Satu Bidikan

Satu Bidikan

Aretha Artha

0

Bisikan awan pagi ini lebih syahdu daripada kicauan burung yang bertengger di pohon mangga depan rumah.


Mentari seakan memanggilku untuk segera menembus pagar menjulang tinggi itu. Namun, sebelum itu terjadi, seseorang menahan langkahku agar berbelok arah.


"Sayang, sarapan dulu." 


"Ma, Starlla takut telat. Terkahir kali telat, lho, Ma. Untung ada kakak kelas Starlla yang baik nolongin."


"Enggak ada ke sekolah kalau nggak sarapan," tegas Mama.


Aku cemberut dan melangkah gontai ke meja makan. Di sana sudah ada Papa dan juga adik tampanku Lingga Gabriel yang lengkap dengan seragam putih birunya.


"Papa tidak setuju kamu sekolah kalau kamu mau melewatkan sarapanmu, Princes," kata Papa membuatku semakin menunduk.


"Baru hari ini, kok, Pa. Itu pun, Starlla takut telat. Kemarin di hari MOS terkahir, 'kan, telat. Masa pas resmi jadi siswi telat juga," aduku.


Papa mengelus rambutku. Hal yang sering dilakukan saat dia ingin menasehatiku. 


"Jam MOS dan sekolah biasa itu beda, Princes. Kamu tidak usah khawatir. Ini masih terlalu pagi," ujarnya.


Aku menatap jam lilac yang melingkar di tanganku. Memang masih jam 06:02 pagi. 


Namun, aku terlalu semangat karena ini pertama kalinya aku mengenakan seragam putih abu-abu setelah begitu penasaran rasanya menjadi anak SMA.


Biasanya aku hanya melihat di depan sekolahku anak SMA lewat. Mereka tampak asyik dan menyenangkan. Hal itu membuatku tidak sabar untuk lulus dan setelah lulus aku akan merasakannya hari ini.


"Jus alpukatnya mau dibawa, Sayang?" tanya Mama.


"Bawa, Ma." 


"Jangan makan pedas-pedas. Mama langsung tahu kalau kamu itu nekat makan pedas," kata Mama mengingatkan.


"Iya, Ma. Enggak bakal."


Aku memang suka pedas, tetapi Mama melarangku untuk makan makanan pedas. Ya, aku tahu semua demi kesehatanku. Akan tetapi, makan sayur-sayuran dan juga makanan yang menurut Mama sehat itu membuatku kadang eneg. 


Namun, aku tidak bisa berbuat banyak karena Mama akan tahu kalau aku melanggar. Semua itu karena dia menitipku pada Moza. 


Moza itu sahabatku sejak kecil. Dia begitu lalot dan malasnya tidak ketulungan soal tugas sekolah. Kalau soal jalan dia paling nomor satu.


Namun, Moza ini sangat baik. Dia begitu menyayangiku. Sahabat terbaik dan satu-satunya yang aku punya.


"Selesai."


"Gua antar, Kak."


"Iya." Aku berdiri dan membersihkan bibir dengan tissu. "Pamit dulu sama Mama dan Papa."


Kami meraih tangan Papa dan Mama. Lalu, kami ke depan karena Papa masih sarapan kami meminta Mama agar tidak usah mengantar kami ke depan.


"Kak, pokoknya bilang kalau ada yang berani gangguin, Kakak." 


"Dih, kenapa memangnya?" 


"Dia bakal berurusan sama gua."


Aku mencibir ke arah Lingga. "Enggak usah aneh-aneh. Gue yang tonjok lo kalau gue tahu lo berantem," ancamku.


Lingga hanya mendengkus. Dia memasangkan helm. Lalu, membantuku naik di atas motornya.


Lingga ini memang adikku yang protektif. Ya, aku tahu sifatnya semakin bertambah protektif sejak kecelakaan mobil yang aku alami saat kelas 2 SMP. Kecelakaan itu membuat dia dan keluargaku semakin protektif kepadaku.


Dia lebih tinggi dariku meski dia masih SMP. Akan tetapi, dia punya tubuh yang cepat besar dari seusianya. Bahkan orang sering mengira aku adiknya.


Benar-benar menyebalkan.


***


SMA Lintang Senja 


Aku menatap berbinar nama sekolahku yang terukir besar di depan gerbang. Dengan semangat penuh aku turun dari motor Lingga.


Aku buru-buru membuka helm dan bersiap masuk. Akan tetapi, tanganku ditarik Lingga.


"Oh, sekarang berubah gitu saat jadi anak SMA, Kak?" Lingga membuka helmnya dengan wajah ditekuk.


Aku hampir menepuk jidat. Adikku ini tampan di luar cool, tetapi dia sangat manja kepadaku. Contohnya seperti saat ini.


Aku berjinjit dan mendekatkan diri kepadanya. Tidak lama aku merasakan kecupan hangat di atas keningku. Lalu, aku menarik diri dan memberinya kecupan di pipinya. Kebiasaan kami sejak dulu.


"Pulang nanti gua jemput. Tungguin," pesannya.


"Iya, gue bakal tungguin."


"Masuk, gih. Gua liatin."


Aku melambaikan tangan dan masuk ke sekolah. Hal pertama kedua atensku disambut dengan wajah-wajah baru.


Tentu saja, aku tidak mengenal mereka semua. Bahkan ini seperti lautan manusia. Aku tidak menyangka jika siswa di sini begitu banyak.


Namun, hal pertama yang aku lakukan adalah mencari kelasku. Moza sudah mengirimkan foto Mading yang memperlihatkan dena kelas untuk siswa baru, tetapi aku belum menemukan kelasku juga.


"Ampun, deh. Luas banget," gerutuku.


Aku berjalan menyusuri lobi dan berpapasan beberapa cowok yang menatapku dengan waktu lama. Hal itu membuatku merasa ada yang salah dengan penampilanku.


"Starllaaaaaa!"


Aku refleks menoleh saat ada yang berteriak memanggil namaku sekencang toa masjid.


"Moza! Aaaa khirnya ketemu juga sama lo!" 


Moza berlari kecil ke arahku dan menyengir. 


"Ikut gue. Kelas kita tuh bagus banget tempatnya."


"Oh, ya?" Aku jadi antusias mendengar perkataan Moza karena ekspresinya juga sangat mendukung kalau kelas kami memang strategis.


"Lantai dua dan berada di ujung!" ujarnya membuatku cemberut.


"Kenapa lantai dua?" Bahuku merosot. Itu bukan strategis namanya, tetapi menyiksa.


Bayangkan kalau telat datang ke sekolah harus melewati anak tangga. Belum lagi paling ujung dan harus melewati beberapa kelas. Otomatis orang akan tahu kalau aku terlambat datang karena melewati kelas mereka.


"Ini strategis karena kita satu-satunya siswa baru yang berjejer dengan kelas anak 11, Aaaaaaa! Anjim banget, kakak kelas kita cogan-cogan lagi!" Moza ketika heboh sendiri.


Aku membasahi bibir bawahku. Merasa haus mendengar celotehan Moza.


"Nah, ini tempat duduk buat lo. Lo paling suka di ujung dekat tembok, 'kan?" tanya Moza.


Aku langsung tersenyum lebar ke arahnya dan memberikan pelukan. "Aaaa, makasih, Moza," ucapku.


Dia memang paling tahu kesukaanku. Nah, inilah kenapa aku bilang Moza ini penyayang dan baik.


"Tahu nggak, kelas sebelah ternyata kelas cowok yang nolongin lo pas hari MOS itu," bisik Moza.


"Serius lo?" tanyaku kaget.


"Serius, coba aja nanti pas jam istirahat. Lo lewat terus mandang ke dalam kelasnya," usul Moza.


Mataku berbinar-binar. Aku memang menghabiskan waktu semalaman curhat kepada Moza saat mendadak insomnia gara-gara keingat cowok yang menolongku itu.


Jatuh cinta pada padangan pertama.


Ya, sedikit konyol, tetapi aku mengalaminya dan sialnya ternyata dia kakak kelasku yang kebetulan bersebelahan kelas denganku.


Apa alam merestui kami?


Memikirkan itu membuatku senyum-senyum sendiri.


"Eh, Bocah, jangan senang dulu. Dengar-dengar dia itu punya geng yang suka rusuh--"


Brak!


Bugh!


Aku menatap Moza kaget. Kami sontak berlari keluar seperti yang lain. Di sana, ada siswa berkelahi.


Wajahnya tidak dapat aku lihat, tetapi aku kasihan melihat pria yang sudah terkapar di lantai dengan wajah bonyok.


"Makanya lo jangan sok jagoan di sini! Kalau gua nyuruh lo nurut!" bentak orang itu.


"Cuih!"


Aku melotot saat melihat siswa yang terkapar itu meludah dan mengenai sepatu salah satu siswa di sana. Tampaknya dia teman pria yang memukul tadi.


Zrekkk!


"Akh!" Aku menutup mulutku kaget melihat dia mencengkeram kuat kerah seragam pria itu.


"Lo berani ludahi sepatu gua, berarti lo cari mati."


Tunggu!


Suara ini, suara dingin yang sama dengan suara ....


"David Laskara!"


"Lagi-lagi kamu dan geng kamu membuat kerusahan! Kenapa juga kamu pukul kakak kelas kamu sendiri?!"


Aku kaget mendengar, tetapi lebih kaget lagi saat pria itu berbalik dan tanpa sengaja netra kami bertemu pandang.


Astaga! Dia cowok yang nolongin gue waktu itu.


Otakku blank.


Hari itu dia bak malaikat.


Tapi, hari ini dia bak Iblis.


***


TBC


Halluyyy!

Jangan lupa di follow-follow Bestie

Ini adalah cerita fresh alias on going.

So, kalian tambahkan ke reading list untuk dapat info updatenya.