Terburu perempuan muda yang baru berusia dua puluh enam tahun itu menyiapkan sarapan. Nasi goreng kecap plus telur mata sapi tertata bagi sang suami, lantas ia pamit berangkat lebih dulu.
Amira beralasan kalau hari ini ia harus mengantar anak-anak lebih pagi karena perlu mencari beberapa perlengkapan tugas sekolah Aira, putri sulung mereka.
Faktanya, alih-alih berbelok ke toko perlengkapan sekolah, ia malah menuju ke pemukiman padat penduduk yang berjarak sekitar lima menit dari tempat tinggalnya.
Motornya berhenti di halaman rumah minimalis dua lantai.
“Mba Intan, nitip Aira ya.”
“Iya Ra, aman. Pulang sekolah nanti nggak usah buru-buru dijemput, biar Aira main dulu disini.”
Amira tenang menitipkan putri sulungnya disana. Selain dirinya akrab dengan Mbak Intan, Aira juga akrab dengan Mayang – anak bungsu Mbak Intan.
Perasaan tak tenang mulai menjalar manakala motor maticnya keluar dari pekarangan rumah Mbak Intan.
Ia melaju ke rumah orang tuanya untuk menitipkan Aidan si bungsu sekaligus menukar motornya dengan mobil.
Tak lama, ia kembali ke arah rumahnya sendiri dan berhenti ditempat yang cukup terlindung. Amira sengaja menunggu tak jauh dari jalan utama.
Jantungnya berdegup tak beraturan ketika mobil suaminya merambat melewati pintu gerbang komplek.
Mobil yang dikendarai Amira ikut menggelinding pelan di jarak yang aman. Ini bukan arah ke kantor suaminya!
Mau kemana Rangga sepagi ini?
Telapak tangannya mulai basah oleh keringat dingin. Beberapa kali Amira mengusapkan tangan ke celana kain yang pagi ini ia kenakan. Makin kencang saja ia menggenggam setir agar mobil tak hilang kendali
Didepannya, Rangga mulai alih jalur, makin ke kiri, makin menepi.
Degup jantung Amira makin menjadi-jadi.
Ia terpaksa berhenti sebentar karena Rangga berbelok memasuki kawasan perumahan yang sepi. Bagaimanapun, suaminya pasti akan mengenali mobil orang tuanya.
Waktu mendadak terasa lama dan menyiksa saat ia menunggu. Tiga menit, mungkin kurang dari itu, mobil yang dikemudikan Amira kembali merambat maju.
Kakinya langsung menginjak rem melihat mobil sang suami tak bergerak di depan sebuah rumah.
Sengaja ia parkir di seberang jalan, agak jauh agar tak ketahuan.
Amira menahan napas. Jantungnya seolah terlepas dari rangkanya ketika seorang wanita dan seorang anak balita keluar dari rumah, kemudian bersama-sama memasuki mobil suaminya.
Banyak orang bilang kalau dirinya memiliki pribadi yang easy going dan tak suka kepo apalagi sampai mencampuri urusan orang lain.
Itu benar. Akan tetapi, hal itu tak hanya berlaku pada urusan orang lain. Kepada suaminya pun Amira berlaku sama. Hanya saja, alasannya bukanlah karena ia easy going melainkan karena ia percaya, sangat percaya pada Rangga , suaminya tercinta.
Amira menatap rumahnya yang kosong melompong. Rumah yaang dibelikan Rangga di tahun ketiga pernikahan mereka.
Ia merasa menjadi pengecut karena tak meneruskan laju mobilnya membuntuti mobil Rangga tapi malah memutar arah untuk pulang.
Toh Mbak Intan sudah berpesan supaya Aira nggak usah buru-buru dijemput.
Perlahan Amira duduk termangu di sofa ruang tamu. Pikirannya digerogoti asumsi yang ia luruskan kembali dengan susah payah.
Mungkin itu hanya kolega, ujarnya meski hati membantah.
Perempuan muda itu mengalihkan pandang ke jam dinding. Hampir jam sepuluh, ia tegarkan kembali hatinya, diraihnya kunci mobil.
Tak butuh waktu lama untuk menukar mobil dengan motornya, sekalian menjemput Aidan dari rumah kakek dan neneknya.
Amira mengajak putra bungsunya untuk menjemput si kakak walaupun waktu pulang sekolah masih sekitar satu setengah jam lagi.
“Aira suka ayam tepungnya?”
Gadis cilik itu mengangguk. Bola matanya yang bening beralih menatap adik lelakinya. “Aidan suka suka tepungnya aja Bunda.”
Amira tertawa kecil sembari mencuil sedikit daging ayam. Ia selipkan cuilan itu ke dalam kepalan nasi untuk Aidan. Si sulung sudah bisa makan sendiri sementara si bungsu masih harus disuapi.
Sebenarnya Aidan selalu dibiasakan makan sendiri di rumah tapi di tempat umum seperti ini, Amira memilih menyuapi si bungsu supaya lebih cepat dan nggak terlalu berantakan.
“Gimana di sekolah tadi kak? Senang?”
Aira mengangguk. Mulut mungil yang masih penuh makanan itu bergerak mengunyah lebih cepat karena tak sabar untuk menceritakan apa yang terjadi di kelasnya hari ini.
Bukan hal yang mudah bagi Amira untuk berkonsentrasi menyimak penuturan si sulung. Senyum tipisnya mengembang. Ia tak ingin mematahkan semangat Aira meski kepalanya masih saja dipenuhi pemandangan pahit pagi tadi.
Amira menghela napas dalam.
Setelah Itu duduk di Sofa,
Sambil memegang segelas kopi susu
Amira terdiam termenung memikirkan kejadian hari ini,,
Dan masih berusaha untuk berfikir positif,
Bahwa yang dia liat hari ini,
hanya prasangka
yang terlaLu berlebihan
Amira berusaha yakin dan percaya
Bahwa Rangga tidak mungkin melakukan hal itu lagi.
Sebelum menikah dengan Rangga Amira tau Betul sifat calon suami nya ini tapi amira Percaya bahwa setelah menikah Rangga,
akan berubah dan menjadi sosok,
yang sangat menyayangi istri dan anak anak nya nanti,tapi firasat Amira kadang tak pernah salah,
Firasat seorang istri kepada suami itu, Sangatlah kuat jika timbul firasat yang Kurang mengenakan di dalam hati Amira Selalu ingin mencari tau,,
Upss tak terasa kopi Yang Amira Pegang menjadi dingin,,
Uhhh apa Yang saya lamunkan sih dalam hati ayoo,,
Amira ini hanya firasat kenapa jadi semakin Overthinking gini sihh,,
Amira beranjak dari sofa nya,
melihat Aira dan Aidan
sudah tertidur dikamarnya sementara Amira Masih menunggu Rangga,
Ya hari ini dia Lembur jadi pulang agak malam,
Amira Menyiapkan makan malam untuk Rangga,
Nasi Goreng Ayam kesukaan nya,
Setelah masak makan malam untuk suaminya,
Amira membersihkan diri mencuci muka dan, Berganti pakaian.
Jam 9 malam Rangga belum Juga pulang kerja,
Pikiran sudah mulai kemana kemana,
Amira langsung menelpon Rangga, menanyakan dia sudah sampai mana,
Ya halooo bunn,,
Halooo yah kamu dimana kok jam segini belum pulang sih,
Iya ini sudah dijalan kok,
Tadi ayah isi bensin antri gitu,
Ohh gitu yaa,,
Ya udah kalau gitu hati hati
oke bunda Dah,,
Dah yah,,
Amira menutup telpon nya,
tapi dalam hati berkata apa iya Rangga telat pulang karna antri di Pom Bensin
Lagi lagi firasat Amira tidak enak,
Nggak yakin kalau Rangga telat karna antri di Pom bensin,,
Duh Raa cukup dehh,kenapa jadi overthinking Kaya gini sih,ini gara-gara
yang Amira liat hari ini,
Firasat yang selama ini Amira abaikan, Perlahan menunjukkan kebenaran nya.