Angin sore bertiup lembut saat Nasya keluar dari gedung kantornya. Jalanan terlihat sudah mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan karena ini sudah mulai jam pulang kantor. Matanya berkeliling mencari sosok Arya, pacarnya, yang sudah berjanji akan menjemputnya sepulang kerja. Namun, setelah mengedarkan pandangan, sosoknya belum terlihat dimanapun. Dia melihat jam tangannya, menunjuk pukul lima lebih lima belas menit. Tak sabar, Nasya pun mengambil ponselnya dan segera menelpon Arya.
"Assalamu'alaikum, Mas," ucap Nasya saat panggilan tersambung. Terdengar jawaban salam dari seberang.
"Mas Arya, kamu di mana?" cecar Nasya.
"Aduh iya maaf, Nas, aku telat jemput nih kayaknya. Masih lembur di kantor. Kamu mau gimana pulangnya?"
Nasya mendengus kesal.
"Kamu sendiri loh tadi yang nawarin jemput aku pulang. Emang sampe jam berapa lemburnya?" tanya Nasya, mukanya bersungut-sungut.
"Dadakan ini lemburnya. Bentar lagi sih paling kelar, ini nunggu diapprove sama Bas. Gini aja deh, kamu tunggu di kafe seberang kantormu aja gimana?"
Nasya melirik ke arah kafe yang dimaksud Arya.
"Hmm, oke lah. Aku tunggu di sana ya, tapi jangan lama-lama," ucap Nasya sambil menutup telepon.
Nasya memasukkan ponselnya ke dalam tas dan bergegas menuju ke kafe. Dia beberapa kali berkunjung ke kafe ini saat jam makan siang atau menunggu jemputan Arya seperti ini.
Kafe ini tidak terlalu besar, konsepnya minimalis modern. Mungkin memang pangsa pasarnya untuk anak muda pegawai kantoran di gedung sekitar kafe. Nasya menuju ke area terbuka di bagian belakang kafe yang taman buatan yang menyegarkan mata, beberapa kursi kayu cantik ditata mengelilingi taman berhiaskan lampu dan kolam ikan kecil lengkap dengan air terjun dindingnya. Suara gemericik air seakan membasuh lelah para pekerja kantoran yang datang.
Nasya sudah memesan menu favorit mereka berdua. Gadis berjilbab itu menyesap kopi yang dipesannya sambil terus menatap pintu kafe. Berharap Arya akan segera datang dari balik pintu itu.
Tak ada kabar lagi dari Arya sejak setengah jam yang lalu. Pesan terakhir yang dikirim Nasya hanya dibaca tanpa ada balasan. Dia mendengus kesal.
"Tau gini aku pulang naik KRL saja tadi," gumam Nasya sambil melihat jam tangannya lagi.
Saat menatap ke arah taman untuk mengusir rasa kesalnya, pandangannya terpaku pada sosok lelaki yang duduk di meja seberang.
Sepersekian detik Nasya hanya terdiam. Lelaki itu mengingatkannya pada sosok yang dia kenal di masa lalu. Kulit putihnya, rambut hitam dengan belahan khas yang dia ingat, dan tentu saja lesung pipinya yang selalu muncul saat lelaki itu tersenyum. Mendadak sebersit rasa yang pernah terpendam, terasa meluap lagi.
Lelaki itu tersenyum ke arah Nasya, membuatnya tersentak kaget.
Saat Nasya masih berusaha mengatur hatinya yang tak karuan, lelaki itu menghampiri Nasya ke mejanya.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya.
"Hah? Ah, ya, boleh silakan aja," jawab Nasya canggung.
"Apa kabar, Nasya Dewanti?" tanyanya dengan menyebut nama lengkap Nasya.
Suara itu masih sama seperti yang Nasya dengar beberapa tahun lalu, sebelum mereka berdua lost contact.
Ah lebih tepatnya, Nasya yang memutuskan komunikasi mereka secara sepihak.
"Hah? Ah, kabarku ya? Aku baik, seperti yang kamu lihat sekarang," jawab Nasya masih terbata. Rasa canggung dan cemas bercampur dalam dirinya. Sempat dia melirik ke arah pintu, takut Arya tiba-tiba datang dan melihat dia berduaan dengan lelaki asing.
"Kamu lagi nunggu seseorang ya? Pacarmu?" tanyanya lagi.
"Hmm ... Iya, kami janjian di sini sepulang kerja. Ah, apa kabar, Handi?"
"Kukira kamu lupa namaku, Nas," ujarnya sambil tersenyum, menampakkan lesung pipinya yang khas sekali lagi.
Nasya terdiam sesaat. Pertemuan mendadak ini membuat batinnya terasa bergejolak. Ternyata masih ada perasaan yang tersisa yang belum selesai dalam hati Nasya.
"Nas? Kok bengong?" tanya Handi.
"Eh maaf, Han, aku kaget aja bisa ketemu kamu di sini. Hehe. Kamu kerja di kota ini sekarang?" Pertanyaan klise yang paling mudah terlontar saat bertemu orang yang lama tak ditemui, apalagi setahu Nasya, Handi dulu tidak bekerja di kota ini.
"Iya, aku kira-kira ya baru setahunan lah dipindah ke kantor cabang di kota ini. Oh iya, kamu akhirnya boleh merantau?"
Handi mengingatkan Nasya pada alasan perpisahan sepihak mereka.
"Haha, iya boleh. Setelah aku nekat melamar pekerjaan di sini dan diterima, tentu mau nggak mau mereka mengizinkanku pergi."
"Nomermu masih sama?" Pertanyaan tiba-tiba Handi membuat hati Nasya berdebar kembali.
"Oh, udah ganti. Hangus dulu, lupa nggak isi pulsa, hehe."
Handi menyodorkan ponselnya ke depan Nasya.
"Buat apa?" tanya Nasya pura-pura tak paham.
"Biar aku bisa kontak kamu, boleh kan? Pacarmu nggak marah kan?"
Nasya menatap lelaki yang terdengar sangat percaya diri di depannya ini.
"Kamu sudah punya pacar?" Nasya balik bertanya.
"Sudah. Gimana? Kan kita berdua ini cuma temenan. Boleh kan?"
Kalimat yang dilontarkan Handi terasa masuk akal di telinga Nasya.
"Ah iya oke kalo gitu," ucap Nasya sambil mengetikkan nomernya di ponsel Handi.
"Nanti kuhubungi ya. Aku duluan, ada janji sama teman," ujar Handi sambil melambaikan tangan dan beranjak pergi.
Nasya hanya mengangguk dan menatap punggung Handi yang berjalan menjauh. Tanpa dia sadari, Arya sudah berjalan menuju ke arahnya.
"Sayang, maaf aku lama ...," ujar Arya setelah duduk di depan Nasya. Nasya memasang muka sok cemberut, tapi otaknya sudah mulai dipenuhi oleh Handi.
(bersambung)