“Sayang, bisa bantuin aku ganti tabung gas?” Aku bertanya padanya yang sedang duduk menonton tv.
“Apa? Aku capek, tidak bisakah aku istirahat di hari libur?” balasnya tanpa menoleh ke arahku.
“Tapi, kamu bilang akan menggantinya minggu lalu dan sampai sekarang belum diganti.”
Kata-kata yang saling berbalas, satu kata menjadi satu kalimat, satu kalimat menjadi satu paragraf. Pembicaraan yang bervariatif, kamu mengungkit kesalahanku, aku yang tak mau kalah juga mengungkit keegoisanmu. Aku tidak menyangka pembicaraan sederhana ini berujung akhir yang mengenaskan.
“Cukup! Sudah terlambat untuk menyesal!”
“Siapa yang menyesal?! Satu-satunya yang kusesali adalah tidak melakukannya dari dulu.” Katanyanya mengakhiri pertengkaran dan menyodorkan kertas kepadaku.
Aku muak dengan pertengkaran ini, aku tahu kamu juga capek, terlebih kamu tiap malam harus pulang larut malam. Terlalu lelah untuk meneguk kopi yang tersedia di meja makan, padahal aku berusaha untuk tidak membiarkannya dingin.
Saat kamu pergi dan kembali menemuiku, aku takut dengan firasat buruk yang aku alami beberapa hari ini. Sebuah kertas yang terlihat agak lusuh seraya kau genggam agak keras. Aku pernah melihat kertas sejenis itu di tas kantormu, aku berharap yang kau bawa bukanlah dari tas kantor itu.
Aku mengambil kertas yang kau sodorkan padaku, membacanya dari atas hingga bawah. Bagian atas kertas tertulis “Surat cerai,” dua kata yang menerangkan semuanya. Sayang sekali, firasat burukku tepat sasaran.
“Kamu yakin dengan ini?” Aku bertanya tanpa melepaskan pena yang kau beri, menatap kedua bola mata pria yang menjadi suamiku selama beberapa tahun yang saat ini sedang berada di depanku, duduk di kursi ruang makan, menggerutu dan bergumam sendirian.
Rasa kecewa dan harapan bercampur, aku pikir ini akan berakhir seperti hari-hari sebelumnya, walaupun pernah ada pembicaraan mengenai perceraian, tapi tidak pernah terjadi.
Tapi, kedua bola mata yang menatap balik ke arahku tidak terpancar keraguan sedikitpun. Di saat itulah harapanku luntur, meninggalkan eksponensial rasa kecewa.
Hanya perlu satu tarikan pena, tanda tangan dengan atas namaku, Aira Nabila. Tertulis jelas di samping tanda tangan milikmu yang bertuliskan Rendra Adinata, sudah ada sejak ia menerima kertas itu. Berarti ia sudah menyiapkan kertas ini dari lama.
Aku menyerahkan kembali kertas yang baru saja aku dapatkan. Sedangkan kamu yang menerimanya memeriksa seluruh isi kertas, dari atas hingga akhir, berharap tidak ada yang terlewatkan sama sekali.
Semua berganti terlalu cepat, biasanya kita saling mengerjakan masing-masing, tapi kali ini kita berada di mobil yang sama, tujuan yang sama. Menyerahkan kertas perceraian.
Sepanjang perjalanan kita tidak bicara sama sekali. Kamu memfokuskan pandangan dan pikiran ke arah jalanan, memutar setir dan menggerakkan mobil untuk menyalip kendaraan lain.
Di san akhirnya kita berbicara, tapi hanya berbicara seperlunya seakan kau mengubah status facebookmu dari Relationship menjadi Stranger. Tak butuh lama untuk kita kembali ke rumah.
Walaupun perceraian dipicu oleh hal sepele, tetapi hubungan pernikahan kita memang dingin.
Tanpa aku sadari, semakin bertambahnya usia, semakin menghabiskan waktu bersama, semakin aku menjadi orang yang aku bayangkan ketika masih bersekolah, menjalani kehidupan yang glamor.
Walaupun ada yang menolak bercerai saat ini seperti yang sudah-sudah, sepertinya suatu hari nanti pasti tetap akan terjadi. Lebih baik mengakhiri sekarang daripada menambah rasa sakit.
“Kau tahu, aku berpikir kenapa kita tidak melakukannya dari dulu.”
Setelah itu, dia terus menceramahi aku. Dia sendiri frustasi dengan keadaan sekarang. Itu bisa dimengerti. Sudah beberapa tahun sejak kita lulus kuliah lalu menjalin kisah bersama. Namun, kita masih membuat banyak kesalahan.
Aku tidak menyangka kamu bisa berpikir seperti itu. Aku tak bisa menahannya lagi, mataku menjadi waduk dengan tanggul yang bocor. Aku lelah secara mental, jadi aku hanya mengangguk dengan tepat.
“Fine, aku tidak perlu melihat wajah jelekmu lagi.” Aku kesal dan pergi berjalan menuju kamar.
“Apa?! Seharusnya kau melakukannya dari dulu, jadi aku bisa bebas darimu!” Rendra tidak mau kalah.
“Bebas? Tidak ada kebebasan dengan menjadi budak korporat.” Aira menoleh ke arah Rendra.
“Lebih baik daripada terikat denganmu!”
Perang verbal tidak pernah berakhir, satu-satunya yang dapat menghentikan kita adalah di saat Rendra tidur di warnet karena terlambat pulang dan transportasi umum sudah berhenti beroperasi.
Aku membanting pintu kamar, meninggalkan Rendra di ruang tamu sendirian menonton tv. Di kamar, aku mencari koper yang lumayan besar, memasukkan segala barang yang bisa aku masukkan, seperti baju, perlengkapan kosmetik, perhiasan, hingga charger handphone. Sejenak sebelum aku keluar, aku melepaskan cincin nikah yang masih membelenggu jariku dan memasukkannya ke dalam koper. Jika aku meninggalkannya di sini pasti dia akan menjualnya, aku tidak rela.
Tak lama, terdengar pintu kamar terbuka dengan keras lagi, ia melihatku yang membawa koper.
“Aku akan pulang ke rumah orang tuaku.” Aku berjalan melewati Rendra tanpa menoleh ke arahnya, tidak ingin berlama-lama lagi di sini.
“Ya, ya, tentu. Pergi sana dan jangan kembali.” Rendra hanya sibuk mengganti saluran tv.
Sekali lagi aku membanting pintu agar ia bisa mendengarnya, suara tv yang tadi menggema ke seluruh rumah tidak lagi bisa aku dengarkan.
Aku melangkah cukup jauh dari lingkungan rumah agar tetangga tidak ada yang melihatku lalu memesan gocar. Tak butuh waktu lama sebuah mobil datang, tepat sesuai pesananku, aku segera masuk dan ia segera mengantarkanku ke bandara, sepanjang perjalanan aku mencari tiket penerbangan yang dekat dengan waktu sekarang.
Aku tidak menyangka, sekarang matahari masih terik. Aku mengingat kembali kejadian yang baru terjadi beberapa jam lalu.
‘Sekali lagi, aku kecewa denganmu.’