“Pertemanan cowok dan cewek itu cuma hoaks.
Salah satu dari keduanya pasti ada yang baper.”
— Rigel (yang lagi senewen gara-gara coding-an eror)
Hanya tinggal menunggu waktu sampai Rigel berubah menjadi zombi kampret mengenaskan.
Sejak empat jam lalu, Rigel duduk di depan laptop dengan mulut menganga, mata memerah, jari-jari mengeriting, dan rambut acak-acakan. Ia telah menandaskan dua kaleng soda. Keripik kentang dan kacang goreng yang ia beli kemarin juga sudah ludes. Namun, coding-annya masih belum benar juga.
Tidak ada pesan kesalahan apa pun. Program yang Rigel buat berhasil di-compile. Masalahnya, bukan output seperti itu yang seharusnya muncul. Ibarat kata, ia ingin menampilkan prakiraan cuaca, tetapi yang muncul malah prakiraan jodoh.
Rigel yakin algoritma program yang ia buat sudah benar. Itu artinya, source code-nya yang bermasalah. Masalahnya, ia tidak tahu di bagian mana salahnya. Padahal, ia sudah mengecek script tersebut satu per satu, per baris, sampai matanya juling.
Baru kali ini Rigel dibuat uring-uringan hanya karena sebuah program.
“Kampret!” Rigel mengacak rambutnya dengan gusar. Kalau tidak ingat bagaimana usaha berdarah-darahnya dalam membeli laptop itu, sudah ia banting benda yang membuatnya senewen itu sejak tadi.
Dan, di saat emosi Rigel sedang menggunung, tahu-tahu ponselnya berdering. Ia berdecak keras. Berani-beraninya ada orang meneleponnya di saat ia siap meledak seperti sekarang.
Siapa sih? Ganggu aja. Belum pernah ngerasain di-smash Kevin Sanjaya, hah? batin Rigel kesal.
Rigel berencana me-reject panggilan itu. Namun, begitu melihat nama ‘Mishty Jelek’ terpampang di layar ponsel, rencana itu seketika batal.
“Apa?” tanya Rigel malas-malasan.
“Rigel, gue diputusin Allen.” Rigel mendengar isak tangis cewek itu.
Mendengar informasi tersebut, senyum Rigel otomatis tersungging—seolah ia baru saja memenangkan undian berhadiah mobil mewah. Seketika, program yang membuat cowok itu uring-uringan selama beberapa jam terakhir menjadi tidak lagi penting di matanya. Segala unek-unek yang berkecamuk di hatinya seolah hilang tersapu angin.
Kalau tidak ingat pinggangnya sedang encok, Rigel pasti sudah koprol saat ini juga sambil teriak sekencang-kencangnya pakai pengeras suara. Karena tidak bisa melakukan itu, ia memilih bangkit berdiri sambil mengepalkan tangannya yang bebas ke udara.
Mishty PUTUS! Akhirnya doa-doa yang gue panjatkan selama ini diijabah juga. Ini yang namanya rezeki anak saleh. Rigel membatin sambil mesem-mesem tidak jelas.
“Karena lo adalah teman terbaik gue, lo mau nolongin gue, kan? Please….”
Mendengar itu, senyum Rigel langsung berubah kecut, seolah ia baru saja menelan satu buah lemon utuh. Mishty benar-benar tahu bagaimana caranya memainkan perasaannya.
Dari pengalaman terdahulu, kalau Mishty menelepon Rigel sambil sesenggukan, itu artinya Mishty baru saja putus dari kekasihnya. Kalau sudah begitu, dalam hitungan detik, cewek itu akan meminta Rigel menjemputnya.
“Rigel, bisa jemput gue sekarang? Gue lagi di Primrose. Gue nggak yakin bisa pulang sendiri dengan kondisi gue yang kayak gini.”
Satu desahan lolos dari bibir Rigel. “Apa? Jemput lo? Males gila.”
Rigel menjauhkan ponsel dari telinga ketika mendengar lengkingan Mishty yang menyerupai kucing mau beranak. Kadang, ia tidak habis pikir bagaimana Mishty masih bertingkah seolah cewek itu adalah anak SMA berusia 16 tahun alih-alih mahasiswi berusia 20 tahun.
Rigel benar-benar membenci Mishty dan segala sifat manjanya. Dan, ia lebih membenci dirinya yang masih belum kebal dengan hal itu.
Setelah satu desahan panjang, Rigel berkata, “Iya... iya... gue jemput lo sekarang. Jangan ke mana-mana. Awas aja kalau sampai lo ngilang. Gue pencet jerawat di dahi lo!”
Begitu panggilan itu berakhir, Rigel bengong selama beberapa detik seperti cowok bego. Oh, koreksi. Bukan ‘seperti’ cowok bego lagi. Ia ‘memang’ cowok bego, yang dengan sukarela menjadi bucinnya si Mishty.
Omong-omong soal bucin, saking sudah terverifikasinya kadar kebucinan Rigel ke Mishty, cowok itu yakin kalau ada mata kuliah Perbucinan, ia akan mendapat nilai A. Entah apakah itu sesuatu yang patut dibanggakan atau tidak.
Setelah mematikan laptop, Rigel bergegas mengambil jaket dan kunci motor. Seperti yang sudah-sudah, ia akan hadir sebagai pahlawan kemalaman, yang bertugas menghibur Mishty yang lagi galau karena putus cinta.
Entah sampai kapan Rigel harus menjalankan tugas kampret macam ini.
***
Satu jam kemudian, setelah menghabiskan berlembar-lembar tisu dan sekotak susu rendah lemak, tangis Mishty reda. Di sebelah cewek itu, Rigel duduk dengan satu kaki disilangkan dan tangan yang sibuk mengeruk harta karun di dalam hidungnya.
Mereka berdua sedang duduk di ayunan besi bercat putih yang ada di halaman belakang rumah Mishty. Mereka sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini sejak mereka masih kecil. Bisa dibilang, tempat ini memorable sekali untuk Rigel.
“Kenapa nasib gue gini amat sih? Harus berapa kali gue ngalamin patah hati?” gumam Mishty. Bibirnya manyun. Tatapan matanya berubah sendu. “Padahal, gue pikir Allen itu cowok yang ditakdirin Tuhan buat gue. Tapi, kenyataannya? Dia nggak ada bedanya kayak mantan-mantan gue sebelumnya.”
Mishty mulai mengoceh dan Rigel mulai menguap. Jujur saja, Rigel bosan kalau Mishty bercerita panjang lebar soal cowok—atau mantan cowoknya. Seolah tidak ada hal lain yang lebih berfaedah untuk diceritakan saja. Telinganya panas kalau Mishty membahas cowok lain selain dirinya.
“Kapan sih kisah cinta gue bakal happy ending kayak di novel-novel romance yang sering gue baca?”
Pertanyaan yang sama juga terlintas di benak Rigel. Entah kapan ia tak lagi makan hati, dan mendapat happy ending untuk kisah cintanya.
“Rigel, lo dengar cerita gue nggak sih?” Mishty memukul pelan bahu Rigel. Bibirnya makin maju beberapa senti. Kedua pipinya ikut menggembung.
“Lo pikir ngapain gue masih ngejogrok di sini kalau nggak dengerin cerita lo?” Rigel menyentil dahi Mishty dengan gemas.
“Terus kenapa lo cuma diem? Kasih saran, kek. Atau apa gitu yang bikin hati gue tenang.”
Rigel mengubah posisi duduknya supaya ia bisa berhadapan dengan Mishty. Setelah satu helaan napas, ia merangkup kedua pipi Mishty supaya cewek itu menatapnya. “Emangnya kehadiran gue di sini belum cukup bikin hati lo tenang?”
Beberapa detik berlalu sebelum kemudian Mishty menguraikan kedua tangan Rigel dari pipinya. “Mulai deh bercandanya. Gue serius, Rigel.” Ia kembali memukul bahu Rigel.
Kenapa lo pikir gue bercanda, Mish? Emang muka gue kayak orang lagi bercanda? Apa lo nggak bisa lihat keseriusan di sorot mata gue? Rigel ingin mengatakan kalimat itu, tetapi pada akhirnya ia memilih untuk menyimpannya dalam hati.
Rigel mengubah posisi duduknya ke posisi semula. Sambil menatap tanaman di depannya, ia kembali meneruskan kegiatannya mengeruk harta karun di dalam hidungnya.
“Ya ampun, Rigel, udah gue bilang berapa kali sih untuk nggak ngupil sembarangan? Jorok, ih!” Kali ini, Mishty mencubit lengan Rigel.
“Enak, tahu, Mish. Bikin nagih. Mau gue ambilin upil di hidung lo?”
Mishty melemparkan tatapan jijiknya. “Jangan harap. Dasar cowok sinting,” gumamnya, sambil geleng-geleng. Namun, setelahnya, ia tersenyum juga. “Apa salah gue sih sampai harus kenal sama cowok sejorok lo?”
Senyuman Mishty membuat Rigel tidak bisa berkedip selama beberapa saat. Yah, cowok itu memang belum kebal juga dengan senyum maut Mishty—yang selalu berhasil membuat hatinya lumer. Sungguh, Rigel rela menukar apa pun yang ia miliki demi bisa melihat senyum manis itu setiap harinya.
Mishty mengambil sesuatu dari dalam tas. “Bersihin tangan lo pakai tisu basah. Upil tuh mengandung banyak kuman, Rigel. Jari-jari lo yang habis lo pakai ngupil bisa menyebarkan berbagai virus.”
Mishty dan sifat clean freak-nya benar-benar membuat Rigel puyeng. Tidak mau memperpanjang omelan cewek itu, Rigel menerima selembar tisu basah tersebut.
“Kata Allen, gue egois. Gue selalu minta diprioritaskan, tapi nggak pernah prioritasin dia.”
Pergerakan Rigel membersihkan tangan dengan tisu basah terhenti. Perubahan arah pembicaraan ini membuat cowok itu hanya bisa diam. Apalagi ketika ia melihat sorot mata Mishty yang kembali meredup.
“Apa gue seegois itu, ya? Mantan-mantan gue pada bilang gitu soalnya.” Mishty menatap Rigel, seolah meminta jawaban atas pertanyaannya barusan.
Sejujurnya, Rigel paling malas kalau Mishty sudah mengajukan pertanyaan menjebak seperti itu. Kalau ia jawab ‘ya’, cewek itu pasti akan mengambek tiga hari tiga malam. Sementara, kalau ia jawab ‘tidak’, cewek itu pasti langsung menuduhnya berbohong.
Yah, cewek memang seribet itu. Lebih ribet dari pemrograman Java, bahkan. Rigel sangat memahami hal itu.
“Sekarang, mending lo cuci tangan, cuci kaki, terus tidur. Nggak usah mikirin cowok sompret itu lagi. Mubazir. Lo pantas mendapatkan yang lebih baik dari dia.” Gue, misalnya.
Rigel hanya bisa tersenyum getir menanggapi apa kata hatinya.
Mishty mengangguk. Sorot matanya perlahan mulai berbinar kembali. Senyumnya merekah. “Thanks, ya, udah mau nemenin gue. Lo emang teman gue yang paling baik.”
Rigel berusaha tersenyum senatural mungkin, walau hatinya ingin protes sekencang-kencangnya—pakai pengeras suara masjid, kalau perlu.
Ah, memangnya, apa yang Rigel harapkan? Dari dulu, Mishty memang hanya menganggapnya sebagai teman.
Ya, benar. Teman.
Betapa Rigel ingin mengunyah kapur barus tiap kali mendengar istilah kampret itu.
***