umum ini ya.” Balas adikku dengan singkat.
“Loh, kok di RSUD dek?” tanya aku tanpa ada balasan lagi dari adikku.
Aku pun langsung buru-buru untuk pulang ke kostan merapikan barang-barangku. Tapi saat aku terburu-buru, tiba-tiba Abi menghampiri aku.
“La, kenapa? Kok buru-buru banget. Mau kemana?” tanya Abi
“Aku barusan di hubungi adikku, katanya aku harus pulang. Ibu masuk rumah sakit Bi.” Jawab aku pada Abi.
“Sekarang banget La?” singkat Abi.
“Iya Bi, aku khawatir ada hal gak beres nih. Aku pulang dulu ya.” Jawab kepada Abi dengan tergesa-gesa.
“Ola, aku antar saja ya. Kebetulan sidang aku sudah selesai juga.” Jawab Abi sambil mengajak aku bareng.
“Oh, gitu Bi. Maaf ya kalau merepotkan.”
Kami pun bergegas ke kostan dan bersiap-siap untuk ke RSUD. Abi mengantarkan aku sampai ke RSUD, karena dari kostan ke RSUD lumayan memakan waktu kurang lebih 3,5 jam perjalanan.
Sesampainya di RSUD, aku pun langsung turun dari mobil untuk menemukan nama pasien yaitu Ibu Nur Halimah. Dan benar ternyata, Ibu sudah berbaring di ruang ICU. Menggunakan alat-alat yang membuat aku sangat takut kehilangan Ibu. Aku gak pernah tahu apa yang Ibu rasakan. Pantas saja semalam Ibu terdengar sangat lelah.
“Bu, ayo bangun. Ola di sini, katanya Ibu mau ketemu. Ayo Bu sadar, aku sudah selesai sidang Bu, aku di Acc sama para dosen.” Ujar aku sambil menangis dari luar menatap ke Ibu.
Suara dari mesin EKG membuat hatiku tidak karuan. Semakin lambat, tiba-tiba semakin cepat.
“Ya Tuhan, Ibu kenapa? Kenapa dia sekarang di sana. Aku mohon sadarkan Ibu Tuhan.” Dalam hatiku berdo’a untuk Ibu.
Setiap jam aku melihat Ibu, memeluk adikku. Melihat Bapak yang terus menatap ke Ibu. Sesekali aku teringat, bagaimana Ibu merawatku. Mendidikku sampai aku tumbuh menjadi seperti ini. Ibu yang selalu ingin terlihat baik-baik saja, padahal selama ini Ibu menyimpan sakit yang tidak kami ketahui.
Tidak lama Abi menghampiriku, yang aku kira Abi langsung pulang begitu saja. Ternyata dia menunggu ku dari kejauhan.
“La, sabar ya. Diminum, habis ini kita berdo’a ya. Semoga Tuhan berikan keajaiban untuk Ibu kamu.” Ujar Abi sambil memberikan minum kepada ku.
“Loh Bi, maaf ya.. Aku kira kamu sudah pulang. Makasih ya Bi, untuk semua ini.” Jawab aku sambil menahan tangis.
Pukul 09.55 terdengar suara alat EKG yang berbunyi lambat, dan menjadi sangat lambat. Bapak pun tiba-tiba terbangun, dan langsung melihat kondisi Ibu. Para perawat dan dokter berdatangan ke tempat tidur Ibu. Dokter mengeluarkan alat pacu jantung untuk Ibu. 3 kali sudah dokter lakukan, namun Tuhan berkata lain. Tepat 10 malam, Ibu tidur untuk selamanya. Tanpa pamit kepada kami. Hancur rasanya semua harapan yang sudah aku rencanakan. Aku tanpa Ibu, apa yang harus aku lakukan. Bapak menangis di samping Ibu, adikku terdiam sembari melamun di depan pintu. Ini seperti mimpi bagiku, Tuhan merencanakan tanpa kita ketahui.
Pagi 27 Desember 2004, di pemakaman umum kami antar ke rumah peristirahatan terakhir Ibu. Ibu cantik sekali, dengan senyum dan wajah yang bersinar. Setiap yang berjiwa pasti akan mati. Tuhan sudah menetapkan itu sebelum diberikan jiwa pada raga yang akan menjalani kehidupan. Bapak berhenti menangis, tapi tatapannya yang begitu kosong membuat aku harus memeluknya. Adinda yang ku kira diam, ternyata hamper kehilangan kesadaran saat Ibu akan di kebumikan. Aku berusaha kuat, tanpa ada yang menopang. Padahal aku pun sangat hancur, sangat ingin dipeluk. Keadaan membuat aku menjadi wanita yang harus kuat.
“Bu, bahagia ya di sana. Semoga Tuhan ijinkan kita bertemu lagi di ruang dan waktu yang sama nanti. Sekarang ruang dan waktu kita berbeda. Tak bisa lagi aku sentuh tanganmu, tak bisa lagi aku dengar suara mu. Bu, siapa yang akan buatkan mie instan kesukaan aku? Dari sekian banyak warung, hanya tangan Ibu yang selalu membuat masakan apapun menjadi enak. Bu, apa aku kuat untuk melanjutkan rencanaku?”
Tak lama terdengar suara Abi memanggil dari kejauhan
“Ola, kuat ya. Tuhan pasti punya rencana yang jauh lebih baik buat kamu dan keluarga. Ibu hanya perlu dido’akan ya. Aku pun ikut merasakan kehilangan.”
“Makasih ya Bi, sudah hadir di sini.” Jawab aku yang berusaha kuat.
Satu bulan sudah kepergian Ibu, tapi aku masih merenungkan semuanya. Proposal yang harusnya aku perbaiki, namun tak kunjung ku buka. Seakan hilang semuanya, harapan dan rencana yang sudah aku buat buyar. Aku tak tahu harus memulai darimana. Bapak yang sudah perlahan mulai bangkit, Adinda yang semakin hari mulai menjadi anak yang dewasa. Aku tidak pernah tahu, mungkin di belakangku mereka menangis dan terpuruk. Aku pun harus bangkit, harus bisa melanjutkan semuanya. Untuk kebahagian mereka yang sekarang aku punya.