Sekar Arum ; Nyala Hidup Yang Mati Perempuan Selintas Zaman

Sekar Arum ; Nyala Hidup Yang Mati Perempuan Selintas Zaman

Abasaad

5

Apabila seekor monyet pecundang, melahirkan seekor anak monyet, apakah ia adalah anak monyet pecundang.

“Sekar!!”

Sebaiknya kau segera mati saja.

Dalam perayaan yang ke dua belas tahun sebuah hidup yang sia-sia dari seekor anak monyet pecundang, ia telah tumbuh meski tanpa pendidikan untuk mengumpat. Harusnya kuubah catatan ini menjadi kumpulan puisi dan doa untuk sebuah ritual pemanggilan nyawa, mati saja kau, atau aku.

“Di mana kau anak lonte!”

Bukankah itu sangat lucu, salah siapa menikahi pelacur? Tapi mau bagaimana lagi, fakta bahwa kau menikahi pelacur sedikit membuatku lega, setidaknya belum tentu juga aku anakmu, tak sudi. Tapi itu juga berarti di darahku juga mengalir deras darah dari seorang ibu pelacur.

Ibuku itu, mungkin ia lahir dengan sebuah visi dan cita-cita untuk mempertahankan budaya dari tempat ia tumubuh, Kembang Jepun. Mereka bilang, ibuku sangat cantik, dan aku percaya dengan itu. Rambutnya hitam, matanya sipit, kulitnya putih mulus, seorang perempuan keturunan jepang. Ya, itu menurun padaku, entah sebuah keberuntungan atau sebuah petaka. Maksudku ialah apabila aku tumbuh serupa dengan ibuku, entah apa yang akan lelaki bajingan tua itu lakukan padaku. Pun bila aku juga berakhir di sebuah rumah bordil, apakah aku akan naik setingkat lebih tinggi seperti ibuku, jadi simpanan bupati.

“Dimana kau!!” Panggilannya membentak, membuat seluruh isi ruangan bergema.

“Iya pak” Aku bergegas menghampiri dengan rasa takut dan benci yang menguap disekujur tubuhku.

BUAKK

Tinjunya melayang tepat ke perutku, sontak aku terkapar dan merintih kesakitan, sebuah kebiasaan yang masih tidak bisa membuatku terbiasa.

“Huahahaha…” Seorang perempuan dibalik bahunya tertawa melihatku terjatuh.

Pelacur bajingan umpatku dalam hati. Bahkan wanita itu mungkin tidak peduli berapa banyak perempuan yang telah bajingan itu tiduri dalam seminggu ini, lebih dari dua belas. Tidak peduli siang, pagi, sore atau malam, ketika ia keluar rumah ia akan kembali membawa seorang wanita untuk ditiduri.

Bajingan satu itu melemparkan jaketnya, bau rokok dan alkohol yang pekat benar-benar menusuk hidungku. Lantas ia melenggang meninggalkan diriku yang masih meringis kesakitan.

Tidak ada yang lebih baik dari yang terburuk untuk kedua orang tua ini. Ibu yang menelantarkan anaknya semenjak beberapa hari ketika ia dilahirkan, bahkan tanpa sebuah nama. Sekar adalah nama yang diberikan tetangga kami. Ketika itu, aku masih tinggal di sekitaran Kembang Jepun. Pun lelaki bajingan tua ini, lebih buruk. Ia pergi selang dua hari ketika ibu pergi, menitipkanku pada tetangga. Lantas enam tahun berselang ia kembali datang menjemputku, hanya untuk jadi gundik dirumah barunya. Mungkin seorang gundik tuan tanah masih lebih beruntung.

Barangkali malam adalah sebuah pelepasan untuk hidup yang melelahkan. Tapi malam adalah sebuah rasa sakit yang lebih sakit dari rasa sakit itu sendiri. Seperti halnya ditusuk sebilah katana, begitu perih dan menyakitkannya, tapi kita tak pernah tau dari mana katana itu dihunuskan, pun luka-luka yang ia tinggalkan, hanya sebuah rasa sakit. Malam ini pun, sebuah peperangan dengan rasa sakit dari alunan musik erotis, dua bibir tuan dan puan yang berpagut mesra, mendesah, mengerang dan tertawa. Mungkin sebenci itu waktu padaku, bahkan atas dalih kebencian dan ketidak pedulianku, ia terus merangkak perlahan-lahan dari luka yang ditinggalkan, menyayat-nyayat tiap persendian yang bergetar, lantas aku hanya bisa meringkuk ditalanjangi malam dan pelukan dari rasa hampa.

Sekar, Surabaya, 1970