Satu Hari di SMA

Satu Hari di SMA

Dina Pertiwi

4.6

To : [email protected]

From: [email protected]

Date : 24/11/2020

Subject: Reuni Akhir Tahun

Assalamu’alaikum. Hai, Han, long time no see. How’s life? Amazing?

Ini Hilda dan cuma mau menyampaikan amanah dari panitia Reuni Akbar SMA Gemilang Utama. Akan diadakan reuni tanggal 14 Desember bulan depan. Hope see you there. Buat Haru, Hiro dan Irza, kalian harus datang. Undangan kalian semua ada di aku.

Ps. Gue harap kita berlima kumpul lagi.

Ps.s. teruntuk Hana, gue denger dia juga akan datang.

Regards,

Hilda Wardah Gustari

***

“Dari siapa?”

“Hem?” aku menoleh ke asal suara dan mendapati suamiku baru keluar dari kamar mandi apartemen dengan pakaian lengkap dan handuk di kepala. Dia mengintip laptop di depanku sambil mengeringkan rambutnya secara serampangan. Air di kepalanya menetes kemana-mana.

“Oh, Hilda. Tau dari mana dia email kamu?”

“Keringin yang bener, sih, rambutnya,” tegurku kepadanya. Dia tersenyum jahil dan merengek manja.

“Keringin dong.”

Ew, my sweetie husband.

Aku ikut tersenyum dan mengambil handuk yang dia ulurkan. Dia duduk di depanku supaya aku lebih mudah mengeringkan rambutnya dan dia lebih mudah menukangi laptop.

“Reuni sekolah gimana? Udah lama juga, kan, kita enggak pulang?” Dia memulai obrolan setelah membaca email dari Hilda, sahabat terbaikku di SMA. Sementara aku mulai mengeringkan rambutnya.

“Baru lebaran kemarin kita pulang,” kataku. “Lagian males, ah, ikut begituan. Buat apa sih?”

“Buat temu kangen. Menyambung silahturahmi yang terputus, Yang. Kamu memangnya enggak kangen sama sekolah? Udah hampir enam tahun lulus. Kita ikut, yuk?”

Aku tidak menjawab. Setelah selesai mengeringkan rambutnya dan berdiri dari kursi, aku bermaksud menjemur handuk di balkon. Suamiku sendiri pindah duduk ke tepi tempat tidur. Kami sama-sama diam.

“Kamu takut ketemu dia lagi?”

Aku menghentikan gerakan menjemur sebentar, terlalu terkejut akan kalimat frontalnya. Kemudian menghela napas dan kembali menjemur sambil melirik dia sekilas yang sedang menyalakan televisi.

“Ngomong apa, sih, Yang?”

Dia mengangkat bahu, “Ya kali aja, kan? Siapa tahu?”

Aku menggenggam tepi handuk di jemuran sekilas dan membalikkan tubuh menghadapinya yang sekarang sedang menekan-nekan tombol remot dengan wajah tegang.

“Kamu mau ajak aku ke acara reuni atau mau ajak berantem?”

“Bukan gitu maksudku.” Dia meletakkan remot dan melihatku, “Aku tahu ada banyak hal yang perlu kamu selesaikan sama dia. Ada banyak hal yang perlu kamu bicarain, kan? Aku yakin beberapa tahun belakangan kamu masih mikirin dia. Iya, kan?”

“Enggak ada. Kamu tahu persis cerita aku sama dia itu gimana, kan? Memang ada hal-hal yang enggak jelas, tapi ya udah. Itu cuma sebagian kecil dari masa SMA-ku, enggak lebih.”

Tatapan suamiku melembut. Dia tersenyum.

“Tepat, ada hal-hal yang memang harus diperjelas. Kamu masih perlu ketemu dia, Sayang.”

“Buat apa?” tanyaku lagi, lelah.

Sungguh, aku tidak suka jika dia mulai keras kepala dan mengungkit-ungkit masalah itu. Maksudku, itu sudah lewat dan menjadi masa lalu. Dia yang kami bicarakan sekarang bahkan tidak pernah menjadi kekasihku dulu, dan suamiku tahu itu. Kami hanya pernah bertemu di SMA dan saling melupakan begitu kami berpisah.

Suamiku berulang kali memaksaku untuk bertemu lagi dengannya dan mencaritahu ulang tentang dia lagi. Itu sering membuatku kesal dan akan berakhir dengan pertengkaran kami berdua.

“Buat aku. Supaya aku enggak ngerasa kalau ini cinta yang bertepuk sebelah tangan, Hana.”

Dan kami bertatapan sejenak. Dia berdiri dan melangkah mendekatiku. Perlahan-lahan, dia memelukku lembut, “Lagian, aku yakin kamu sebenarnya juga pengen ada di reuni itu. Kamu cuma merasa enggak enak sama aku. Ya, kan?”

Dia mengelus-elus rambutku lembut.

“Kita datang, ya?”

***

Aku mengambil salah satu buku yang berada di tumpukan di atas lemari. Binder masa SMA-ku yang sudah sangat berdebu sebab tidak lagi pernah kubuka. Suamiku masih ada di dalam kamar, melihat pertandingan sepak bola di ESPN. Aku tidak terlalu suka acara olahraga, jadi aku memutuskan untuk berada di perpustakaan kecil kami. Lagipula, aku sedang merajuk kepadanya.

Ayolah, kami sudah menikah setahun dan dia masih mengungkit hal yang sama. Untuk apa?

Halaman pertama binderku berisi hal yang sangat khas anak SMA, biodata pemilik. Biodata diri yang jika kubaca di usiaku ke 25 ini, akan membuatku mulas dan ingin muntah. Demikian pula halaman kedua, ketiga, keempat dan kelima adalah biodata sahabat-sahabatku. Apa yang mereka tulis pada usia 15 benar-benar lucu.

Aku membalik halaman demi halaman sembari tersenyum ketika membacanya. Buku harian adalah benda mati yang memuat cerita hidup. Aku kira itu benar. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang sangat memalukan ketika berada di SMA dulu. Kejahilan, kenaifan, tingkah berlebihan, semangat yang meluap-luap dan semua kisah klasik SMA.

Ah, aku rindu menjadi remaja lagi.

Masa di mana rasa takut adalah teman, rasa cemas adalah makanan dan tawa adalah kehidupan yang akan berlangsung selamanya.

Aku berhenti membalik pada halaman ke sepuluh. Halaman itu tidak bertuliskan apa-apa. Hanya terdapat sebuah tempelan kertas origami berwarna biru dengan gambar tokoh L di anime Death Note. Animasi kesukaanku sepanjang zaman. Digambar dengan tinta hitam dengan garis yang dibuat tegas dan penuh percaya diri. Garis yang tidak memiliki satu kesalahan pun.

Diam-diam, di luar keinginanku, aku mengingat lagi tangan orang yang menggambar ini. Tangan berkulit kuning langsat yang kasar dan selalu memiliki bercak cat warna-warni itu. Tangan dengan urat-urat bertimbulan yang sangat lihai memainkan alat tulis. Tangan yang membuka buku dan menutupkannya ke atas kepala saat ingin tidur di perpustakaan. Tangan yang dulu pernah membuatku bermimpi ingin menggenggamnya.

Aku menghela napas.

Di ujung kiri kertas, terdapat huruf J yang ditulis kecil dan tipis. Inisial si penggambar.

Dan si J inilah yang dipermasalahkan oleh suamiku. J, cinta pertamaku.

***

Aku ingat kapan dan bagaimana kami bertemu pertama kalinya.

15 september 2011, tiga hari setelah kami masuk sekolah setelah libur idul fitri. September adalah masa peralihan dari musim panas ke musim hujan. Masa di mana cuaca tidak bisa diprediksi sama sekali. Seperti hari itu.

Hari itu hujan turun di bulan september, padahal baru minggu lalu panasnya minta ampun. Tidak tahu apakah hujan itu bentuk kesialan atau malah keberuntungan bagiku. Tapi hari itu, aku tidak merasa senang dengan hujan yang turun cukup deras di waktu pagi.

Masalahnya adalah rumahku berjarak cukup jauh dari sekolah dan keluarga kami tidak memiliki mobil. Angkutan umum dan bus juga tidak melewati daerah perumahan kami, sehingga sepeda motor Bapak menjadi satu-satunya pilihan.

Berhubung belum cukup umur dan belum punya SIM, maka aku berangkat dengan diantar. Orang tuaku cukup ketat jika berkaitan dengan keselamatan anak mereka.

Aku menyibakkan mantel sepeda motor begitu Bapak bilang kalau kami telah tiba di sekolah. Kucium tangan Bapak dengan cepat dan tanpa bicara apa-apa, aku berlari secepat yang aku bisa di atas jalan licin dan di tengah guyuran hujan yang semakin lama semakin deras.

Jilbab dan kemejaku yang masih baru mulai dibasahi titik-titik hujan. Sepatu putih bergaris kuning dan ujung rok abu-abu juga mulai basah terkena cipratan air tiap kali aku melangkah. Kupeluk tas yang sengaja kukenakan di depan untuk melindungi buku-buku di dalamnya supaya tidak terlalu basah, sekalian menghalau rasa dingin yang menusuk setiap pori-poriku.

Setali tiga uang.

Begitu sampai di emperan parkir, atap yang paling dekat dengan gerbang masuk, aku berhenti sebentar untuk mengibaskan titik-titik air yang lengket di jilbab dan kemejaku. Tidak berguna sebetulnya, karena seragamku sudah lembap setengah basah. Aku juga bisa merasakan dingin di kakiku sebab air genangan hujan mulai masuk ke dalam sepatu, menambah daftar kesialanku hari itu.

Beberapa orang juga berhenti di dekatku, ikut mengibaskan tangan di beberapa titik yang basah. Beberapa lagi lewat dengan menggunakan payung.

Entah bagaimana aku bisa melalui hari itu di sekolah, aku tidak tahu. Yang jelas, aku tidak nyaman dengan keadaanku waktu itu. Seragam basah, jilbab basah dan kedinginan adalah kelemahan terbesarku. Aku orang yang mudah terganggu dengan keadaan seperti itu. Lebih mengganggu lagi dengan kenyataan kalau sepatuku basah dan merembes ke kaos kaki. Ingin rasanya kubuka sepatu ini, kalau tidak ingat bahwa mungkin saja baunya sudah tidak sedap.

Seharusnya aku bawa plastik atau baju ganti.

Satu orang lagi bergabung di sebelahku. Seorang laki-laki yang mengenakan varsity jaket putih dengan tubuh sangat jangkung. Sebetulnya aku termasuk tinggi untuk ukuran anak perempuan. 163 cm. Namun berdiri di sebelah laki-laki ini membuatku merasa kalau aku tidak setinggi itu. Aku tidak tahu siapa, tapi dari garis merah di sepatu yang ia pakai, bisa dipastikan kalau ini senior kelas 11.

Sebetulnya, dia bisa saja langsung berjalan menuju kelas. Toh, dari emperan ini menuju lorong kelas sebelas terhubung langsung, sehingga tidak perlu berbasah-basah ria. Tapi dia malah berdiri menyesaki emperan ini yang hampir penuh oleh kelas sepuluh yang kebingungan, sebab jarak kelas kami masih jauh lagi. Itupun harus dilalui dengan memutar dari koridor laboratorium komputer dan harus melewati hujan sekali lagi. Sebab, kelas sepuluh letaknya memang agak terpisah dari koridor kelas sebelas dan dua belas.

Dia menutup payung lipat abu-abunya santai. Lalu menampung air hujan dengan tangan dan meletakkannya di rambut. Entah apa maksudnya aku tidak tahu. Di saat sebagian orang sibuk mengeringkan diri, dia malah membasahi rambutnya sendiri. Anehnya, dia terlihat menikmati kegiatan membasahi rambutnya sendiri itu. Terbukti dengan senyum yang terukir dan tawa kecil yang sesekali lolos dari bibirnya. Saat dia tertawa, aku bisa melihat dua gigi taringnya yang sangat tajam dan sedikit menonjol, tapi bukan gingsul.

Dia tertawa sendirian? Oke, aku juga ada di sana, sih. Berdiri di sebelahnya lebih tepat, tapi kami tidak sedang membicarakan sesuatu yang lucu. Dia juga tidak sedang bicara dengan orang lain.

Hanya membasahi rambutnya dengan air hujan yang ia tampung di telapak tangan dan dia tertawa kecil.

Tertawa untuk dirinya sendiri? Dia terlihat bagus ketika tertawa. Dia memiliki jenis tawa yang ketika kamu melihatnya, kamu akan ikut tertawa dan bahagia. Tawa yang bisa membuatku lupa kalau aku sedang berteduh dalam kondisi setengah kuyup.

Dia melihat ke arahku, membuatku sadar kalau sedari tadi aku memerhatikan dia. Dia berkedip beberapa kali dengan wajah bingung. Mungkin dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika seorang adik kelas tengah memergokinya bersikap aneh ketika berteduh sebentar di emperan parkir di tengah hujan lebat.

Dia mengangkat alis kepadaku yang langsung membuang pandangan ke depan dengan perasaan bersalah dan takut disemprot. Maklum, aku masih kelas sepuluh dan senioritas masih dijunjung tinggi di sekolah kami. Aku pura-pura hilang ingatan sambil berusaha menghitung jumlah hujan yang jatuh. Dan dia terus memerhatikanku.

Tiba-tiba dia membuka jaket yang dikenakan dan mengulurkannya kepadaku. Gantian aku yang melihatnya tidak mengerti.

Setelah beberapa saat kubiarkan jaket putih itu menggantung di tangannya, karena aku tidak yakin apa yang harus aku lakukan. Tanpa kuduga dia malah meletakkan jaket itu ke atas kepalaku. Dan pergi begitu saja ke koridor kelasnya. Mungkin dia mau masuk ke kelas, entah kelas sebelas berapa.

Dia juga menyandarkan payung lipatnya di kakiku sebelum pergi ke kelasnya. Ini mau menitipkan payung atau apa?

Mendung semakin pekat dan hujan yang turun semakin brutal membuat tempatku berteduh sekarang terkena tempiasnya. Sebetulnya aku tidak yakin apakah jaket dan payung ini memang dipinjamkan padaku atau tidak, tapi keadaan memaksa. Kupakai jaket itu, yang ternyata sangat kebesaran di tubuhku, dan kukembangkan payungnya. Kemudian aku berlari kecil menuju kelasku yang masih jauh dari tempat aku berteduh saat itu sambil mengingat-ingat wajahnya.

Itu adalah kali pertama aku bertemu dengannya.

Bertemu dengan J.

***