Screaming, Deceiving, and Bleeding For You

Screaming, Deceiving, and Bleeding For You

YouraMuriz

4.8


“Than, kamu salah paham. Kenapa, sih nggak bisa percaya sama aku?” ucapku sambil menahan air mata yang mulai meggenang. Kalau dia nggak lebih tampan dari Song Kang, mungkin aku takkan berjuang keras sampai hari ini.


“Salah paham atau bukan, itu nggak akan mengubah apa pun.” Ethan meninggalkanku di kamarnya. Sebuah ruangan minimalis yang merupakan kamar Ethan di rumah orang tuanya sebelum kami menikah. Perlahan kukipasi mataku dengan telapak tangan agar air mata sialan itu mengering di tempatnya, jangan sampai mengalir membasahi pipi. Jangan sampai.


Meski sulit, aku pasti bisa meyakinkannya bahwa apa yang dia pikirkan tentangku selama ini salah. Dia harus tahu apa yang kulakukan selama ini demi kebaikannya. Juga untuk kebahagiaanku. Aku tak peduli jika dia menganggapku egois.


Di luar sana Aca, adik Ethan sekaligus sahabatku sedang merayakan ulang tahun putrinya yang ke lima. Suara riuh nyanyian happy birthday dari keluarga ayah Rudi -mertuaku- sayup-sayup terdengar.


Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Aku tak ingin terlihat menyedihkan di hari bahagia sahabatku satu-satunya itu.


Setelah kurasa tidak ada air mata yang menggenang, aku menatap wajah di cermin. Merapikan rambut dan menambahkan sedikit bedak di sekitar mata. Kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar. Kembali ke rutinitas harian sebagai istri Ethan.


“Cantik sekali menantu bunda ini,” ucap Bunda Diana yang menyambutku dengan senyum lebarnya. Dirangkulnya bahuku yang dilapisi gaun hijau tosca menuju kerumunan keluarga.


“Bunda bisa aja."


“Beneran lho, malam ini kamu cantik sekali.”


“Yona setiap detik cantik Bunda..” kataku tak mau kalah. Di keluarga ayah Rudi aku adalah menantu kesayangan. Bagi Aca aku adalah sahabat karibnya, bagi Devan –suami Aca- aku adalah penolongnya ketika mereka bertengkar.

Namun bagi Ethan aku tidak pernah ada. Seolah tidak tampak di matanya.

Bunda selalu membanggakan aku sebagai menantu perempuannya yang tercantik dan terbaik di hadapan keluarganya. Begitu pula Ethan yang kompak dengan Bunda dalam hal menyanjung di hadapan orang banyak. Bedanya Bunda benar-benar tulus memuji sedangkan Ethan hanya sekadar basa-basi. Bibirnya yang seksi itu manis sekali kalau di depan orang.


“Lo kenapa, sih? Masih berantem sama abang gue?” tiba-tiba saja Aca menghampiriku dan menyodorkan segelas jus jeruk.


“Enggak.”


“Bohong. Gue tahu lo tadi abis nangis.”


Benar sekali. Aca memang tak pernah bisa dibohongi. Entah dia yang terlalu sensitif atau suka negatif thinking, tiap ada apa-apa belagak sok tahu ada apa-apa. Padahal ya memang ada apa-apa sih.


“Yaelah. Beneran enggak, Ca. Ngapain gue nangis.” Aku menyesap jus jeruk yang diberikan Aca tadi. “Gue nggak nangis, air matanya gue keringin di mata,” kuakui dengan jujur apa yang kurasakan pada Aca. Namun tetap saja ada hal-hal yang tidak kubagi dengan ibu satu anak itu.


Agar Aca tak khawatir lagi, aku mencoba mengelus bahunya dan menyuguhkan senyum palsuku. Dengan kepalsuan semua pasti beres. Tidak akan ada yang tahu apa yang sedang kurasakan.


Tak lama kemudian kulihat Ethan melambaikan tangannya dari pintu dapur. Aca yang melihatnya tentu saja tak melarangku untuk segera menghampiri pria tampan yang sudah dua minggu ini menjadi suamiku. Suami yang sangat ingin kurengkuh dalam pelukku saat ini juga demi meredam rasa sakit di hatiku, meski aku tahu itu takkan mungkin bisa.


“Pulang,” kata Ethan setelah aku berada di dekatnya. Direngkuhnya pinggangku dengan lengan kekarnya, lalu berjalan menuju sofa tempat bunda Diana dan ayah Rudi duduk untuk berpamitan.


“Bunda, kami pulang dulu. Sudah malam,” ucap Ethan sembari melepas tangannya dari pinggangku, lalu membungkukan tubuhnya  dengan tangan terlipat di depan dada.


“Lho kok nggak nginap aja, sih?” komentar Bunda seperti tidak rela kami berpamitan.


“Lain kali saja, Bunda.”


“Mbak Diana seperti nggak tahu aja pengantin baru. Nggak bisa berduaan kalau nginap di sini,” timpal seorang wanita paruh baya yang merupakan adik dari bunda Diana.


“Baiklah, baiklah. Bunda ngerti. Sudah pamit sama adek belum?”


“Sudah.”


Pembohong. Aku tahu di hadapan orang-orang Ethan sangat pintar sekali berpura-pura dan berbohong. Jangankan pamit, sejak kedatangan kami di rumah ayah Rudi Ethan selalu menghindari Aca. Mungkin dia tidak ingin adiknya itu ikut campur dalam masalah kami. Entahlah. Aku tak peduli.


Dalam perjalanan pulang kami hanya terdiam tanpa berniat membuka suara. Salah satu hal yang menyakitkan dalam pernikahan adalah tak diinginkan oleh orang yang kita cintai.


Sesekali aku melirik Ethan dari ujung mata. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis itu selalu menjadi candu sejak sepuluh tahun yang lalu.


“Bang,” panggilku lirih setelah kami sampai di rumah. Panggilan yang telah lama kulupakan semenjak pernikahan kami.


“Jangan panggil gue abang lagi. jijik gue dengernya,” kudengar Ethan berkata kasar. Panggilan “Lo” itu seperti mengingatkanku pada masa dulu. Namun aku berusaha untuk tak memasukannya ke dalam hati. Aku bersumpah akan membuat pria itu bertekuk lutut di hadapanku.


Dengan senyum menggoda, kulingkarkan tanganku di bahunya. “Kalau gitu aku panggil Ethan Sayang...” kataku sengaja dengan suara berbisik di telinga kanannya. Aku percaya lelaki mana pun akan luluh kalau di kasih sentuhan lembut.


Sayangnya cara itu sepertinya tak membuat Ethan goyah sedikit pun. Dia malah mendorong dahiku dengan jari telunjuknya dengan kasar. “Gue udah kasih lo status sebagai istri seperti yang lo inginkan. Tapi selamanya lo bukan orang yang gue inginkan.”


Ethan memasuki kamarnya sambil membanting pintu dengan keras dan membuat sakit di hatiku kembali terasa. Aku menginginkannya, tapi bukan pernikahan seperti ini yang kuinginkan.