Aku mendesah sekencang mungkin, memastikan semua orang yang ada di sekelilingku mendengarnya. Menyilangkan tangan, berharap terkesan jijik dan sedikit marah. Tapi pada saat yang sama aku harus mengigit bibir agar tak memperlihatkan reaksi gugupku. “Berlebihan dan sombong yap, dia dilahirkan dengan kedua sifat itu” gerutuku.
Maggie yang sedari tadi menatap lapangan, seketika menoleh tajam kearahku seakan – akan kepalaku tumbuh kedua tanduk mengerikan.
“Kau gila, Leonard Maren adalah laki – laki tersempurna di sekolah. Cewek gila mana yang tidak mau dengannya?” pekiknya tidak setuju dengan pendapatku.
Mendengus. “Cewek itu pastinya aku”
“Well, kau memang cewek aneh Mir.” kikik Maggie sambil kembali memfokuskan kembali tatapannya ke arah suamiku.
Yap, hampir seluruh teman – teman sekolahnya mengenal Leonard Maren sebagai gangster tertampan di Moordale School, Kapten club renang terkenal dan anak bungsu dari keluarga Maren yang di kenal sebagai penghasil pria tampan di kota kecilnya. Semua cewek di sekolah mati – matian untuk mencari perhatian cowok sombong itu dan yang lebih mirisnya lagi, cowok itu adalah suaminya.
Entah ide gila dari mana, ayahnya berencana untuk mengembangkan bisnis propertinya lebih luas lagi dan rencana emasnya ini tidak akan berhasil jika keluarga kami tidak memiliki dukungan dari keluarga Maren yang terkenal akan keganasannya. Alhasil, keluargaku mendapatkan dukungan akan tetapi sebagai balasannya keluarga Maren ingin mematenkan hubungan bisnis ini seumur hidup dengan menikahkan masing- masing dari anak bungsu kedua keluarga.
Tentu aku menjerit panik saat Ayah menjelaskan rencana mereka, aku menolak keras gagasan gila itu. Bagaimana tidak? Umurku baru saja menginjak tujuh belas tahun dan aku harus menikahi cowok terkeren dan tertampan di sekolahnya. Tidak, mentalnya belum sekuat itu untuk menghadapi cewek – cewek gila yang selalu membuntuti Leon kemanapun.
Berdasarkan akal sehatku, Leon juga pasti akan menolak ide gila ini. Dan rencana kedua orang tua kami tidak akan berhasil seperti yang aku harapkan. Ketika hari dimana pernikahan kami tiba, ayah memaksaku menggunakan gaun pernikahan yang sangat indah. Masih berusaha tenang, aku menjulurkan tangan untuk mengambil gaun itu dan berlari ke arah ruang ganti.
Ironisnya, gaun ini seakan- akan mendukung pernikahan gila ini. Gaun putih panjang itu membungkus tubuhku dengan indah, pada bagian belakang gaun, punggungku terlihat sedemikian seksi dengan sentuhan elegan dan rambut coklat panjangku di gulung tinggi sehingga menampilkan leher yang polos. Saat keluar dari ruang ganti ayah dan ibu mengerjap memandangku. Dengan mata yang berkaca – kaca ibu memelukku lalu memakai kan kalung mutiara di leher kecilku.
Jantungku berdegup kencang, ketika ayah membawaku kearah altar yang sudah dipenuhi oleh berbagai bunga berwarna ungu dan putih, para pengiring pengantin sudah berdiri di kedua serambi altar. Sesampainya di altar, aku mencoba untuk tenang memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Aku yakin Leon tidak akan muncul melalui pintu lebar itu, mana mungkin cowok paling tampan di sekolahnya akan menikahi gadis biasa sepertinya, iya kan ? Baru saja berdoa agar pernikahan ini hancur, seketika pintu itu terbuka kencang.
Leonard Maren muncul dengan tuxedo yang membungkus tubuhnya yang ramping dengan seksi, rambut hitam lebatnya tersisir rapih kebelakang. Ia begitu tampan dan membahayakan akan tetapi ini tidak seperti yang ia bayangkan, Leon seharusnya tidak datang. Kepalaku rasanya akan pecah ketika, melihat Leon yang semakin mendekat dengan ekspresi setenang bajingan yang sudah berkali – kali menikah. Sesampainya di altar, Leon langsung menatap ke arah depan mendengarkan janji sakral yang terus di lantukan. Seluruh tubuhku lemas, syok, aku hanya bisa memikirkan kehancuran masa depanku.
“Aku bersedia” ucap Leon dengan tenang. Ini dia, ini giliranku menjawab tapi pikiranku kacau tidak tahu harus berkata apa? seluruh orang yang ada di ruangan ini mulai menatap tajam kearahku, menunggu jawaban yang aku tahu akan kusesali seumur hidup.
Tiba – tiba sepasang tangan yang hangat melingkari pinggang rampingku menarik ke dalam tubuh bidang, sambil terhuyung, tubuhku mengikuti tarikan lengan tersebut alhasil tubuh mungilku berada dalam pelukkan Leon yang sedang menatapku dengan tatapan geli. Karena terlalu dekat wajahku langsung berubah menjadi kepiting rebus, merah padam. Bagaimana tidak? Wajahku dan Leon hanya terpaut sepuluh centimeter saja, bahkan wangi parfumnya menyuruk ke lubang hidungnya.
Memajukan wajahnya semakin dekat. “Tomat, cepat selesaikan ini” bisiknya. “aku lelah”
“Ba-ba-baik” cicitku pelan. Berusaha memalingkan wajahku, aku mendorong tubuh Leon yang menempel erat ke tubuhku. Hampir saja aku menyurukkan wajahku kelengkungan lehernya yang menggiurkan, berusaha fokus kembali, aku menelan ludah. Tidak ada pilihan, satu satunya jalan untuk mengakhiri ini semua tanpa keributan ia harus menikahi Leon terlebih dahulu. Berikutnya yang kuketahui, semua orang sudah bersorak gembira dan Leon menggandeng lenganku dengan erat sambil berbisik pelan ke telingaku “Hai Istriku.”
Mengingat kembali pernikahannya cukup menguras tenaga, lima belas menit kemudian aku dan Maggie sudah menyeruput susu rasa melon di bangku cafetaria.
“Satu tidak pernah cukup bagiku” gerutu Maggie, melempar bungkus susu itu kedalam tong sampah dekat meja kami.
“Mau tambah?” tawarnya. Aku menggeleng dengan segera dia berlari ke luar cafetaria.
Sembari menunggu Maggie, tanpa sengaja aku memperhatikan pegawai kebersihan sekolah yang terpaut beberapa meja dariku. Dia sedang sibuk menggosok kotoran di permukaan meja tepat di atas jendela, segerombolan anak cowok berjalan kencang sambil tertawa. Alam bawah sadarku langsung berteriak. Leon pasti ada di sana, benar saja ketika mereka masuk, wajah yang pertama kali aku lihat adalah wajah cowok yang terpaksa ia panggil suami.
Dengan cepat aku memalingkan wajahku, pelan-pelan aku membungkukkan tubuh sambil pergi kearah pintu samping cafetaria tanpa membuat keributan. Setelah berhasil keluar dari cafetaria dengan gigih, aku merasakan kemenangan mutlak untuk menjauh dari Leon sejauh mungkin. Baru saja melangkah, tiba tiba tubuhku tertarik ke arah belakang seolah olah tersangkut.
Menoleh kebelakang, bukan pintu yang kulihat justru Leon lah yang dengan kurang ajar menarik bagian belakang bajuku, meskipun wajahnya sangat tampan entah mengapa aku selalu benci melihat wajahnya.
“Lepaskan” pintaku ketus.
Tersenyum sinis. “Hey Tomat” panggilnya. Kepalaku makin panas ketika Leon memanggilku dengan julukan bodohnya. “Apa?” jawabku masih ketus.
“Bisa tidak” katanya dengan suara pelan. “Untuk bersikap biasa saja dan tidak overreacting”
“Tolong ulangi pertanyaannya?” pintaku.
Dengan sedikit jengkel, Leon berkata “Berusahalah menjauh dariku sebisa mungkin” katanya dengan dingin.
“Oke!” aku praktis berteriak. “Dasar tirani gila” dengan marah aku mengehentakkan kedua kakiku sambil berjalan menjauh sejauh mungkin dari Leon. Sesampainya di kelas, kemarahan ku sudah mereda.
Padahal pernikahannya baru saja berjalan tiga minggu tapi entah mengapa lebih terasa seperti tiga ratus tahun, penceraian terlintas di otaknya. Apakah ini merupakan jalan keluarnya ia tidak tahu, akan tetapi ide ini semakin bagus di otakku.