Pemirsa sebentar lagi kita akan ketemu Sam Sang Penyihir. Jangan ganti Chanel dan stay tune di Golite. Ikuti kami, tim Gosip Elit, dan dapatkan berita terkini, terupdate dari dunia selebriti. Muahh
Golite, Gosip Elit
Sebuah konferensi pers sedang berlangsung di aula hotel berbintang lima. Kurang lebih dua ratus wartawan duduk menempati kursi hitam empuk yang berjajar rapi. Aktivitas mencatat, memotret, dan merekam memenuhi ruangan itu. Suara riuh wartawan yang terdengar seperti dengungan lebah berhenti seketika begitu sang selebriti muncul. Seorang pria, dengan tubuh tidak terlalu tinggi tapi cukup tegap, melangkah mantap. Seperti kebanyakan orang terkenal lainnya, ia menggunakan kaca mata hitam.
Jepretan lampu blitz berbagai warna menyilaukan mata. Semua berupaya mengambil gambar terbaik. Lihatlah. Bahkan untuk duduk pun dia menggerakkan pinggulnya dengan gaya memesona. Seakan setiap inci tubuhnya sudah diatur agar tampak menarik, sempurna. Senyum lembut yang baru ia tunjukkan bahkan membuat beberapa orang menahan napas. Mereka seperti rela mati demi garis bibir itu. Ya. Mereka memang wartawan. Sejauh tidak ada larangan bagi wartawan untuk menjadi penggemar.
Satu per satu wartawan mulai bertanya mengenai launching single terbaru pria berambut hitam legam itu. Kapan acaranya? Siapa model video clip yang akan shooting bersamanya? Serta berbagai pernak-pernik pertanyaan mengenai rencana pembuatan album barunya. Lagu-lagunya memang selalu hits. Video terbarunya ditonton lebih dari sepuluh juta orang dalam waktu lima bulan saja. Sungguh sebuah prestasi besar bagi artis yang baru sebentar menapaki dunia hiburan. Ia muncul seperti penyihir yang langsung bisa membius telinga siapa saja.
“Oh ya Sam. Single baru ini romantis banget. Kalau yang sebelum-sebelumnya kan selalu tema patah hati. Apa Sam lagi jatuh cinta?”
Akan selalu ada pertanyaan seperti ini setiap kali konferensi pers atau wawancara jenis lain. Menjadi penyanyi artinya ia harus siap untuk membuka dirinya dalam segala hal. Bahkan, sudah banyak pelaku hiburan yang melepas semua kancing bajunya dengan alasan seni bukan? Apa lagi yang harus dirahasiakan ketika semua sudah begitu terbuka?
“Ah bukan. Ya ... kita bisa menciptakan lagu atau menyanyi yang romantis tanpa harus jatuh cinta dulu lah. Itu masalah penjiwaan aja.”
Sam mengambil jawaban diplomatis. Hal yang paling diwanti-wanti oleh produsernya adalah ‘jangan terlibat cinta sampai kamu berada di puncak. Jika itu terjadi, penggemarmu yang kebanyakan perempuan, akan kabur karena mereka patah hati. Percayalah, wanita-wanita itu benar-benar merasa lebih berhak bersamamu dari pada istri sekali pun.’ Mereka memang bisa segila itu. Bahkan mengutuk idolanya tidak laku agar tidak ada yang memilikinya.
“Yang bener... Sam katanya lagi deket sama seseorang ya? Perempuan dewasa dan cantik banget.” ucap salah seorang wartawan dengan senyum merekah di bibirnya.
Makhluk berengsek ini ngomong apa? Sam menggigit bibir bagian bawahnya. Ia menoleh tampak pria itu menunggu jawaban, atau sepertinya ia tidak butuh kalimat apa pun dari Sam. Pertanyaan itu serupa gertakan. Bisa jadi, ia berusaha memancing Sam untuk membuka rahasianya.
“Hah... gosip aja itu. Sekarang ini kan lagi sibuk-sibuknya mau rekaman album. Sama latihan single baru. Kasian ceweknya kalau ditinggal terus. Ya gak?” Sam menanggapi dengan santai. Dalam pikirannya ia terbayang sedang melempar mikrofon ke arah wartawan itu.
Kasak-kusuk terdengar di antara para wartawan yang duduk di bagian tengah. Tak butuh waktu lama barisan orang-orang pemburu berita itu bertambah berisik. Suara riuh memenuhi ruangan. Wajah-wajah pucat itu membuat Sam kebingungan. Bahkan, ada beberapa orang yang mual. Mereka berekspresi macam-macam.
“Shitt!!!” Edo, manajer Sam mengumpat. Wajahnya memerah dengan alis mengerut memperhatikan ponselnya. Sebuah video masuk ke Whatsapp dari Emilia, asisten pribadi Sam.
“Apa sih?” Sam memutuskan bertanya setelah melihat tatapan aneh para wartawan tertuju ke arah mereka.
“Sam ... dalam hitungan tiga, lo harus cabut dari sini. Kabur sejauh mungkin. Ngerti?”
“Ha...?” belum sempat Sam mencerna ucapan Edo, laki-laki itu sudah kembali berteriak.
“Tiga!”
Sam langsung mengambil langkah seribu ke arah pintu belakang. Para wartawan yang reaksinya cepat segera mengejar. Sang artis terus melaju sambil sesekali menoleh ke belakang. Ia menerobos kerumunan orang. Melewati gang sempit, terus mengikuti arahnya hingga memasuki pasar ilegal yang padat. Dia meraih masker yang dijual seorang anak kecil berpenampilan lusuh dan melempar uang berwarna biru ke keranjang dagangan sambil terus berlari.
***
“Ih gak nyangka lo gue, ganteng-ganteng gitu seleranya emak-emak. Kok bisa ya?” ucap seorang perempuan dengan rambut pendek.
“Daripada sama cewek itu yang mending gue. Emang si segel gue udah pecah. Tapi kan masih kenceng. Gue juga free. Selera Sam kaya gitu sih sayang banget,” timpal perempuan lain berambut panjang warna cokelat dengan bibir dipoles lipstik warna merah menyala.
Setelah dua orang tadi pergi, gadis dengan jilbab warna ungu muda menjuntai menutupi bagian depan tubuhnya, masuk. Ia bersama dengan perempuan lain yang berwajah anggun dengan alis melengkung rapi. Mereka saling pandang mendengar pembicaraan dua perempuan barusan. Bukan bermaksud menguping. Hanya saja, suara mereka terdengar hingga ke luar rest room.
“Hadeuh. Dari tadi semua orang bahas sepak terjang Sam yang ajaib. Sampe capek telinga Mbak.”
“Sam yang penyanyi lagu “Cinta Tersembunyi” itu?” tanya gadis yang tadi pakai hijab warna ungu itu sambil memperbaiki letak brossnya.
“Iya Iren. Artis yang lagi ngetop-ngetopnya. Eh... video asusilanya nyebar pas dia lagi diwawancara siang tadi.”
Iren menyimak ucapan kakaknya tanpa banyak berkomentar. Ia tidak suka topik selebriti. Namun, tak bisa menghindarinya. Apalagi ia baru beberapa minggu magang sebagai wartawan di sebuah media daring. Setelah lulus, Iren mengajar lembaga. Namun, penghasilannya tidak banyak. Setahun, gaji yang ia kumpulkan tidak maksimal. Lalu, ia memberikan diri melamar di media daring. Di tempat kosnya, Iren bahkan tidak punya TV. Hidupnya berkubang dengan mengajar privat dan mencari uang tambahan demi menutup biaya hidup, ia tak mau terlalu membebani kakaknya yang sudah berkeluarga. Gadis itu sama sekali tidak punya waktu untuk sekedar menonton film bersama temannya.
“Mbak mau coba baju ini dulu. Mas Fikri baik banget sampai bela-belain beliin set gamis gini. Yang paling bikin seneng Mbak juga dapat cincin baru. Kamu beruntung ya Ren, punya kakak sebaik itu,” katanya sambil memasukkan kotak berisi cincin ke dalam tas kantong belanja.
Iren tersenyum. Fikri Ramadhan, kakak Iren memang laki-laki terbaik sedunia baginya. Setelah kedua orang tua mereka meninggal, hanya Fikri tempat Iren bersandar. Dalam sekejap, pemuda itu menjelma menjadi kakak sekaligus ayah untuk Iren. Hingga ia sudah dewasa pun, sikap itu tak pernah berubah. Memiliki keluarga yang luar biasa, membuatnya bisa tersenyum tanpa beban.
“Pegangin baju Mbak yang ini, dong!” pinta kakak iparnya itu, sementara ia mencoba baju baru.
Iren memasukkan baju itu ke dalam tas kantong belanja, lalu meletakkannya di meja wastafel bagian pinggir, sementara ia mencuci wajah. Rasanya cukup penat seharian berbelanja menemani kakak iparnya. Meski begitu, Iren senang karena bisa mengurangi beban stres sebagai mahasiswa semester akhir. Ia tersentak ketika tiba-tiba seorang laki-laki masuk. Wajah panik pria itu tampak jelas karena sorotan lampu. Ia menatap Iren yang ternganga.
“Hai ... ini baju ya? Pinjem dong! pasti gue pulangin. Ini kartu nama gue.” Pria itu meletakkan sebuah kartu di meja wastafel.
Iren masih syok. Matanya belum berkedip dan malah mengekor si pria yang tengah memakai gamis milik kakaknya. Ia juga menggunakan kerudung lebar hingga kini sosoknya berubah serupa muslimah dengan gaun syar’i. Setelah Iren berhasil sedikit menguasai diri setelah mengedipkan mata, secepatnya pria tadi hilang.
Kemudian, terdengar suara pintu toilet dibuka. Iren tersentak.
“Mbak Alma.... a... ada petis.” Ucapan Iren terbata-bata karena bibirnya bergetar.
“Petis apa sih? Kamu mau petis? Baju Mbak mana Ren?”
“Itu... orang yang suka pakai baju lawan jenis untuk fantasi seksualnya.”
“Fetis maksud kamu? Mana? Astaghfirullah ....” gantian Alma yang syok.
“Udah pergi bawa baju Mbak Alma.”
Alma melongo. “Ci … cincinnya di tas itu juga Ren. Aduh giaman nih?”
Iren mematung.
Kedua perempuan itu sama-sama berusaha menenangkan diri. Terlebih ini pertama kalinya Iren melihat hal aneh yang tidak masuk akal begitu. Hidupnya berada di ruang lingkup orang-orang yang bisa dibilang tidak pernah macam-macam. Jadi, kejadian ini benar-benar membuatnya bergidik.
“Tapi Mbak, dia ninggalin kartu nama.”
Iren meraih kartu yang tadi diletakkan pria itu di meja.
“Loh... ini mah KTP.” Iren menggaruk kepalanya. Tertulis nama Syahid Maulana Ahmad.
***
Sosok tegap dengan gamis warna hitam dan jilbab panjang menjuntai hingga ke pinggang melangkah cepat. Ia memasuki pagar sebuah rumah yang memang tidak pernah di kunci. Gedungnya sederhana, arsitektur lama yang hanya diperbaiki catnya agar tampak cerah. Selazimnya bangunan tempo dulu yang memiliki pekarangan luas dengan banyak bunga-bunga. Sebuah keberuntungan menemukan rumah seperti ini yang masih berdiri kokoh di antara rumah lain yang berarsitektur modern. Orang itu mendekati seorang nenek yang sedang memetik daun-daun berwarna kuning di salah satu pohon.
“Assalamu’alakum, Nek...!” sapanya dengan suara lantang yang mengagetkan. Si nenek sampai terjungkat.
"Astaghfirullah... sapo kau ni?” jawab sang Nenek dengan wajah pucat dan alis turun.
“Nek, katanya jawab salam itu wajib. Jawab dulu lah. Cucu terganteng datang ini.”
“Ah... Syahid kau? Macam pudak betine sajo.”
Orang yang dipanggil Syahid itu melepas kerudung panjang dan baju gamis di atasnya. Beruntung Mala, kakaknya Iren itu memiliki postur tubuh yang tinggi. Sehingga, gamis itu bisa dipakai oleh Syahid yang tidak terlalu tinggi dalam ukuran laki-laki.
“Masuklah... nak makan empek-empek kau?” Suara si Nenek yang serak dan aksen Palembang yang khas membuat Syahid rindu masa lalu. Ketika dia belum menapaki dunia hiburan.
Dulu, Syahid hanya seorang pegawai kantoran biasa di sebuah perusahaan kecil di Serpong. Iseng-iseng dia ikut audisi menyanyi karena menurut beberapa temannya, suara Syahid bagus. Dia memang tidak lolos hingga babak final, tapi ada seorang juri yang tertarik mengembangkan bakatnya. Akhirnya, Syahid bisa menjadi penyanyi besar seperti sekarang ini.
Di era digital, perjuangan menjadi penyanyi tidak serumit dulu. Raisa, Nissa Sabyan, bahkan Justine Bieber terkenal karena video mereka yang ditonton banyak orang di Youtube. Meski kini regulasi menyanyikan lagu menjadi semakin ketat, tapi tidak menyurutkan niat orang-orang untuk terus mengunggah hasil olah suara mereka ke situs dengan jutaan pengguna itu. Syahid Maulana Ahmad kini terkenal dengan nama Sam Sang Penyihir.
“Nah, makanlah. Siapa tahu kangen kau sama empek-empek kapal selam ini. Kangen sama Palembang?” Syahid tidak menjawab pertanyaan si nenek. Ia memilih segera menikmati empek-empek asli buatan tangan perempuan tua itu. Pemuda itu memang tumbuh besar di pulau Sumatra. Ayahnya seorang pemilik pabrik sepatu, ibunya travel blogger yang hampir tidak pernah ada di rumah. Dia hanya punya satu orang adik yang kini tinggal bersamanya.
Sedangkan nenek yang ia datangi ini, sama sekali tidak punya hubungan darah dengannya. Syahid mengenal wanita tua dengan uban yang hampir merata itu ketika sedang berada dalam sebuah acara amal untuk anak-anak yatim piatu. Syahid waktu itu masih menjadi perwakilan perusahaan yang menyerahkan bantuan sekaligus mengajari anak-anak bernyanyi. Sedangkan sang nenek ada di sana sebagai sang pendongeng. Karena sama-sama berasal dari Palembang, mereka jadi dekat.
“Halo... gue di rumah seseorang. Apa?”
“Lo udah lihat video yang gue kirim belum si Kampret?” Edo tak habis pikir dengan artisnya satu ini.
“Santai dong. Capek gue abis lari-lari. Mana pakai baju gamis orang lagi.”
“Gamis apa? Lo nyolong?”
“Yeh... tambah runyam gosip ntar. Pinjem gue, sama gak tahu siapa gue gak kenal. Tapi, gue udah ninggalin kartu nama ke yang punya. Cewek cantik alami kaya bidadari.”
“Dasar playboy sialan. Masih bisa ya tu mata begitu. Lihat video yang gue kirim dan jelasin semuanya sama gue.”
Sam terbelalak. Terlebih karena video berdurasi tiga puluh menit itu memperlihatkan wajahnya pada bagian awal. Adegan berikutnya berada di dalam kamar dengan kondisi remang-remang bersama seseorang. Dia tahu wajah perempuan yang sedang melakukan adegan panas di dalam rekaman itu. Shitt! Siapa yang nyebar video ini?
****