“Nuri, kurasa kita nggak akan bertemu lagi di musim semi.” Bukannya terdengar sendu, malah nada riang yang kutangkap dari suara merdu Kim Se Ra. Sesekali ia akan bersenandung setiap kali menatap langit musim gugur.
Aku melirik perempuan berwajah pucat yang sepanjang setahun ini selalu kutemukan duduk-duduk menemani waktuku bekerja paruh waktu di Jang Man Geum Hanok, sebuah rumah tradisional korea yang disewakan pemiliknya sebagai penginapan. Ia setia menyambut kedatanganku, dengan jeogori (Hanbok bagian atas bagi perempuan) merah pucat yang ia kombinasikan bersama chima (rok untuk Hanbok perempuan) biru gelap. Sementara rambutnya selalu digelung sederhana dan ditusuk dengan hiasan kayu ukir berbentuk burung. Ia selalu tampil dengan balutan yang sama.
Tampilan Kim Se Ra yang sungguh senada dengan suasana di Jang Man Geum Hanok, lebih mirip dengan wanita Korea Selatan sekitar tahun 1970-an yang mengunjungi Hanok untuk berfoto. Ya … bisa dibilang, setiap aku datang ke mari, seolah aku sedang diajak syuting drama korea bertema sageuk (drama Korea bertema sejarah), dan dirinya nggak pernah absen kutemui. Sehingga aku nggak pernah merasa takut lagi padanya.
“Eodigaseyo (mau ke mana), Eonni (Kak)?” tanyaku pelan sambil menyelesaikan mengepel sudut lantai di dekat taman tengah.
Entahlah. Aku ingat betul, Kim Se Ra, perempuan berusia sekitar 30 tahunan jika kuperhatikan dari wajahnya ini, sering memberiku peringatan setiap kali akan ada sesuatu. Biasanya ia memberi pesan dengan nada murung. Kali ini ….
“Pulanglah, Nuri.” Ia berpindah, membantuku merapikan peralatan bersih-bersih di gudang.
“Iya, sebentar lagi.”
“Kembalilah ke negeri asalmu. Ibumu pasti sangat rindu.”
Hufth. Kenapa lagi-lagi ia menyinggung keenggananku untuk kembali ke Jakarta? Susah sekali sih memahami alasanku untuk berada di sini. Memangnya kenapa kalau aku nggak ada niatan untuk pulang? Hhh ….
Sudah lebih dari empat tahun aku menyembunyikan diriku di Seoul, ah … rasanya bahkan sebentar lagi mencapai lima tahun. Tepatnya, sejak aku berhasil mendapatkan beasiswa untuk menjadi pelajar internasional di salah satu Godeunghakgyo (sekolah menengah setara SMA di Korea Selatan) jurusan sains. Bukan karena aku pintar sebenarnya, tapi ... mungkin memang inilah kesempatan yang kudapatkan atas doa-doaku. Memijakkan kaki di Korea Selatan adalah pelarian berkedok pencapaian yang sangat aku syukuri.
Maka, ketika menemukan kesempatan lainnya untuk tetap berada di sini, mana mau aku menolaknya. Jadilah, selepas dari Godeunghakgyo, aku meneruskan jenjang pendidikanku dengan beasiswa selanjutnya. Lalu, demi mempunyai pemasukan rutin selain dari menjual foto di situs penjualan foto daring, aku memilih menghabiskan waktuku di sini.
Rupanya, sejak menjadi bagian yang mengurusi kenyamanan para tamu di Jang Man Geum Hanok, aku menemukan sosok hangat yang hatiku rindukan, Ibu Jang Mi Ra. Sejak pertama kali bekerja padanya lalu mulai sering dianggap sebagai putrinya, ia sering membuatkanku sekotak Bungeoppang, kue berbentuk ikan berisi selai kacang merah, sebagai bekal sebelum aku kembali ke kampus, selepas menghabiskan waktu siangku untuk merapikan kamar, membersihkan seluruh Jang Man Geum Hanok, sebelum tamu-tamu berdatangan.
“Bagaimana nilai kuliahmu akan bagus kalau makanmu nggak pernah kenyang.” Ibu Jang Mi Ra selalu mengucapkan petuah yang sama, disertai dengan elusan pelannya di pundakku. Senyumnya merekah.
Ya. Di sinilah tempatnya, tempat dimana aku punya banyak sekali alasan untuk menunda-nunda membalas e-mail juga chat dari kedua kakak lelakiku, terutama dari Mama. Aku juga punya ribuan alibi, walaupun sudah memasuki masa libur musim dingin maupun musim panas, dimana kebanyakan dari teman-teman sesama Indonesia memanfaatkan waktu libur semester untuk pulang.
Aku menolak mengikuti kebiasaan. Enggan. Aku risih harus berpura-pura merasa disayangi sepenuh hati, padahal aku sulit sekali merasainya. Keluargaku, sudah lama tak utuh lagi. Hal yang akan selalu aku benci hingga mati.
“Nuri, pulanglah. Tamu-tamu akan segera tiba. Langkah mereka sudah mendekat.” Suara Kim Se Ra menggema di seluruh Jang Man Geum Hanok.
Bergegas aku meraih tas punggungku, memakai sepatu asal-asalan, merapikan rambut panjangku sekenanya, lalu mengacak kode gembok, seperti yang biasa kulakukan setiap menyelesaikan tugasku di sana, sebelum menutup pintu. Maklum saja, Jang Man Geum Hanok ini merupakan penginapan self service. Tetamu yang datang melakukan segala sesuatu yang ia butuhkan sendiri.
Benar saja, ketika aku sudah sedikit menjauh dari Jang Man Geum Hanok, empat orang berpakaian santai berkerumun di depan gerbang. Mereka pasti calon penyewa hari ini.
Aku berjongkok sebentar untuk mengikat tali sepatuku dengan benar. Kemudian, Ibu Jang Mi Ra berdiri menyejajariku. Ia sedikit membungkuk untuk mengelus punggung dan merapikan rambutku. Mungkin ia sedang ingin mengintip tamu-tamunya yang baru saja tiba.
“Kamu sudah makan siang?” Tanpa menungguku menjawabinya saat bangkit, tas kecil berisi sekotak Bungeoppang sudah berpindah dari tangannya ke tanganku. “Bawalah.”
Ibu Jang Mi Ra masuk kembali ke rumah makan kecil yang dikelola orang seorang wanita paruh baya, seusia Ibu Jang, teman masa kecilnya. Ia memang sering sekali berkunjung ke sana.
Kunyalakan kembali kamera ponselku. Langkahku tak jarang berhenti agak lama, mengumpulkan potret apa saja yang kutemukan di jalan menuju halte bus yang akan membawaku kembali ke kampus. Aroma gurih manis Bungeoppang tercium dari tas tangan yang kubawa. Berbaur dengan wangi pertengahan musim gugur dan udara dinginnya yang mulai menyapa, pertanda musim dingin sudah tak sabar mengganti rupa Seoul yang sedang dipenuhi warna jingga.
***
Senja dengan langit nan abu-abu menggelayuti kawasan Ikseon-dong. Butiran salju pertama turun tipis. Kuperbaiki syal hijau pudar yang melilit leherku. Jalanku kuperlambat saat mulai menapaki gang kecil yang membawaku menuju Jang Man Geum Hanok. Selain khawatir terpeleset oleh tumpukan salju, aku pun ingin mengabadikan potret salju yang jatuh perlahan di bagian atap beberapa hanok yang kulewati. Foto ini akan laris manis diburu, biasanya.
Orang-orang terlihat gembira dan berduyun-duyun keluar memenuhi jalanan di sepanjang Ikseon-dong, dengan pakaian tebal. Penghujung musim gugur ingin mereka rayakan dengan berjalan-jalan, memunggu salju pertama datang. Benar saja, sepanjang kakiku menjejaki pedestrian sekitaran Pojangmacha, beberapa warung tenda yang menyajikan Bungeoppang, disesaki pembeli. Mereka berduyun-duyun ingin menghangatkan sore dengan menyantap kue manis gurih hangat itu sambil bertukar cerita.
“Nuri.” Ibu Jang Mi Ra berlari-lari kecil menyambut kedatanganku. Wajahnya merona. Persis seorang ibu yang gembira saat menunggui anaknya pulang dari perantauan.
Ibu Jang Mi Ra nggak memiliki anak. Walau sangat menginginkannya, ia lebih memilih untuk mengasuh anak-anak dari saudara tirinya saja. Ya … mungkin karena ia adalah anak dari istri kedua ayahnya. Sayangnya, bukannya disayangi, dulu hidupnya dan ibunya menderita oleh siksaan dari sang istri tua. Begitulah sepotong kisah yang aku tahu. Selain ucapan anehnya tentang, “kelak aku akan pulang bersama dengan ibuku” yang sama sekali nggak pernah bisa kupahami maksudnya.
“Masuklah. Ibu sudah menyiapkan Sundubu Jjigae hangat untukmu.”
Sejak malam kemarin, ia memang mencariku. Tapi belakangan aku menemukan rona yang lain di matanya. Entah bagaimana aku menggambarkannya. Setiap bertemu, ia akan menyambutku dengan keceriaan yang meluap-luap, lalu saat aku pamit pulang, kutemukan matanya berkaca-kaca.
Keanehan lainnya. Sudah dua minggu ini, Ibu Jang Mi Ra menolak kedatangan tamu mana pun. Ia bahkan menempati hanok milik keluarganya ini seorang diri, padahal ia bisa saja kembali pulang ke rumahnya yang nggak jauh dari sini.
Kim Se Ra hanya duduk tenang di pojokan. Menatapku dengan pandangan teduh. Wajah pucatnya makin terlihat sendu setiap kali bertatapan tanpa sengaja dengan aku yang sudah duduk menghadap Ibu Jang di meja makan rendah, di tengah ruangan. Salju makin lebat di luar sana. Halaman tengah Jang Man Geum Hanok mulai tampak memutih.
“Nuri …,” sepotong besar tahu sutera sudah mendarat dalam mangkok porselen putih yang Ibu Jang letakkan di hadapanku, “semoga Sundubu Jjigae ini akan membuatmu selalu mengingat Ibu.” Suaranya teduh. “Makanlah.” Ia lekas menyorongkan sendok sup padaku.
Tanpa menunggu, kulahap habis sajiannya. Hangat gurih terasa di lidah. Aroma kaldu ayam menguar setiap kali kuahnya kuseruput pelan.
Kudapati Ibu Jang tersenyum melihat tingkahku. Sesekali tangannya akan lincah menyuapiku dengan potongan daging ayam berbumbu sedikit pedas. Matanya menatapku penuh sayang. Seketika itu pula, hatiku turut menghangat.
Seusai makan, ia membiarkan aku bersandar di pundaknya. Tangannya dengan nyaman membelai rambut hitam panjangku. Sesekali ia bersenandung pelan, sembari menatap ke luar jendela. Malam sudah datang, dan hujan salju baru mereda.
“Nuri, bukankah banyak mahasiswa dari negerimu yang memilih pulang untuk merayakan Tahun Baru? Kamu nggak merindukan ibumu?”
Aku memperbaiki posisi dudukku. Wajahku kini tertunduk.
Ya. Aku terkadang rindu pada Mama dan kakak-kakakku. Tapi, jika aku pulang pun, nggak akan ada lagi yang membuatku merasa nyaman. Seisi rumah di sana penuh sesak oleh kenangan akan masa-masa Mama berteriak memaki Papa. Mengolok kegagalan bisnisnya. Lalu bersungut-sungut marah atas kemalangan dirinya yang mendadak harus menjadi tulang punggung keluarga dengan tiga anak yang butuh banyak biaya, seakan ia wanita paling malang di dunia. Makiannya menetap, memenuhi kamar tidurku, hingga ke ruang makan, dan ruang tamu.
Dulu, Papa sering mengunjungi kamarku setiap malam. Ia akan sibuk menggunggah hasil foto yang ia tangkap hari itu. Ya … Papa lah yang dulu berinisiatif membuat akun di salah satu platform penjualan foto, dan membuatnya atas namaku. Ia selalu berkata, bagaimana pun hidupku kelak, ia ingin mengajari aku untuk tetap tangguh, dan tak bergantung sepenuhnya pada laki-laki, walau nantinya aku akan menikah. Ia berpetuah agar aku tumbuh mandiri, mampu tetap berpijak di atas kakiku sendiri.
Sesak dadaku tiap kali mengingat semuanya. Belum lagi kenyataan bahwa Mama lebih memilih punya keluarga baru, sepeninggal Papa. Payahnya, kakak-kakakku seolah menahan sedihnya sendiri-sendiri dan ikut meninggalkan aku. Jadi, rasanya aku pun nggak punya alasan untuk pulang.
“Nuri, selepas musim dingin, Jang Man Geum Hanok bukan jadi milik Ibu lagi.”
Aku mengangkat wajahku, mencari kejujuran di manik mata Ibu Jang.
“Mulai besok dan seterusnya, jika kamu kemari, maka kamu akan datang sebagai tamu.” Ia menghela napas lagi. Matanya yang berkaca-kaca, kutemukan lagi. “Hari makin malam. Ibu khawatir kalau akan terlalu larut untukmu sampai di rumahmu. Pulanglah, Nak.”
Aku tak berani membantah. Lekas aku pamit setelah menandaskan air dalam gelas bening yang ada di hadapanku.
“Bawalah. Semoga kamu sehat selalu dan tumbuh sebagai gadis cerdas yang cantik.” Sebuah tas tangan yang menguarkan aroma manis Bungeoppang ia sodorkan saat aku berdiri di depan pintu, bersiap untuk memakai sepatu.
“Terima kasih, Bu.”
“Makanlah yang cukup. Menabunglah. Temukan lelaki yang baik. Jaga selalu dirimu baik-baik.” Pesannya. Kudapati air mata yang meleleh jatuh dari pelupuknya yang mungil. “Nuri, Ibu akan selalu menyayangimu.”
Ibu Jang menemaniku hingga ke pintu gerbang. Kim Se Ra yang berjalan di belakangnya, mendadak melewati tubuh Ibu Jang untuk memelukku. Dalam dekapan dan tepukan lembutnya di punggungku, kurasakan tubuh Kim Se Ra yang sedingin salju.
“Aku sangat menyayangimu, Nuri,” bisiknya.
Malam itu, kutinggalkan Jang Man Geum Hanok dengan perasaan campur aduk. Gemerlap suasana Ikseon-dong seolah berkebalikan dengan perasaanku.
***
Pagi datang dengan salju yang melebat. Sebuah kabar duka dikirimkan langsung oleh teman masa kecil Ibu Jang, wanita yang mengelola rumah makan tak jauh dari Jang Man Geum Hanok.
Langkahku terseok-seok menuju rumah duka di kawasan Ikseon-dong. Tak kupedulikan tatapan kasihan dari orang-orang yang kutemui sepanjang perjalanan. Kubiarkan air mataku mengalir dalam diam. Isakku tertahan.
Ibu Jang Mi Ra berpulang dalam kesendiriannya di Jang Man Geum Hanok. Tepat saat salju turun semakin lebat menjelang tengah malam. Argh … rupanya ini yang Kim Se Ra ingin sampaikan padaku.
Orang-orang yang berpakaian hitam berkerumun, sesekali mengusap air mata dengan tangan. Aroma dupa berseliweran di hidungku. Saat akan memberikan hormat perpisahan, kutemukan Kim Se Ra dan hanboknya yang kini kelihatan berwarna merah segar. Di sampingnya, Ibu Jang yang wajahnya kini sepucat Kim Se Ra, duduk bersila dengan senyum merekah. Keduanya melambai padaku yang duduk berlutut tersedu-sedu.
“Pulanglah, temui ibumu, Nuri. Ia pasti sangat rindu.” Suara Ibu Jang terdengar lembut. “Lihat, sekarang Ibu pun sudah bersama dengan ibuku.” Senyumnya merekah.
Aku mengangguk dengan dada yang makin sesak terasa.
“Nuri, kami sangat menyayangimu.” Kini suara Kim Se Ra memenuhi seluruh ruangan.
Saat kuangkat kepalaku, dan menoleh ke arah keduanya, mereka melambaikan tangan. Bayangan Kim Se Ra dan Ibu Jang Mi Ra memudar. Aroma wangi Bungeoppang menyeruak memenuhi ruangan. Baru kusadari, wajah keduanya sangat serupa.
SELESAI
***