Malam saat menunjukkan pukul 18.00, ponselnya bergetar. Ada pesan pendek masuk untuknya.
Hanya melihat nama itu dari layar, sudah membuat jantungnya berdebar-debar. Senyum mekar tak henti-hentinya menghiasi wajahnya yang ayu.
Gibran : Ketemu di mall, ya, Re. Ada hal penting yang mau aku bicarakan langsung sama kamu.
Pesan pendek itu seketika membuat Renata terbang dalam angan. Bertemu dengannya lagi adalah hal yang membahagiakan. Telah terulang ratusan kali dalam hidupnya, ia tak akan pernah bosan.
Renata : Oke. Nanti ketemu di counter skincare langgananku, ya. See you.
Secepat kilat, Renata mematikan komputernya, tak peduli jika pekerjaannya belum selesai. Bekerja lembur tidak ada dalam kamus hidupnya. Namun, menemui lelaki itu lebih penting dari apapun.
Sambil bersenandung senang ia mengeluarkan bedak, lipstik, dan sisirnya. Tidak mau menghabiskan waktu dengan pergi ke toilet, Renata memilih menyapukan make up tipis di wajah dari meja kerjanya. Tentu saja, ia ingin selalu terlihat cantik di mata Gibran.
“Mau kencan jam segini, Re?”
Nada suara itu terkesan sedikit menyindir di telinganya. Renata yang baru saja akan meninggalkan kubikelnya, hanya bisa melemparkan senyuman tanpa rasa bersalah. “Cuma ketemuan aja, kok?” jawabnya ringan. “Aku kerjain besok, ya, Mas.”
“Iya. Tapi harus selesai besok, ya, Re,” jawab Haris dengan sedikit penekanan."Ya sudah kamu hati-hati di jalan."
Seperginya Renata dari ruangan, Haris hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah salah teman satu divisinya.
***
Renata sibuk memilih beberapa produk perawatan kulit di gerai merek premium terkenal asal Prancis, didampingi satu pegawai toko. Tiba-tiba, ia terkejut saat pandangannya menggelap karena terhalang telapak tangan seseorang.
Dengan tangan satunya yang bebas, lelaki itu melingkarkan lengan ke pundak perempuan yang berdiri membelakanginya.
Renata merasa tertarik ke belakang hingga tertumbuk ke dada seseorang. Tanpa melihat siapa yang melakukan hal ini, ia tahu siapa pelakunya.
Hangat dekapannya, aroma maskulinnya, bentuk telapak tangan yang ia raba, ia tahu siapa lelaki yang berada di belakangnya.
Lelaki yang mampu menghentakkan ratusan joule hingga jantungnya bekerja ekstra cepat.
Lelaki yang tak pernah membuatnya bosan untuk kembali bertemu ribuan kali lagi.
Lelaki yang mampu menyuburkan bunga-bunga di hatinya.
Lelaki yang selalu berada di sisinya sejak ia masih duduk di bangku SMA hingga kini.
Senyumnya merekah. Gadis itu membayangkan hal yang ia dambakan keluar dari bibir lelaki itu. Mungkinkah Gibran akan melamarnya malam ini?
Senyum merekah lagi di bibirnya. Begitu juga rona kemerah-merahan di pipi.
"Udah, deh, Gibran, ini pasti kelakuanmu, kan?” tebak Renata dengan nada penuh keyakinan sambil memukul punggung tangan lelaki yang telah menjadi sahabatnya selama delapan tahun.
“Sakit tahu,” gerutu Gibran yang langsung membebaskan gadis itu dari sepasang tangan usilnya. Ia meniup-niup punggung tangannya yang baru saja dipukul Renata.
“Itu hukuman buat cowok usil kayak kamu," ejek Renata. Ia menatap wajah tampan sahabatnya meski harus mendongakkan kepala. Andai saja lelaki itu tahu dalam lembut tatapannya ada rasa sayang yang tak sanggup terucapkan.
“Meski usil, aku punya kepintaran yang berguna.” Gibran memuji dirinya sendiri dengan penuh percaya diri.
“Apa memang kepintaranmu itu?” tanya Renata sedikit mengejek.
“Aku bisa menemukanmu di tempat yang tepat, tanpa kamu repot-repot shareloc.”
Tawa Renata pecah. Tak peduli ada satu pegawai toko berdiri di belakang Renata, menunggu dengan setia salah satu pelanggannya selesai berbelanja.
“Wah, kalian berdua memang pasangan serasi. Semoga langgeng, ya, Kak,” kata pegawai toko yang akhirnya menyadarkan Renata untuk kembali berbelanja produk perawatan kulit lagi.
Renata dan Gibran hanya saling melempar pandangan bingung saat mendapat ucapan seperti itu.
“Re, Re," panggil Gibran sambil berkacak pinggang, "kamu belanja krim-krim sebanyak ini buat apa, sih?” Rautnya berubah menjadi lebih serius demi mengalihkan suasana kikuk ini. "Lagian, mukamu juga begini-begini saja dari dulu,” ejeknya sambil mendekatkan diri ke Renata untuk melihat lebih dekat wajah sahabatnya itu.
Dari jarak sedekat itu, keduanya bisa merasakan hembusan napas masing-masing.di wajah mereka. Tanpa Gibran sadari, tindakannya itu membuat Renata salah tingkah.
“Kalau kamu mau muji aku tetap cantik seperti waktu SMA, bilang aja. Minggir sana!” Renata mendorong Gibran agar sedikit menjauh darinya demi keselamatan jantungnya yang bekerja ekstra saat lelaki itu berada dengan jarak sedekat itu.
Dalam usaha menetralkan detak jantungnya, Renata memasukkan apa saja yang terlihat di hadapannya ke keranjang tak peduli dengan tagihan yang harus dibayarnya nanti.
"Sini, biar aku saja yang bayar,” tawar Gibran saat melihat Renata beranjak ke kasir. Ia tercengang dengan total belanjaan Renata yang mencapai puluhan juta. Sebagai lelaki, ia tak menyangka mengapa perempuan bisa menghabiskan uang hanya untuk produk perawatan kulit saja.
“Kamu mengejekku, ya?” Renata menatap Gibran sambil cemberut. "Kamu kira aku nggak mampu bayar? Jangan meremehkanku.” Gadis itu mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya untuk membayar belanjaannya sambil menggerutu. Kalau bukan karena Gibran mendekat ke arahnya, ia tak perlu sampai salah tingkah hingga membuatnya belanja sebanyak ini.
"Kalau gitu, aku traktir kamu makan sepuasnya. Kamu pasti kelaparan setelah belanja sebanyak ini,” ajak Gibran, lalu menggandeng tangan Renata begitu saja tanpa menunggu persetujuan sahabatnya.
***
Gibran memilih restoran Jepang yang juga menyediakan menu khas Italia. Mengenal gadis itu selama delapan tahun, ia tahu kalau Renata benci nasi dan makanan Indonesia. Entah makanan apa yang disuka perempuan itu.
"Aku mau Chicken Caesar Salad sama Watermelon Juice less ice," ucap Renata pada pelayan restoran usai membaca buku menu.
"Memang kenyang, Re?" Gibran terkejut dengan pilihan makanan Renata. "Dasar aneh. Aku yang traktir lho ini. Pesan semua sana!"
"Kamu tahu aku nggak suka makan, kan? Kalau kamu pesan semua, siapa yang makan?" tanya Renata balik.
Gibran mendecak kesal, lalu menyebutkan tiga makanan khas Jepang dari buku menu, dua macam pizza, satu pasta, dan tiga minuman. Masa bodoh siapa yang akan menghabiskan sembilan pesanannya, ia tak peduli.
"Banyak banget, sih, Gibran," protes Renata usai pelayan restoran pergi.
"Mungkin saja kamu berubah pikiran ingin makan," sahut Gibran ringan.
Benar saja, sudah hampir satu jam berada di restoran ini, Renata hanya menghabiskan sepiring salad dan jus semangkanya saja. Ia tetap bersikeras tidak mau makan apapun yang disuapkan Gibran padanya.
"Ayolah, Re, makan. Jangan kurus-kurus kenapa, sih?" Gibran akhirnya menyerah merayu Renata, sekaligus tak sanggup menghabiskan semua pesanannya. Ia memilih untuk meminta pelayan restoran untuk membungkus tiga makanan yang sama sekali belum tersentuh.
"Aku sudah kenyang, Gib. Masa' iya kamu paksa aku makan banyak."
"Jangan malu-maluin aku. Nanti dikira aku yang tega habisin makanan pacarnya," protes Gibran sambil mengelus perutnya yang kekenyangan.
Renata tertawa terpingkal-pingkal. "Iya, kamu cocok jadi pacar yang kejam sampai bikin ceweknya kurus kayak gini," tambahnya lalu tertawa lagi hingga perutnya sakit.
"Terus saja ketawanya. Siapa tahu kamu ntar lagi lapar," sindir Gibran yang masih mengambil posisi bersandar.
"Nggak akan. Aku masih kenyang, kok," balas Renata penuh kemenangan. Tawanya pun perlahan-lahan mereda.
"Oh, ya, Re, aku mau ngomong serius. Jangan ketawa. Awas aja." Gibran menegakkan tubuh usai puas bersandar karena kekenyangan.
Raut serius yang ditampilkan Gibran membuat Renata mulai salah tingkah.
"Renata Clarissa Gunawan," Gibran menatap lekat wajah gadis yang telah mengisi hari-harinya selama delapan tahun.
Jantung Renata kembali bekerja ekstra saat mendapat tatapan lekat dari lelaki di hadapan.
"Iya, ada apa Gibran Rahardian Wirawan?" Renata bertanya balik dengan tidak sabar. Mencoba menebak-nebak apa yang akan dikatakan Gibran padanya.
Apakah Gibran akan melamarnya? Renata bertanya-tanya dalam hati dengan harapan membentang luas. Sesuatu yang ia dambakan sejak lama.
'Would you marry me, Re?' teriak Renata dalam hati.
"Sejak kamu berisik tanya-tanya cewek mana yang aku taksir. Sepertinya aku harus kasih tahu kamu sekarang."
"Memang siapa yang kamu taksir? Semoga dia tabah menghadapi kelakuanmu yang usil setengah sinting."
"Sepertinya dia … bisa."
"Ya sudah, siapa cewek itu? Kamu lama amat, sih," protes Renata yang sudah tidak sabar.
'Tinggal bilang aku saja, susah amat,' protes Renata dalam hati. Ia punya alasan bisa yakin seperti itu karena selama ini Gibran hanya menghabiskan banyak waktu dengannya. Rasanya tak ada perempuan lain yang sedekat itu daripada dirinya.
"Dia …."
Perut Renata terasa seperti dipilin-pilin. Bahkan, jika Gibran nanti mengatakan 'kamu' atau menyebutkan namanya.