Semburat jingga terlukis indah di ufuk barat sayup-sayup sinar kekuningan itu menyorot tepat sisi wajah pemilik gadis ayu yang tengah duduk merenung, suasana duka masih menyelimuti di pojok-pojok rumah bergaya minimalis tersebut. suasana Jogjakarta yang biasanya tampak membuat tenang namun kali ini menguarkan bau kesedihan yang tak kasat mata.
Mata yang biasanya memancarkan binar bahagia dan ceria itu kini menampakkan sisi kelamnya, Gendis Widuri masih setia duduk di bangku belakang rumahnya yang kerap kali menjadi spot tempat berkumpulnya Ayah dan Ibunya, tempat itu adalah kenangan termanis yang Gendis miliki sebelum semuanya terrenggut dengan satu gelombang pasang yang besar. seikhlas apapun yang orang-orang pinta bila kehilangan orang yang paling terkasih rasanya akan sulit untuk mengikhlaskan.
kehidupan ini memang isinya misteri dan alur takdir yang kapan saja harus menyiapkan mental untuk menghadapi, bahkan Gendis sama sekali tak pernah berpikir akan berakhir kehilangan orang yang paling berharga untuknya, AyahnyaRaden Mahendra mengakhiri hidupnya usai di vonis penjara dan harus mengembalikan sejumlah uang dengan nominal besar. masalah itu juga yang membuat keadaan keluarga Gendis menjadi porak-poranda seketika itu Tuhan mengubah kebahagiaan keluarganya menjadi abu.
Tangan Gendis mengusap pipinya yang kian basah, ia masih tak terima di lubuk hatinya ia masih bertanya-tanya mengapa harus keluarganya yang mengalami hal ini, kehidupan indah harus terpecah hanya karena masalah yang sebenarnya bukan Ayahnya yang berbuat dan ia juga masih meyakini diri bahwa ini adalah penyabotase.
Gendismasuk yuk, udah mau maghrib dan mendung. Suara merdu itu memcah lamunan Gendis.
Maya RavinaIbu dari Gendis, si wanita paling tegarawalnya Gendis ragu mengapa Ibunya sama sekali tak terpukul usai kepergian suaminya namun beberapa saat Gendis mengatakan hal itu dan bagaimana Maya menyampaikan alasannya kian membuat Gendis menangis tersedu.
Mama bukannya enggak sedih, Kak. Cuma mau sampai kapan kita bersedih kasihan Papa. Disana Papa juga harus di ikhlaskankamu juga harus belajar ikhlas ya, Papa sudah kembali pada sang Pemilik-Nya.
bagaimana bisa ia memiliki wanita setangguh sang Mama padahal ia sendiri saja masih sering meratapi keadaan dan merindukan sang Ayah. Iya, MaMaaf Gendis nggak bantuin Mama masak tadi.
Maya menggeleng. Nggak apa-apa masih ada Mbak Ida yang bantu, yuk masuk kita siap ibadah buat doain Papa. Gendis mengangguk setuju.
Meski kasih dirumah minimalis itu tak lagi utuh setidaknya disisi Gendis masih ada sang Mama yang menguatkan atau paling tidak mereka berdua saling menguatkan satu sama lain, walau berat hidup tetap harus berlanjut bagaimanapun caranya.
Tadi Kakekmu telepon. Ucap Maya selesai melipat mukenah dan duduk didepan sang putri.
Kakek aku yang mana, Ma? Kakek yang dari Papa apa Mama? sarkas Gendis.
Kakek Sanjaya. Jelas Maya.
Gendis tampak menghembuskan nafas kasarnya, mendengar nama Sanjaya sejujurnya Gendis sedikit tak menyukai kakeknya itu. Kenapa Ma? Dia mau kita ngapain?
Husskamu yang sopan sama yang lebih tuatadi Kakek bilang buat mau pindah ke Jakarta.
Gendis sudah menebak pada akhir ini sebenarnya sudah beberapa yang lalu ia mendengar sayup-sayup berita ini dari sang Mama namun baru kali ini sang Ibu menceritakan padanya. Ia tak butuh belas kasih kakeknya hidup berdua disini pun tak apa sebab rumahnya untuk kembali ya di kota iniYogyakarta. Sebisa apapun Gendis akan mengusahakan untuk tetap di sini dan tak akan menuruti keinginan sang Kakek, merasa cukup dengan hidupnya sekarang meski hanya bersama Ibu setidaknya hidupnya masih terasa tentram.
Ma, boleh Gendis minta? Maya mengangguk. Aku mau kita tetap disini, aku mau tetap dekat sama Papa. Keputusan talak Gendis.
Sepertinya Maya sudah tahu dengan jawaban putrinya, ini akan sulit dan ini pasti akan membuat Sanjaya kian merandang. Putrinya ini sungguh tak menyukai AyahnyaSanjaya Cokroaminoto sebab Gendis terlalu membenci dengan sosok tua ini.
***
Bagaimana kalian sudah siap untuk pindah ke Jakarta? tanya suara berat di ujung telepon.
Maya menghela nafasnya penuh dan halus berusaha agar Sanjaya tak mendengar. Maya belum bilang ke Gendis lagi, Paanaknya lagi sibuk ke kantor terus.
Bah! Mau sampai kapankalian disana tidak ada siapa-siapa lagi menghindari hal yang tidak di inginkan karena kalia semua perempuan bila tinggal dengan Papa disini kalian akan aman.
Sikap yang paling Maya benci ada Sanjaya Cokroaminoto adalah sikap pemaksanya, sifat yang tak pernah bisa ia rubah meski umur kian berkurang namun sifatnya tak juga berkurang. Nanti Maya bicarain lagi sama Gendis ya, pa. Janji Maya.
“Ya sudah, Papa tunggu kabar dari kalian.
Diam-diam Gendis mendengarkan percakapan antara Ibu dan Kakeknya, ia masih enggan menyetujui untuk pindah lagi ke Jakarta pasalnya kota itu meninggalkan luka yang membekas untuknya ada hal lain yang tak ingin Gendis temui disana, baginya hidup di kota ini membuatnya sembuh dari masalalunya yang kelam. Di kota ini juga ia merasakan kesembuhan pada dirinya dari sisa-sisa kesakitan yang ia dera.
Mama?
Maya mengalihkan tatapannya pada layer ponsel yang menunjukkan layarnya redup. Ya, Kakkenapa?
Tolong jangan ke Jakarta, aku enggak mau ketemu kesakitanku lagi.
Mama akan usahakan ya sayang.
Menurut Maya pun mereka tetap tinggal disini pun sudah cukup, untuk apa ia memperdulikan ego Ayahnya sedang nanti anaknya yang tersiksa dan Maya tak menginginkan hal itu terjadi, cukup dulu putrinya tersakiti disana hingga akhrirnya kesembuhan menghampiri putrinya. Pun ia tak ingin membuat putrinya kembali merasakan sakit.
***
Menikmati makan siang di tengah hari bolong yang luar biasa panas ini Gendis lalui dengan makan siang yang sedikit terlambat dari biasanya, di posisi barunya ini Gendis lebih banyak menghabiskan beberapa pekerjaan yang beberapa waktu ini ia ampu. Sembari menikmati jalanan Jogya yang tampak riuh dan juga warung makan yang tampak rame di isi oleh orang-orang kantor.
Kalo makan itu yang dilihat nasi bukan jalan. Suara berat mengalihkan fokus Gendis.
Mata coklat itu mengalihkan pandangannya pada suara yang memutus lamunannya. Ngagetin aja.
Lihatin apa sampai makan siangmu cuma kamu aduk-aduk aja? tanya seseorang itu yang Gendis sering panggilnya namanya dengan Panji.
Nggak ada, lagi enggak nafsu buat makan aja sih. Alibi Gendis agar Panji tak bertanya-tanya lebih padanya.
Ya sudah lanjutkan makan siangmu, nanti segera kembali ke kantor. Gendis hanya mengangguk dan melanjutkan makan siangnya yang setengah ia telan dengan susah payah.
Bekerja di sebuah kantor logistik di sebuah perusahan logistik yang menawarkan jasa logistik dan pengiriman cargo ke luar negeri. Gendis sudah lama bekerja disini sebagai pegawai yang mendedikasi dan sekarang Gendis beberapa waktu lalu naik jabatan pencapaiannya memang membuahkan hasil, setidaknya dengan usahanya ini ruang ekonomi keluarganya juga kian berangsur membaik meski beberapa waktu lalu mereka melewati keadaan yang sulit.
Usai selesai makan siang Gendis kembali ke ruangannya dimana ia harus kembali menyelami pekerjaannya yang kian menggunung, bagaimana bisa Gendis meninggalkan pekerjaan yang membawanya pada titik saat ini bila ia tinggalkan begitu saja pekerjaannya ini apa tidak sia-sia usahanya selama ini meski ia tahu bila ia mengikuti keinginan Sanjaya untuk mengikuti keinginannya ia akan mendapatkan fasilitas lebih dari ini tapi sayangnya Gendis lebih memilih pekerjaannya disini.
Mbak Gendis, di panggil sama Bu Meike suruh ke ruangannya sekarang. Suara Nani si sekertaris atasan Gendis.
Okebentar ya Nan, aku sleep komputer dulu.
Iya Mbak, segera ya MbakBu Meike dari tadi lagi siaga satu banget. Keluh Nani.
Ada masalah apalagi? tanya Gendis meninggalkan kursi duduknya dan menghampiri Nani.
Ada barang yang ke delay mbak. Gendis hanya mengangguk mengerti.
Gendis sudah menghadap pada atasannya yang kali ini wajah atasannya itu tergambar keruh tak seperti biasanya yang ramah akan serat dengan kepribadiannya, usai menyapa sebentar atasannya itu Gendis siap yang akan disampaikan oleh atasannya.
Mbak Gendis, saya mau tanya sudah berapa kamu kerja disini? awal Meike bertanya dengan Gendis.
Gendis sejenak diam kembali menghitung berapa lama ia sudah bekerja disini. Kira-kira sekitar 3 tahunan lebih, Bu.
Meike tampak mengangguk mengerti, sembari melihat kertas yang ditangannya yang berisi tentang Gendis. Meike memilih Gendis sebab gadis didepannya ini memiliki etos kinerja yang luar biasa baik hingga saat ini dan ia tak menyesali mengakat Gendis menjadi manager sebagaimana pekerjaannya memang membuatnya puas tapi kali ini ia harus berberat hati karena ia harus melepaskan Gendis untuk ia mutasi ke Jakarta.
Meike mengambil surat yang sudah ia bubuhi tanda tangannya sebagai tanda bukti bahwa ia memberikan Gendis untuk pindah ke kantor pusat Jakarta. Mbak Gendis, sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih sudah mau mendedikasikan tenaga dan semuanya yang Mbak Gendis berikan untuk kantor disini dan dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa Mbak Gendis harus saya mutasi ke Jakarta sebab disana sedang membutuhkan posisi manager umum melihat potensi, keuletan, serta etos kerjamu baik maka kamu yang ditarik kesana. Ujar Meike dengan perasaan berat. Ini surat mutasi Mbak Gendis.
Bu tapiini Gagap Gendis. Baik Bu, saya akan lebih meningkatkan pekerjaan saya lebih baik lagi. Ucap Gendis dengan senyum yang sebenarnya ia paksakan.
Terima kasih, Gendis. Semoga di kantor pusat kamu lebih berkembang lagi ya. Pesan Meike kemudian ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Terima kasih kembali, Bu. Balasnya dengan senyum. Kalo begitu saya ijin kembali keruangan, Bu.
Gendis kembali keruangannya dengan perasaan berkecamuk dengan membawa surat mutasi itu Gendis mau tak mau harus menerima samua ini dengan setengah hati. Gendis bisa apa bila jalannya sudah begini dan Gendis juga tak ingin kehilangan pekerjaan yang sudah menemani dirinya melewati banyak hal. Dan akhirnya keinginan untuk tetap bertahan di kota ini harus pupus.
Sebentar lagi ia akan kembali menghadapi kehidupan pahit di Jakarta, bahkan ia semakin dekat luka laranya. Gendis yakin kakek tuanya itu pasti akan tersenyum ponggah melihatnya mau menginjakkan kembali ke Jakarta tanpa ia mengeluarkan banyak tenaga.
***